JAKARTA – Dua proyek besar hulu migas nasional saat ini masih belum kelanjutannya. Padahal keduanya sudah dapatkan persetujuan rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) dari pemerintah.
Proyek Abadi Masela dan Indonesia Deepwater Development (IDD) memiliki kesamaan yakni terkait kepemilikan hak partisipasi.
Shell sudah menyatakan kenggenannya ikut ambil bagian di proyek Masela. Meskipun begitu pemerintah menyatakan bahwa pihak Shell berkomitmen tetap terlibat sampai ada pengganti hak partisipasinya di Masela. Namun, yang jadi masalah hingga kini belum jelas perusahaan mana yang akan gantikan Shell menemani Inpex Corporation di Masela.
Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) juga tidak menjelaskan secara jelas seperti apa progress kelanjutan pengembangan blok Masela.
“Masela dalam proses untuk implementasi PoD ada beberapa skenario dalam pembahasan dengan KKKS,” ungkap Dwi belum lama ini.
Dwi menegaskan selama belum ada buyer PI atau pengganti, maka Shell masih menjadi anggota konsorsium dalam pengembangan Masela bersama dengan Inpex. Shell, kata dia, sebenarnya menargetkan sudah mendapatkan pembeli PI Masela pada 2021.
“Kita tekankan terus ke operator agar jalankan apa yang sudah ditetapkan pada PoD. Tapi, Shell akan berada di sana sesuai dengan kewajhibannya. Divestasi ditargetkan 2021 tidak terlaksana,” ujar Dwi.
Tidak berbeda jauh dengan Masela, pengembangan proyek IDD juga seakan menemui jalan buntu lantaran Chevron yang hingga kini juga tidak kunjung mengimplementasikan PoD yang sudah disetujui pemerintah. Chevron masih bersikukuh untuk tidak lagi terlibat pada proyek IDD namun hingga kini pembeli PI proyek IDD tidak kunjung didapatkan.
“IDD Chevron sudah mencoba mencari juga buyer yang diharapkan, tapi belum terlaksana kami masih menunggu dari IDD,” ujar Dwi.
Menurut Dwi, pemerintah berkali-kali telah memanggil Chevron untuk mendapatkan kejelasan proyek IDD namun hingga kini jawaban yang diharapkan belum juga terjawab.
“Kami sudah panggil chevron untuk bisa segera sampaikan kejelasan mengenai rencana implementasi PoD IDD, tegas Dwi.
Proyek Masela dan IDD merupakan dua proyek raksasa yang sebenarnya jadi andalan untuk bisa mendongkrak produksi migas tanah air. Dua proyek itu juga masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Belum adanya calon pengganti Shell di Masela maupun Chevron di proyek IDD tentu jadi salah satu batu sandungan dalam penyelesaian kedua proyek tersebut.
Tumbur Parlindungan, praktisi industri hulu migas yang juga mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), mengungkapkan baik Masela and IDD merupakan proyek yang butuh investasi besar dan yang sanggup mengerjakannya hanya perusahaan yang punya kapital besar and teknologi.
Menurut dia banyaknya perusahaan-perusahaan besar yang tidak lagi beroperasi di Indonesia turut memberikan pengaruh terhadap minat untuk berinvestasi hulu migas. Terutama untuk menggarap blok-blok migas yang memiliki tingkat kesulitan tinggi meskipun memiliki potensi cadangan. Apalagi saat ini tren transisi energi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) sedang gencarnya digaungkan.
“Karena banyaknya perusahaan besar yang hengkang dari Indonesia, akan sulit untuk mendapatkan pembelinya dan Juga pemain besar sudah mulai mengalihkan sebagian investasinya untuk renewable,” ujar Tumbur kepada Dunia Energi (28/1).
Menurut dia saat ini proyek migas di indonesia Belum bisa menarik pemain besar kembali lagi. Contract sanctity and uncertainty dari perubahan-perubahan yang diusahakan oleh pemerintah juga masih belum mensupport pelaku usaha untuk kembali berinvestasi di bisnis hulu migas walaupun harga komoditas sudah mencapai rekor tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. “Umumnya mereka wait and see sebelum berinvestasi kembali,” ungkap Tumbur.
Sementara itu, Pri Agung Rakhmanto, Pengamat migas dari Universitas Trisakti, menuturkan perusahaan-perusahaan migas internasional memiliki portofolio investasi di banyak negara. Mereka selalu evaluasi dan kompetisikan sendiri di dlm internal mereka.
Alokasi dan belanja Investasi dilakukan secara sangat selektif dan sesuai ranking (keekonomian) masing-masing portofolio yang dimiliki itu.
“Juga dikompetisikan dengan opportunity investasi lainnya,” ujar Pri Agung kepada Dunia Energi.
Dia menjelaskan selain pertimbangan investasi para pelaku usaha kondisi di Indonesia juga menjadi pertimbangan penting. “Kondusivitas dan competitiveness iklim investasi kita (Indonesia), tren atau narasi transisi energi ya tentu semua itu ada pengaruhnya,” tegas Pri Agung. (RI)
[…] source […]