TRANSISI energi tidak bisa ditawar lagi, termasuk di Indonesia. Selain sektor transportasi dengan penggunaan BBM atau bahan bakar fosil yang tinggi, sektor pembangkit listrik juga jadi sorotan utama karena dianggap jadi biang kerok tingginya emisi yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang merupakan kontributor utama pemasok tenaga listrik di tanah air.
Sebagai pemasok utama energi listrik, PT PLN (Persero) tentu memiliki peran kunci untuk ikut ambil bagian dalam transisi energi menuju energi rendah emisi untuk bisa mencapai Net Zero Emissions (NZE). Berbagai inisiatif sebenarnya sudah disiapkan dan dilakukan oleh manajemen. Salah satu upaya yang paling krusial adalah dengan mengganti bahan baku PLTU listrik dari batu bara menjadi biomassa.
PLN Group terus mengembangkan pemanfaatan biomassa dari berbagai bahan alami yang didapatkan dari potensi lokal daerah. Ada dua aktor protagonis untuk urusan co-firing pembangkit listrik yakni PT PLN Indonesia Power (IP) dan PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI).
Pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), tertuang rencana PLN untuk mengimplementasikan co-firing pada 52 unit PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Co-firing merupakan rencana substitusi batubara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti wood pellet, cangkang sawit dan sawdust (serbuk gergaji).
Inisiatif co-firing biomassa dilakukan PLN sejak tahun 2020. Kala itu penerapannya di uji coba di PLTU Jeranjang, Nusa Tenggara Barat dengan memanfaatkan pellet biomassa hasil dari metoda Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) yang telah dikembangkan oleh STT PLN, PT IP dan Pemkab Klungkung. Memanfaatkan wood pellet dan palm kernel shell, pembangkit PJB juga telah melakukan uji coba di 5 PLTU jenis PC (Pulverized Coal) dan CFB (Circulating Fluidized Bed) diantaranya PLTU Paiton, PLTU Indramayu dan PLTU Rembang (PLTU jenis PC) dengan memanfaatkan wood pellet, dan PLTU jenis CFB yakni PLTU Ketapang dan Tenayan dengan biomassa palm kernel shell dari sawit.
uji coba co-firing mulai dari 1%, 3%, hingga 5% dan bekerja sama dengan beberapa pihak lain diantaranya IPB, MHPS & Sumitomo FW, BPPT, ITS, Lemtek UI, PLN Puslitbang dan Pusenlis. Hasilnya, dari berbagai parameter meliputi visual mixing, material pyrite, parameter operasional coal mill untuk point critical (seperti arus coal mill, bowl pressure, mill outlet temperature) serta temperatur FEGT pada co-firing batubara dan wood pellet hingga 3% menunjukkan hasil yang baik dan masih aman bagi coal mill.
Berdasarkan data PLN hingga akhir tahun ini sudah ada 33 PLTU yang menerapkan co-firing biomassa dari total 48 PLTU yang telah melakukan uji coba penerapannya. Sebanyak 660 ribu ton digunakan dan total listrik yang dihasilkan dari co-firing biomassa sekitar 660 GWh. Penggunaan co-firing untuk menghasilkan energi sebesar itu sama saja telah menurunkan emisi sekitar 650 ribu ton CO2. Rata-rata penggunaan biomassa-nya di pembangkit sebanyak 5-10% dari seluruh kebutuhan bahan baku.
Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), mengungkapkan bahwa kontribusi PLTU tidak mudah untuk digantikan. Namun demikian upaya menekan emisi juga tidak boleh berhenti. Untuk itu co-firing jadi salah satu solusi paling jitu untuk menekan emisi yang dihasilkan oleh PLTU. PLN kata dia memiliki peran penting untuk bisa merealisasikan program tersebut.
“Di Kementerian ESDM masuk memang program co-firing tapi eksekutor PLN yang jalankan PLN siapa lagi kalau untuk yang listrik. Tugas kita di pemerintah menyiapkan regulasi,” kata Dadan kepada Dunia Energi, Selasa (27/12).
Lebih lanjut menurut Dadan yang sekarang juga merangkap sebagai Plt Dirjen Ketenagalistrikan, penerapan co-firing biomassa sudah bisa dieksekusi di hampir semua PLTU yang saat ini beroperasi atau yang menggunakan boiler konvensional. Selain itu juga memiliki keunggulan yang tidak bisa didapatkan oleh alternatif energi lain yakni bisa meningkatkan bauran EBT dengan cepat sekaligus langsung membantu PLN menyediakan pembangkit listrik ramah lingkungan tanpa harus khawatir dengan penambahan kapasitas daya listrik.
“Sekarang itu yang paling dekat tanpa menganggu di PLN dalam arti sedang over supply sekarang itu ya co-firing, tidak menambah kapasitas, tapi meningkatkan bauran EBT. ini yang coba kita dorong ekspansi cukup besar,” jelas Dadan.
Pemerintah berharap PLN bisa segera memperluas penggunaan co-firing secara komersial tidak lagi sebatas uji coba. Saat ini, lanjut Dadan pemerintah tengah menggodok regulasi baru untuk bisa mendorong percepatan implementasi co-firing. Salah satu poin utama dalam beleid tersebut nantinya adalah pemberian insentif agar harga bahan baku co-firing tidak tinggi sehingga bisa bersaing nantinya dengan harga batu bara.
”Kita lagi susun permen, tentang co firing. Intinya satu bahwa cofiring bahasanya sebaiknya dilaksanakan. PLN membuat roadmap termasuk IPP, mekanismen harga, ini belum selesai dari sisi insentif, kalau lebih mahal gimana. Apakah nanti Kemenkeu menyutujui, kalau lebih mahal kan nanti BPP-nya naik disitu sekarang, satu isu itu. Harus menggunakan standar bahan bakarnya. Kita juga jngan sampai dengan co-firing keandalan listrik terganggu. Makanya ditetapkan standar bahan bakar harus gini,” jelas Dadan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essenstial Services Reform (IESR), mengungkapkan upaya untu menggenjot co-firing PLTU tentu harus diapresiasi pasalnlya program jelas bisa mengurangi konsumsi batu bara.
“Co-firing subtitusi 5-10% batu bara selain itu karena konsumsi batu bara berkurang maka emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan pembangkit juga berkurang artinya program ini memang bisa mendukung penurunan emisi GRK,” ungkap Fabby saat dihubungi Dunia Energi.
Namun demikian Fabby mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi isu lingkungan. Jangan samap niat baik menurunkan emisi justru bertabrakan dengan isu deforestasi. Aspek keberlanjutan atau sustainability tidak bisa ditawar.
“Saya sangat mendorong PLN dan pemerintah menetapkan standar keberlanjutan jangan sampai co-firing menjadi sumber deforestasi baru kita harus mencegah itu. Pemetaan potensi sumber campuran batu bara untuk program co-firing,” jelas Fabby.
Manajemen PLN menyadari betul akan adanya isu lingkungan yang membayangi implementasi program co-firing pembangkit listrik. Untuk itu mitigasi dilakukan melalui sinergi bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PTPN Grup dan Perhutani. Dari 52 lokasi co-firing PLTU yang ditargetkan Hingga 2025, PLN membutuhkan kurang lebih 10,2 juta ton biomassa untuk menjadi substitusi 10% kebutuhan batu bara di PLTU. PTPN dan Perhutani nantinya akan memasok kebutuhan biomassa tersebut.
Perhutani akan menyediakan woodchip dalam bentuk serbuk (sawdust), sementara PTPN memasok limbah perkebunan/tandan kosong segar. Dengan begitu, PLN sebagai pembeli, sementara Perhutani dan PTPN sebagai pemasok. Kesepakatan kerjasama ketiga BUMN tersebut telah ditandantangani sejak Juli 2021.
Perhutani memiliki sumber daya kawasan hutan seluas 2,4 juta Ha di pulau Jawa & Madura dan 1,3 juta Ha di luar Pulau Jawa yang dikelola oleh Anak Perusahaan dan dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman energi. Adapun yang telah dikembangkan hutan tanaman energi seluas ±27 ribu Ha dari rencana seluas sekitar 70 ribu Ha.
Untuk tahap awal Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa dua PLTU PLN untuk PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahun.
Perhutani juga bakal membangun pabrik pengolahan tanaman kaliandra dan gamal menjadi serbuk kayu di wilayah Sukabumi untuk mendekati PLTU.
Sedangkan untuk PLTU Rembang, Perhutani akan memasok 14.300 ton per tahun serbuk kayu kaliandra dan gamal. Melalui skema bisnis yang sama, Perhutani akan membangun pabrik pengolahan di wilayah Rembang.
Mohammad Abdul Ghani, Direktur Utama PTPN III mengungkapkan dukungan PTPN III nantinya akan memastikan keandalan pasokan biomassa ke PLN.
“Rencana kami memasok tandan kosong sebagai bahan bakar cofiring,’ ungkap Abdul Ghani kepada Dunia Energi.
PTPN Group mengestimasikan dapat menyuplai 500 ribu ton tandan kosong segar kepada PLN. Dan angka tersebut dapat berkembang hingga 750 ribu ton tankos segar per tahun pada 2024 sesuai dengan RJPP PTPN Group.
Co-firing biomassa pada PLTU merupakan salah satu dari delapan inisiatif PLN memimpin transisi energi di Indonesia diantaranya mempensiunkan PLTU batu bara secara bertahap, lalu uji coba co-firing hydrogen dan ammonia, pengembangan carbon capture and storage (CCUS), akselerasi penambahan pembangkit listrik berbasis energi bersih, pengembangan teknologi smart grid dan control system, memberikan layanan sertifikan energi terbarukan (REC), pengembangan ekosistem kendaraan listrik serta implementasi co-firing biomassa.
Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, menyatakan co-firing biomassa jadi strategi jitu untuk menekan emisi yang dihasilkan pembangkit listrik. Selain emisi rendah, penerapannya juga tidak banyak memerlukan tambahan investasi pada pembangkit.
“Biomassa juga termasuk carbon neutral, yang memiliki kadar sulfur yg lebih rendah, kadar abu yang kecil sehingga menurunkan emisi SOx dan lebih ramah lingkungan,” ungkap Darmawan.
Co-Firing Ekosistem Pembangkit Listrik Berbasis Kerakyatan
Dadan menilai implementasi co-firing tidak hanya dilihat dari sisi manfaat lingkungan maupun terhadap korporasi PLN. Jika dicermati, penerapan co-firing manfaatnya bisa dirasakan juga oleh masyarakat dari sisi ekonomi.
“Masyarakat nanti yang memasok energi (biomassa). Ekonomi masyarakat jadi terbantu,” ujar Dadan.
Fabby juga menyatakan dalam penyediaan biomassa keterlibatan masyarakat sekaligus meningkatkan tingkat ekonominya dalam co-firing menjadi nilai tambah yang tidak dimiliki pembangkit listrik lain termasuk pembangkit EBT
“Ini dibuat rantai pasok hingga bisa ke PLTU kalau dikerjakan serius itu sangat mungkin jadi co-firing tidak hanya berdampak ke penurunan emisi tapi juga penulihan lahan kritis dan ekonomi masyarakat. Kementerian ESDM dan PLN bisa mendorong ke arah situ dan sebaiknya bisa melibatkan kementerian lain. Jadi program nasional,” jelas Fabby.
Direktur Biomassa PLN EPI Antonius Aris Sudjatmiko, menjelaskan PLN Group telah membangun rantai pasok biomassa yang sustainable untuk memenuhi kebutuhan co-firing dalam jangka panjang. PLN juga dibantu oleh pemerintah untuk menerapkan standar biomassa yang berkualitas.
“Potensi biomassa kita sangat besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Meski di beberapa area memang belum dikembangkan secara maksimal. Saat ini kami telah melakukan pemetaan jenis hingga potensi pasokannya, sekaligus mengatur prosesnya sampai ke pembangkit PLN,” ungkapnya.
Dalam peningkatan ekonomi kerakyatan melalui co-firing, PLN telah menjalin kerja sama dengan 12 pemerintah daerah untuk pemanfaatan biomassa sampah.
“Melalui program ini, kami tidak hanya bermaksud mengganti batu bara dengan biomassa, tetapi juga membangun rantai pasok biomassa yang andal dengan melibatkan masyarakat. Sehingga dalam penyediaannya punya dampak ekonomi untuk masyarakat secara langsung,” kata Aris.
Komentar Terbaru