SEBAGAI negara berkembang, ada satu tahapan yang harus ditempuh Indonesia untuk bisa menjadi negara maju yaitu wajib hukumnya melalui fase industrialisasi. Tanpa melalui fase tersebut jangan harap Indonesia mampu berbicara banyak dalam perekonomian dunia. Bahan baku utama untuk melalui fase industrialisasi yang sehat dan berkualitas adalah ketersediaan baja serta seluruh komponen bahan bakunya terutama alumunium.
Sayangnya untuk yang satu itu setelah 78 tahun dibacakan teks proklamasi kemerdekaan, Indonesia bisa dikatakan belum “merdeka” alumunium. Tanah air tercinta masih tersandera, mengandalkan alumunium impor. Hampir 75% kebutuhan alumunium sekitar 1,2 juta ton per tahun di dalam negeri masih harus dipasok dari luar negeri.
Namun demikian kondisi itu diyakini bisa segera berakhir, seiring dengan upaya peningkatan kapasitas produksi satu-satunya produsen alumunium di tanah air yaitu PT Indonesia Asahan Alumunium (INALUM). Ada beberapa strategi diambil oleh INALUM sekaligus untuk mencapai visi perusahaan menjadi perusahaan global terkemuka berbasis alumunium terpadu ramah lingkungan.
Saat ini INALUM sedang melakukan upgrading terhadap fasilitas eksisting di pabrik pengolahan alumunium di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Proyek upgrading merupakan proyek optimalisasi dan upgrade teknologi pot peleburan INALUM eksisting untuk meningkatkan kapasitas produksi alumina.
Upgrading dilakukan selama 3,5 tahun dan ditargetkan sudah bisa rampung pada akhir tahun ini. dengan adanya upgrading ini maka kapasitas produksi akan meningkat dari sekarang 250 ribu ton alumunium per tahun bertambah sebesar 50 ribu ton per tahun.
Danny Praditya, Direktur Utama INALUM, menjelaskan pot upgrade dan pot optimation merupakan salah satu kriteria inisiatif strategis perusahaan dalam meningkatkan pendapatan dan laba perusahaan melalui peningkatan pertumbuhan eksplorasi dan produksi secara agresif.
“Pot upgrade diharapkan selesai akhir tahun ini untuk seluruh pot akan dilakukan start up dan secara kontraktual sampai agustus 2024 Insya Allah akan diselesaikan dan menambah kapasitas produksi alumunium dari 250 ribu ton ada tambahan 25 ribu ton. Optimasi diharapkan juga menambah kapasitas 25 ribu ton sehingga in total untuk eksisting smelter yang ada di Kuala Tanjung menghasilkan output 300 ribu ton alumina per tahun,”jelas Danny dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (24/8).
Tidak hanya sampai di situ. INALUM ternyata saat ini tengah menggarap salah satu proyek paling prestisius dalam rangka menuju Indonesia swasembada alumunium melalui pengerjaan ekspansi smelter (Brownfield alumunium smelter) serta rencana pembuatan smelter baru (Greenfield alumunium smelter).
Untuk brownfield dengan melakukan ekspansi smelter Kuala Tanjung. Rencananya ketika ekspansi ini rampung kemampuan produksi smelter akan meningkat 100% dari posisi 300 ribu ton per tahun alumina setelah nanti melalui proses upgrading, menjadi sebesar 600 ribu ton per tahun. Proyek ini akan dikerjakan oleh 600 orang pekerja dan tentu akan berdampak bagi ketersediaan lapangan kerja serta ditargetkan bakal rampung di tahun 2028.
Selanjutnya adalah program ekspansi atau greenfield dengan membangun Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) yang baru di Mempawah, Kalimantan Barat. Pembagunan SGAR dilakukan dengan bekerja sama dengan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau ANTAM. Keduanya sepakat membentuk perusahaan patungan yakni PT Bornor Alumina Indonesia (BAI) dengan porsi saham 60% dikuasai INALUM sisanya 40% dimiliki oleh ANTAM. “Diharapkan semester II 2024 kita mendapatkan first delivery dari BAI,” ujar Danny.
Kerja sama ini dinilai sangat strategis karena dengan bermitra dengan ANTAM maka INALUM bakal mendapatkan kepastian bahan baku bauksit. Pembangunan SGAR ini rencananya akan dibagi menjadi dua fase. Untuk fase I SGAR yang dibangun nantinya akan memiliki kapasitas produksi mencapai 1 juta ton per tahun dengan kebutuhan tenaga kerja mencapai 881 orang.
Menurut Danny, peningkatan kapasitas maupun proyek ekspansi mau tidak harus dilakukan INALUM demi merespon terus meningkatnya permintaan alumunium domestik seiring dengan pertumbuhan ekonomi tanah air.
Saat ini kebutuhan total alumunium di Indonesia mencapai 1,2 juta ton per tahun namun kemampuannya hanya sebesar 250 ribu ton per tahun. “Sehingga dua inisiatif strategis berupa ekspansi brownfield dan greenfield alumunium smelter menjadi sangat critical untuk kita bisa menjadi swasembada alumunium demi memenuhi kebutuhan alumunium strategis domestik,” ungkap Danny.
Jika memang pertumbuhan permintaan akan alumunium terus tinggi, manajemen sudah punya ancang-ancang untuk merealisasikan rencana SGAR fase II dengan total kapasitas produksi alumina sebesar 1 juta ton per tahun alumina yang bisa juga diupgrade menjadi 2 juta ton per tahun. Manajemen akan melihat peluang pasar dan jika memang diperlukan pembangunan fase II akan diselesaikan pada tahun 2027.
Untuk mengerjakan SGAR fase II, INALUM nantinya berencana untuk menggandeng mitra strategis. Hal ini bertujuan agar bisa berbagi risiko serta mendapatkan jaminan offtake dan jaminan feedstock apabila diperlukan sehingga project ini berjalan lebih cepat dan lebih efisen dan efektif.
“Phase 2 ini meneruskan dari yang phase 1, kita akan melakukan mungkin beauty contest atau pemilihan calon mitra strategis untuk joint venture dan bermitra dengan kita dalam hal pembangunan tambahan 1-2 juta ton alumina. ini untuk ore-nya akan didapat dari ANTAM untuk bauksitnya dan output atau produksinya akan diserap INALUM sebagian besar untuk memenuhi kebuhtuan pengembangan INALUM,” jelas Danny.
Ada satu kesamaan dari upgrading smelter di Kuala Tanjung maupun pembangunan smelter baru di Mempawah, yaitu kebutuhan pasokan listrik yang sangat besar. Saat ini INALUM tengah berkoordinasi secara intensif dengan PT PLN (Persero) untuk menjajaki penyediaan pasokan listrik. INALUM cukup selektif dalam memilih pasokan listrik. Wajar saja, untuk mendukung operasional produksi eksisting sekarang ini, INALUM memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) air dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan dengan daya listrik yang dipasok rata-rata sebesar 480 Megawatt (MW) – 500 MW. Kebutuhan tambahan daya listrik di Kuala Tanjung maupun di Mempawah sendiri mencapai 800 MW.
“Kami secara intensif berdiskusi dengan teman-teman PLN bagaimana pemenuhan atau skenario strategis pemenuhan kebutuhan baik untuk Kuala Tanjung ataupun Mempawah. Ada beberapa opsi, tidak hanya opsi jual beli atau tarif tapi opsi kerja sama untuk penyediaan suplai listrik sedang dikaji lebih lanjut dan mudah-mudahan difinalkan dalam waktu dekat karena ini enabler paling signifikan untuk project strategis INALUM,” jelas Danny.
INALUM melalui anak usahanya PT Indonesia Alumunium Alloy (IAA) tengah menggarap pengembangan fasilitas produksi alumunium dengan kapasitas 30 ribu ton biller per tahun, sehingga bisa memproduksi 24 ribu ton per tahun.
Proyek lain yang juga jadi strategi ekspansi bisnis INALUM adalah pembangunan Calcined Petroleum Coke (CPC) Plant di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Proyek CPC Plant akan menurunkan biaya operasi smelter INALUM serta memitigasi risiko ketersediaan sumber CPC. Adapun CPC sendiri digunakan sebagai sebagai bahan pencampur untuk pembuatan anoda pada industri peleburan aluminium. Indonesia mempunyai unit produksi petroleum coke yaitu di unit produksi II Pengilangan Minyak Dumai dengan kapasitas produksinya per tahun sebanyak 330 ribu ton.
Saat ini INALUM masih harus mengimpor banyak calcine coke. Manajemen sudah mulai menjajaki kerja sama dengan Pertamina untuk bisa mendapatkan kepastian green coke yang jadi bahan baku utama pembuatan calcine coke. CPC Plant dibangun dengan biaya sebesar US$137 juta dan ditargetkan dikerjakan selama 2 tahun 8 bulan sehingga bisa rampung pada tahun 2026. CPC Plant tersebut bakal didesain agar bisa diekspansi sampai mencapai 200 ribu ton per tahun.
“Sedang kita jajaki untuk men-secure dan pemeunhan kebutuhan feedstock sampai dengan 100 ribu ton per tahun. Sedang kita jajaki baik dengan Pertamina maupun pihak lain,” kata Danny.
Nilai Tambah untuk Negara
Road map ekspansi bisnis INALUM memang terlihat agresif. Ini tentu didasari oleh upaya INALUM sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kepanjangan tangan pemerintah yang diamanatkan untuk memenuhi kebutuhan alumunium yang tinggi. Selain dari pada itu, agresifitas dalam ekspansi bisnis ini juga diperlukan untuk menangkap peluang bisnis yang memang cukup besar.
Danny menjelaskan untuk 1 ton bauksit dibanderol dengan nilainya rata-rata antara US$24-US$31 itu akan meningkat nilai tambahnya 3,8 kali lipat ketika diolah menjadi alumina itu dengan ratio 1 ton alumina membutuhkan 3,8 ton bauksit maka untuk alumina itu nilainya menjadi US$118,8 per ton.
Itu hanya dari sisi bauksit, belum termasuk dari SGAR atau smelting grid alumina refinery yang harganya bisa menjadi US$300 per ton, kemudian ditambah alumunium, jadi dari alumina, conversion cost menjadi alumunium, 1 ton alumunium membutuhkan 2 ton alumina. Harganya pun meningkat drastis dari US$118,8 per 0,3 ton menjadi US$465 per setiap 150 kg alumunium.
“Harga 1 ton alumunium kurang lebih di angka US$2.200, tahun lalu sempat mencapai US$2.700 per ton. Ini bisa kita lihat apabila kita bisa manfaatkan produksi bauksit ore di Indonesia maka kita akan mendapat added value yang signifikan,” tegas Danny.
Berdasarkan data dari WoodMckanzie serta CRU hingga tahun 2028 peningkatan permintaan alumunium dunia 2,5% per tahun dengan proyeksi untuk sekunder atau recycle alumunium mencapai 36 juta ton, dengan pangsa 30% dari total alumunium secara global.
Dari sisi supply faktor emisi karbon akan memainkan peranan penting. Dalam jangka panjang diproyeksikan Indonesia akan menjadi negara pemasok alumunium terbesar di dunia.
“Ini juga patut dicermati karna alumunium sekunder dinilai lebih green karena energy intencitynya lebih rendah dibanding alumunium primary. Kita juga melihat permintaan alumunium primer masih didominasi kebutuhan sektor transportasi (termasuk kendaran listrik) dan bangunan, ini yang belum kita touch ke industri lain yang lebih advance secara teknologi seperti aviasi dan pertahanan,” kata Danny.
Selain konsisten berekspansi bisnis, INALUM juga membutuhkan dukungan dari pemerintah sebagai regulator untuk bisa menghasilkan produk yang memiliki berdaya saing tinggi. Beberapa kemudahan yang dibutuhkan antara lain kemudahan bea masuk untuk bahan baku sebagai pendukung industri strategis, ketika bahan baku tersebut belum tersedia di dalam negeri. Selanjutnya adalah kemudahan bea penjualan dalam negeri. Kemudahan bea masuk barang dan jasa (master list) untuk penguasaan teknologi baru dalam hal peningkatan produksi dalam negeri. Pembatasan impor produk alumunium dan bahan baku pendukung industri alumunium ketika sudah tersedia di dalam negeri serta ketersediaan tenaga listrik dengan harga yang wajar.
Manajemen juga berharap proyek SGAR tahap I dan II INALUM serta greenfield smelter expantion project bisa ditetapkan menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) . Ini penting agar bisa mempercepat hilirisasi bauksit serta menumbuhkan ekosistem industri alumunium dalam negeri.
Ramson Siagian, Anggota Komisi VII DPR RI, mengungkapkan peta jalan hilirisasi mineral bauksit yang diusung INALUM patut untuk didukung. Menurutnya INALUM memiliki peran kunci dan diharapkan bisa bergerak cepat mengejar ketertinggalan hilirisasi yang seharusnya sudah dilakukan beberapa tahun lalu.
“Ini inovasi bisnis sistem yang bagus, memang selama ini sudah terlambat hilirisasi, harusnya 2004-2009 sudah harus pelajari aplikasi di lapangan,” kata Ramson.
Sementara itu, Ratna Juwita Sari, Anggota Komisi VII DPR RI, menegaskan bahan mineral yang dimiliki Indonesia memang harus memberikan nilai tambah sehingga Indonesia tidak hanya menjadi pasar. “Harus dipastikan juga midstreamnya kita sudah siap atau belum,” ungkap Ratna.
Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, saat ditemui Dunia Energi mengakui memang INALUM jadi salah satu andalan Indonesia untuk mewujudkan hilirisasi mineral. Kebutuhan alumunium di tanah air kata sangat tinggi sehingga peran INALUM sebagai satu-satunya BUMN penyedia alumunium sangat krusial.
“Kebutuhan kita itu 1,2 juta ton. INALUM baru 250 ribu ton, jadi memang harus ada ekspansi, tingkatkan kapasitas produksi,” kata Irwandy beberapa waktu lalu di Kementerian ESDM.
Sejak tahun 2020 pemerintah menerapkan kebijakan yang sangat tegas terhadap komoditas mineral dengan melarang ekspor nikel ore. Ini tentu ditujukan agar dapatkan nilai tambah bagi dari kekayaan sumber daya alam. Setelah nikel ore berturut-turut mineral lain juga jadi fokus pengembangan. Kata kuncinya adalah hilirisasi jadi tidak ada lagi mineral mentah yang dijual langsung tapi harus diproses untuk menghasilkan produk turunan.
Bauksit sebagai mineral bahan baku utama produk alumunium tidak luput dari perhatian dan INALUM langsung berada di garda terdepan dalam menuju target swasembada alumunium.
Momentum 78 tahun kemerdekaan Indonesia ini harus jadi pengingat bahwa tugas kita sebagai anak bangsa belum selesai. Kini kita tugas kita adalah mengawal agar rencana pengembangan hilirisasi untuk menghasilkan produk alumunium bisa berjalan lancar pun demikian dengan berbagai ekspansi bisnis yang direncanakan INALUM agar Indonesia mampu menancapkan tombak kedaulatan sumber daya alamnya dengan menghasilkan produk-produk yang mampu menjadi motor pembangunan menuju masyarakat yang sejahtera. Merdeka! (RI)
Komentar Terbaru