JAKARTA – Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, termasuk dengan PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Inc, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan. Freeport berencana membawa kasus izin konsentrat tembaga dan statusnya sebagai pemegang kontrak karya ke arbitrase.
Freeport yang tetap bersikukuh mempertahankan status sebagai perusahaan kontrak karya menuntut haknya untuk mendapat izin ekspor konsentrat tembaga. Padahal dalam regulasi baru yang diterbitkan pemerintah, izin ekspor kosentrat hanya diberikan kepada perusahaan pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan membawa persoalan, seperti yang dihadapi Freeport ke arbitrase adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun.
“Langkah itu jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah,” tegas Jonan.
Menurut dia, korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata.
Menurut Jonan, pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia, baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali. Dalam hal pertambangan mineral logam, pemerintah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya.
“Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan masih sah berlaku,” kata Jonan dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (18/2).
Atas dasar itu semua pemegang kontrak karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi IUPK, sepanjang pemegang kontrak karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal 170 UU No 4/2009).
Dengan fakta bahwa pemegang kontrak karya (KK) belum melakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka Pemerintah menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK. Dengan demikian sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu 5 tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun. Progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90 persen dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut.(AT)
Komentar Terbaru