LIAK-liuk mobil yang saya tumpangi siang itu membelah kawasan perbukitan di Sulawesi Utara. Perubahan kontur tanah memang cukup terasa ketika memasuki beralih dari kota Manado ke Tomohon. Di Tomohon ini jalanannya mengingatkan saya dengan kawasan Puncak, Bogor. Hanya saja pemandangan dibedakan oleh keberadaan laut di pinggiran kota Manado.
Berbicara tentang kota Tomohon tentu tidak bisa terlepas dari keberadaan pasar ekstrem tradisional Tomohon yang menjual berbagai daging hewan yang tabu bagi masyarakat kebanyakan. Sebut saja daging ular, tikus, kalelawar, anjing, dan berbagai hewan liar lainnya di jual secara bebas di pasar Tomohon. Seram memang jika membayangkan apa saja yang dijual di sana, tapi dibalik itu, harus diakui pasar Tomohon merupakan bagian dari kekayaan budaya, kearifan lokal Indonesia.
Tidak hanya terkenal dengan keberadaan pasar tradisional, kota Tomohon juga memiliki sesuatu yang jadi pembeda dengan wilayah lainnya. Berjarak sekitar 8 kilometer dari pasar Tomohon terdapat kekayaan lainnya, tepatnya di wilayah Lahendong. Ini bukan kekayaan main-main karena digadang-gadang sebagai “harta karun energi Indonesia”.
Memasuki wilayah Lahendong suasana tidak seramai di pusat kota Tomohon. Rumah-rumah warga berjejer tidak terlalu rapat. Tapi bukan berarti denyut kehidupan tidak ada.
Dari kejauhan asap putih mengepul ke udara kerap kali terlihat. Orang awam mengira pasti telah terjadi kebakara atau sebagainya. Ada juga mungkin yang mengira asap tersebut berasal dari gunung berapi yang masih aktif, asap belerang pasti dianggap jadi sumber kepulan tersebut. Untuk anggapan kedua ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, karena memang asap yang menyembur tersebut berbeda dengan asap yang dihasilkan dari hasil pembakaran.
Asap yang mengepul warnanya putih bersih seperti awan. Sumber asap yang tidak jauh dari kawasan pemukiman membuatnya sesekali mengarah ke jalan. Warga pun terlihat tidak sungkan tanpa menutupi wajahnya dan melenggang dengan tenang berjalan menembus si “awan” yang mampir ke jalanan. Ini menandakan asap juga tidak berbau. Masyarakat Lahendong seperti sudah akrab dan saling mengenal dengan kepulan asap putih itu.
Sumber asap itu berasal dari kekayaan lain Lahendong yaitu Panas Bumi. Sudah ada pembangkit listrik bertenaga panas bumi beroperasi di wilayah Lahendong yang dioperasikan oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan juga PT PLN (Persero).
Area sekitar PLTP atau WKP Lahendong juga terlihat lebih maju dibandingkan wilayah lain. Jalanan aspal yang halus. Penerangan jalan serta rambu lalu lintas yang mumpuni. Di sekitar area PLTP dan WKP juga masih tumbuh berbagai tanaman dan pepohonan.
Terdiri dari enam unit sampai sekarang, Pembangkit Listik Tenaga Panas Bumi (PLTP) merupakan kisah sukses pengembangan panas bumi di Sulawesi Utara, bahkan tidak berlebihan jika jadi salah satu yang sukses di Indonesia. Uap panas bumi untuk menggerakkan PLTP Lahendong berasal dari wilayah kerja panas bumi Lahendong. Saat ini ada 53 sumur panas bumi yang uapnya dijadikan sumber energi 6 unit PLTP yang terdiri dari 39 sumur dengan rincian 14 sumur produksi, 6 sumur reinjeksi dan 19 sumur monitor untuk PLTP Unit 1 hingga Unit. PLTP Unit 5 dan Unit 6 memiliki 14 sumur dengan rincian 5 sumur produksi, 4 sumur reinjeksi dan 5 sumur monitor. Energi panas bumi dari Lahendong kontribusinya mencapai lebih dari 20% dari kebutuhan listrik untuk wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo. Ini membuktikan bahwa memang energi panas bumi sebenarnya bisa dijadikan sumber energi andalan untuk penuhi kebutuhan listrik.
Saat ini kontribusi panas bumi Lahendong untuk sistem kelistrikan Sulawesi Utara-Gorontalo (Sulutgo) 21,33% atau setara 120 Megawatt (MW) dari total kapasitas sistem Sulutgo sekitar 562 MW.
Tidak bisa dipungkiri memang pengembangan panas bumi bukan tanpa tantangan termasuk dari sisi sosial masyarakat. Tapi pengelolaan PLTP Lahendong sepertinya bisa jadi contoh, ketika dikelola dengan baik serta ada inisiatif dari semua stakeholder maka penggunaan energi hijau ini bisa sangat besar manfaatnya terutama untuk masyarakat.
Tantangan dari sisi sosial masyarakat bukanlah satu-satunya tantangan utama di panas bumi tapi jadi salah satu komponen yang menamah risiko pengembangannya. Menyadari hal tersebut kini pemerintah tengah meracik rencana baru agar “PLTP-PLTP Lahendong” lainnya bisa bermunculan.
Keseriusan pemerintah untuk merubah tatanan pengelolaan ini ditunjukkan dengan disiapkannya aturan main baru yang diyakini bisa menjawab keraguan para pengembang panas bumi karena tingginya risiko usaha. Selama ini ada beberapa tantangan pengembangan panas bumi diantaranya area prospek pada kawasan hutan konservasi, lalu terkait keekonomian dalam hal kelayakan proyek panas bumi untuk tarif listrik kepada masyarakat, cadangan panas bumi tidak sesuai dengan perencanaan karena keterbatasan demand kelistrikan setempat, akses pendanaan sebelum Feasibility Study (FS), serta isu sosial dan perizinan.
Adapun berdasarkan kajian pemerintah, Risiko pengembangan panas bumi pada akhir tahap eksplorasi meliputi survei geosains rinci, berkisar antara 90-95%, sehingga tidak signifikan untuk menurunkan harga listrik yaitu sebesar US$0,01 – US$0,4 sen per kilo Watt hour (kWh).
Kemudian risiko pengembangan pada akhir tahap eksplorasi (meliputi survei geosains & pengeboran eksplorasi 2 slim hole dan 1 standard hole) turun hingga 50% (tergantung pada hasil pengeboran), sehingga dapat menurunkan harga listrik panas bumi secara signifikan yaitu sebesar US$0,5 –US$1,7 sen per kWh.
Ke depan pemerintah akan siapkan skema insentif berupa biaya penggantian (reimbursement cost) untuk aktivitas eksplorasi. Ini cukup penting karena selama ini kegiatan eksplorasi memang sarat akan risiko dan ditanggung oleh pengembang. Tentu saja komponen biaya produksi listik jadi terpengaruh dengan tingginya risiko pada masa ekplorasi ini.
Aturan ini akan masuk dalam draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan pembelian listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Nantinya, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang atau kompensasi (reimbursement cost) dalam kegiatan eksplorasi blok atau Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
FX Sutijastoto Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian mengungkapkan bahwa pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih terjangkau.
“Pemerintah memberikan insentif dan kompensasi sehingga harga EBT di masyarakat itu terjangkau, namun keekonomian bagi pengembang masih tercapai. Misalnya di panas bumi, untuk mengurangi risiko itu ada insentif dan kompensasi agar harga di PLN lebih baik. Biaya eksplorasi dan tax holiday itu akan diberikan,” kata Sutijiastoto belum lama ini di Jakarta.
Dalam kajiannya, Kementerian ESDM memproyeksi bila aturan insentif dan kompensasi diimplementasikan, maka akan ada penurunan harga panas bumi sekitar US$2,5 hingga US$4 sen per kWh.
Setidaknya ada 14 WKP yang telah diterbitkan izin panas buminya (IPB) yang akan mendapatkan kompensasi. Ke 14 WKP ini belum memiliki perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PLN.
Ida Nurhayatin Finahari Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE menuturkan ke-14 WKP tersebut juga harus mengikuti ketentuan harga listrik dalam rancangan Perpres.
“Karena mereka akan melakukan eksplorasi atau penambahan data sendiri, maka mereka bisa diberikan penggantian (reimburse) biaya eksplorasinya,” tutur Ida.
Dalam rancangan Perpres harga listrik energi terbarukan, harga listrik PLTP menggunakan skema harga patokan tertinggi. Harga listrik PLTP ditetapkan sebesar US$4,56 sen per kWh untuk kapasitas di atas 100 MW, US$5,57 sen untuk kapasitas 50-100 MW, US$6,26 sen untuk kapasitas 10-50 MW, dan paling tinggi US$6,8 sen per kWh untuk kapasitas hingga 10 MW. Sementara harga listrik energi terbarukan lainnya ada yang mencapai US$ 7-12 sen per kWh.
Selain langkah tersebut beberapa inisiatif lainnya juga akan dilakukan, seperti sinergi BUMN dalam pengembangan panas bumi. Ada juga optimalisasi sumber daya panas bumi pada WKP yang telah berproduksi dengan pengembangan atau ekspansi dan pengembangan pembangkit skala kecil.
Pemerintah juga berniat mengembangkan sumber daya panas bumi di wilayah Indonesia bagian timur. Lalu penciptaan demand pada daerah yang memiliki sumber daya panas bumi tinggi namun demand nya rendah.
Sinergi dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk mengelola isu sosial atau resistensi dalam pengembangan panas bumi juga sangat penting untuk terus ditingkatkan.
“Monitoring dan evaluasi pelaksanaan proyek panas bumi secara Nasional yang melibatkan Kementerian ESDM (Badan Geologi, Ditjen EBTKE, Ditjen Ketenagalistrikan), KLHK, Kemenkeu, Bappenas, Kemen Perindustrian, BKPM, Pemda, dll. Lalu melakukan Join study dan knowledge sharing antar stakeholders dalam pengembangan panas bumi,” jelas Ida.
Potensi energi panas bumi di Indonesia memang tidak main-main. Karena menurut data Badan Geologi total cadangannya saat ini mencapai 23,9 ribu Mega Watt (MW), sementara yang baru dimanfaatkan baru 8,9% atau 2.130,7 MW melalui 16 PLTP pada di 14 WKP. Ini sudah menempatkan Indonesia sebagai negara teratas di Asia dalam pemanfaatan panas bumi dan berada di urutan no 2 di dunia.
Dengan keberadaan aturan baru nanti Kementerian ESDM bermaksud untuk tancap gas. Tidak tanggung-tanggung rencananya akan dilakukan merencanakan pengeboran sumur eksplorasi di 41 blok panas bumi. Biaya pengeboran sumur eksplorasi panas bumi ini pun sudah masuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun depan.
Menurut Ida inisiatif pemerintah untuk melakukan pengeboran dilatarbelakangi aturan dalam rancangan Perpres harga listrik EBT yang mengamanatkan harga listrik atau tarif yang ditetapkan untuk PLTP terhitung lebih rendah dibandingkan dengan jenis energi terbarukan lainnya. Karenanya, Perpres juga mengamanatkan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah. Insiatif ini penting karena kegiatan eksplorasi selama ini tinggi akan risiko dengan kegiatan eksplorasi dilakukan pemerintah maka risiko pengembang juga otomatis berkurang sehingga diharapkan proyek PLTP mencapai keekonomian.
Nantinya WKP yang dilelang pemerintah telah dilakukan pengeboran dua slim hole dan satu standard hole. “Jadi sudah diketahui fluida panas buminya, sehingga risiko ke pengembang sudah sangat berkurang,” kata dia.
Prijandaru Effendi Ketua Asosiasi Panas Bumi (API) mengungkapkan pemerintah sedang berusaha keras untuk memperbaiki iklim investasi di sektor panas bumi dengan segera mengeluarkan Perpres mengenai EBT. “Kita berharap Perpres ini dapat menarik investor untuk berinvestasi di sektor panas bumi,” kata Prijandaru kepada Dunia Energi (27/8).
Para pelaku usaha lanjut Prijandaru berharap insentif yang dijanjikan oleh pemeritah seperti pengurangan pajak, cost reimbursement, dan lainnya memang dapat memberikan nilai keekonomian project yang menarik. “Tanpa insentif yang dijanjikan, tariffnya terlalu rendah,” ujarnya.
Selain itu API juga meminta pemerintah agar turut serta mengakaji Feed In Tariff (FIT) untuk semua kapasitas. Karena kalo bicara kepastian dan percepatan solusinya adalah FIT,” kata Prijandaru.
Sementara itu, Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengungkapkan bahwa idealnya jika ingin menurunkan biaya investasi panas bumi maka risiko eksplorasi tidak ditanggung oleh pengembang. Tahap pre-survey hingga eksplorasi memang cukup tinggi bahkan menghabiskan 40C%-50% dari total biaya investasi panas bumi. “Oleh karena itu WKP yang dilelang adalah WKP yang siap diproduksi, untuk itu data cadangan panas bumi sudah jelas dan potensi kapasitas pembangkit yang bisa dibangun,” kata Fabby saat dihubungi Dunia Energi.
Menurutnya dengan pengertian bahwa pemerintah akan mengganti ongkos atau biaya eksplorasi lapangan panas bumi yang selama ini sudah disosialisasikan, bisa saja menarik tapi dia mengingatkan kunci keberhasilkan Perpres nanti juga tergantung pada rincian pengaturannya.
“Kalau risiko tersebut mau diambil pemerintah, tentunya tindakan ini bisa mengurangi risiko bagi pengembang dan seharusnya dapat menurunkan biaya investasi,” ujar Fabby.(Rio Indrawan)
Komentar Terbaru