DENPASAR – Implementasi teknologi penangkapan dan/atau pemanfaatan kembali emisi karbon (carbon capture, utilization, and storage/CCUS) dijadikan sebagai salah satu strategi utama untuk menekan emisi dalam kegiatan industri hulu migas tanah air. Hanya saja penerapannya memiliki tantangan besar yakni membutuhkan biaya yang besar sehingga dipastikan akan turut serta membuat biaya proyek migas jadi membengkak.
Dan Sparkes, Vice President Subsurface Asia Pasific & India BP, menuturkan sebenarnya industri hulu migas sudah berpengalaman dalam menginjeksikan CO2 ke perut bumi. Untuk teknologi bukan jadi isu melainkan keekonomiannya.
“Menurut saya hal pertama yang harus dilakukan agar proyek berjalan adalah mencari keuntungan dari proyek ini (CCUS). Enhanced oil recovery (EOR/pengurasan minyak tahap lanjut) berbasis CO2 adalah contoh paling mudah,” kata Sparkes disela The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 di Bali, Senin (29/11).
Dia menjelaskan proyek CCUS di komplek kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Tangguh yang dikelola BP telah tersedia fasilitas penangkapan karbon, sehingga kebutuhan investasi yang mahal dari proyek CCUS sebenarnya sudah dibayar.
“Jadi proyek sejenis ini tidak membutuhkan insentif sebanyak proyek CCUS di lapangan migas baru,” ungkap Sparkes.
Salah satu hal penting menurut Sparkes guna mendorong proyek CCUS adalah penetapan harga emisi karbon. “Sehingga bisa memenuhi keekonomian dengan harga yang lebih murah,” ujarnya.
Sementara itu, Dwi Soetjipto Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengungkapkan dukungan berupa insentif sesuai kebutuhan masing-masing proyek CCUS siap diberikan oleh pemerintah. Pasalnya, pemangkasan emisi karbon sudah menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia.
“Capex (capital expenditure/belanja modal) selain untuk inisiatif rendah karbon, harus betul-betul efisien. Sehingga, kalau ditambahi CCUS, keekonomiannya masih bisa dipertahankan. Tetapi kalau sudah mentok, enggak mungkin jalan tanpa insentif, sebagai konsekuensi ya harus memberikan insentif,” jelas Dwi.
Indonesia, tambahnya, memiliki potensi besar untuk penangkapan karbon. Hal ini mengingat banyak reservoir migas yang sudah mulai habis cadangannya. Reservoir ini dapat dimanfaatkan untuk menyimpan emisi karbon yang ditangkap menggunakan teknologi CCUS. Pihaknya tengah memetakan lapangan migas mana saja yang bisa menjadi tempat CCUS ini.
“Ini bisa ditawarkan ke negara-negara yang dekat lokasi untuk bisa gunakan storage itu, juga ke industri lain. Jadi kalau gas sudah kosong, kita bisa jualan storage,” kata Dwi. (RI)
Jangan jadikan CCUS sebagai beban yang menimbulkan expense luar biasa. Banyak cara. Salah satunya, manfaatkan semaksimum mungkin CO2 yang berasal dari emisi reaksi kimia pembakaran di pabrik. Contoh, manfaatkan CO2 emisi dari pabrik, sebagai bahan baku untuk industri soda abu. Bahkan kalau CO2 nya luar biasa besar, misalnya kalau di offshore (= lapangan Gas Natuna D-Alfa yang kandungan CO2 nya hampir 70%), CO2 bisa direaksikan dengan blue H2 (= dari seawater electrolysis), menjadi CO dan reaksi lebih lanjut menghasilkan hidrokarbon CH4. Kemudian CH4 bisa diarahkan lebih lanjut menjadi bahan baku petrokimia (= penghasil ethylene) atau bahkan bahan baku makanan. Electric power untuk offshore platform konversi CO2 menjadi CH4 ini, diambil dari pembangkit listrik energi terbarukan (= surya, angin)…
Intinya, mengenai CCUS dan pemanfaatan CO2 ini, janganlah berpikir terkotak kotak.
Berpikirlah integratif, demi masa depan migas Indonesia, demi target net zero emission 2050 ~ 2060, dan juga
demi masa depan anak cucu bangsa Indonesia.