JAKARTA – Perkembangan pesat teknologi energi terbarukan kerap menyebabkan kesenjangan teknologi antara negara maju dan berkembang. Padahal, untuk memastikan kesuksesan dan transisi energi yang adil, setiap negara membutuhkan teknologi dengan harga yang terjangkau, dapat diandalkan dan ramah lingkungan. Namun dalam pengembangannya, teknologi juga memicu perdebatan lain tentang pro dan kontra akan suatu teknologi, efisiensi, keterjangkauan dan perannya dalam transisi energi.
Program Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) menyadari bahwa adaptasi menuju teknologi baru sangatlah penting bagi negara untuk mencapai pasokan ketenagalistrikan dan target pengurangan emisinya, terutama bagi negara-negara yang telah memiliki target iklim, termasuk Indonesia. Indonesia telah menyatakan target net-zero pada tahun 2060 atau lebih cepat dan salah satu strategi yang digunakan adalah dengan melakukan dekarbonisasi sektor energi.
Untuk melakukan diskusi dan mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang teknologi baru, Program CASE menyelenggarakan Emerging Technologies Discussion Series, yang telah dimulai sejak Maret 2023, sebagai bagian dari Road to Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023. Diskusi topik pertama akan membahas tentang Teknologi Penyimpanan Energi dan Interkoneksi Jaringan Ketenagalistrikan. Melalui seri diskusi ini, CASE akan mengumpulkan data dari berbagai pemangku kepentingan, antara lain, badan pemerintahan, ahli-ahli, dan akademisi, yang akan disatukan dan dipresentasikan kepada pemerintah saat ISEW 2023.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan teknologi interkoneksi jaringan ketenagalistrikan dan penyimpanan energi untuk memastikan keberhasilan transisi energi. Mengutip laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emission by 2050 yang dipublikasikan oleh IESR tahun 2021, Indonesia memerlukan integrasi dan penyimpanan energi harus dibangun untuk penggunaan energi terbarukan yang maksimal, seperti energi surya. Mempertimbangkan potensi energi terbarukan Indonesia yang sangat besar, perkembangan teknologi baru sangat penting untuk memaksimalkan potensi Indonesia dalam pembangkitan energi bersih.
Agus Tampubolon, Manajer Program CASE Indonesia, mengatakan bahwa penggunaan teknologi interkoneksi jaringan dan penyimpanan energi sangat penting bagi Indonesia, terutama sebagai investasi jangka panjang, dan tidak dipandang sebagai beban dari pilihan Indonesia bertransisi menuju energi terbarukan. Kedua teknologi ini dapat meningkatkan ketersediaan energi dan keandalan sistem yang digunakan. “Dengan teknologi penyimpanan energi yang semakin terjangkau, digabungkan dengan interkoneksi antar pulau, biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan akan semakin murah,” kata Agus, Selasa(27/6).
Deni Gumilang, Penasehat Senior/Pemimpin Tim CASE, Program Energi GIZ Indonesia, memaparkan peran Program CASE dan kontribusinya untuk mengubah narasi transisi di Indonesia dengan advokasi berbasis bukti. Beberapa topik utama yang diusung oleh CASE antara lain, tentang peningkatan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi, dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan, pembiayaan energi berkelanjutan, pemodelan energi, dan aspek-aspek komunikasi. “Saat ini Program CASE sedang mengembangkan pemodelan Long Term Energy Scenario yang berkaca dari tren energi dan model-model net-zero emissions yang dapat digunakan untuk mendukung narasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional,” ujar Deni.
Yudiandra Yuwono, Penasihat Transisi Energi GIZ Indonesia yang juga menjadi Periset Utama bagi Long Term Energy Scenario, kembali mendesak Pemerintah Indonesia untuk semakin proaktif dalam mempersiapkan kebutuhan pasokan energi di masa depan. Melalui prakiraan, kebutuhan listrik Indonesia dapat mencapai sepuluh kali lipat pada tahun 2060, dan melalui data ini, teknologi penyimpanan energi akan semakin dibutuhkan.
“Untuk mencapai target net-zero emissions pada tahun 2060 dan mengurangi ketergantungannya pada energi fosil, teknologi baterai dan pompa penyimpanan akan berperan penting dalam transformasi sektor energi,” ujar Yuwono.
Analisis Skenario Energi Jangka Panjang (Long-Term Energy Scenario/LTES) memberikan rekomendasi, bahwa pada tahun 2050, teknologi penyimpanan energi akan menyumbang 10% dari total kapasitas pembangkitan energi. Teknologi penyimpanan energi diperkirakan mengalami pengembangan yang sangat cepat dalam satu dekade kedepan, dan sangat penting bagi Indonesia untuk melaju dengan kecepatan yang sama dalam perkembangan teknologi dan membahas tantangan-tantangan yang ada. Beberapa usaha yang harus dilakukan antara lain, meningkatkan kapabilitas sektor industri untuk mengintegrasi teknologi pada interkoneksi jaringan ketenagalistrikan.
Yuwono memberikan highlight bagi kebutuhan Indonesia dalam meningkatkan interkonektivitas jaringan antar pulau, terutama antara Pulau Jawa dan pulau-pulau besar lainnya, sebagai langkah selanjutnya untuk mempersiapkan masa depan. Mengetahui bahwa potensi energi terbarukan sangat bergantung pada kondisi geografis sebuah negara, dengan adanya interkonektivitas, Indonesia dapat menggunakan potensi energi terbarukannya secara maksimal. Strategi ini dapat memperkuat keandalan dan keamanan sistem jaringan ketenagalistrikan dan meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi.
Mengetahui ketidakpastian yang dialami oleh proyeksi permintaan pasar, Yuwono menganjurkan untuk melakukan ekspansi pada cakupan sistem jaringan sebagai bagian dari strategi mitigasi risiko, yang dapat menyediakan pelayanan yang lebih luas. “Melalui implementasi strategi forward thinking, Indonesia dapat mencapai masa depan sektor energi yang berkelanjutan, tangguh dan efisien,” kata Yuwono.(RA)
Komentar Terbaru