JAKARTA – Indonesia bersama ratusan negara lain pada Conference of Parties (COP) ke-26, di Glasgow, Skotlandia, awal November 2021, berjanji untuk menghentikan penggunaan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Indonesia pun bertekad menghentikan pembangunan PLTU mulai 2026 hingga 2030. Penghentian penggunaan komoditas unggulan Indonesia tersebut dipandang penting untuk menyelamatkan iklim, memulihkan lingkungan dan memacu pertumbuhan ekonomi yang didukung energi bersih.
Hampir berbarengan dengan deklarasi tersebut, Benua Eropa, terutama Inggris, dilanda krisis energi. Biang keladinya adalah terganggunya pasokan gas dan harga minyak yang naik. Sementara pasokan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak mencukupi kebutuhan. Harga energi yang semakin mahal membuat Eropa kembali melirik PLTU. Batubara yang sudah mendapatkan stigma sebagai “energi hitam” menjadi penyelamat daratan Eropa sehingga listrik-listrik di wilayah itu tetap berpendar.
Jika negara maju masih kewalahan mengamankan pasokan energi setelah menghindari pasokan listrik dari PLTU, apakah cukup realistis bagi Indonesia untuk bergegas meninggalkan batubara sebagai sumber energi bagi pembangkit dan menggantikannya dengan EBT?
“Melihat perkembangan global saat ini, juga kebijakan yang diambil pemerintah di dalam negeri, penggunaan EBT sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik dalam jangka panjang tidak dapat dihindarkan. Kami (PLN-red) sedang menuju ke sana,” tutur Ida Zubaidah, Sekretaris Perusahaan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), beberapa waktu lalu.
Ida memulai perbincangan tersebut saat Jakarta sore itu diguyur hujan lebat. Ia bergegas kembali dari Purwakarta selepas acara penanaman 3,2 juta pohon jenis kaliandra, gamal dan buah di area Dam Right Bank Waduk PLTA Cirata, Jumat (12/11). Penanaman pohon tersebut terkait erat dengan rencana PT PLN (Persero) – induk usaha PJB — untuk mendukung pencapaian bauran energi nasional untuk EBT sebesar 23% pada 2025. Kayu yang dihasilkan menjadi sumber bahan bakar biomassa untuk program co-firing.
Program co-firing dengan memanfaatkan biomassa sebagai campuran bahan bakar pada pembangkit menjadi bagian dari PLN Green Booster. Inisiatif tersebut krusial sebagai fase transisi energi dari fosil ke EBT tanpa memberatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Ini adalah salah satu siasat yang tepat untuk meningkatkan porsi EBT dan mengurangi konsumsi batubara sehingga emisi karbon berkurang. Dengan demikian, target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 bukan suatu yang mustahil diraih.
Selain berfungsi mengejar bauran energi, co-firing digadang-gadang sebagai bagian dari dari ekosistem listrik kerakyatan karena menggerakkan masyarakat untuk menyiapkan feedstock biomassa dan pelet sampah. Program co-firing PLN melalui pemanfaatan hutan tanaman industri juga bakal menyerap tenaga kerja dan UMKM guna berpartisipasi dalam tanaman industri. Program ini menciptakan ekonomi sirkular di masyarakat.
Singkatnya, co-firing adalah cerminan masa depan operasionalisasi PLTU di Tanah Air. PLN menargetkan implementasi co-firing di 52 PLTU eksisting dengan total kapasitas terpasang 10,6 GW pada 2025.
PJB telah melakukan studi co-firing sejak 2018. Sampai saat ini, telah dilakukan uji coba co-firing pada 16 PLTU di Jawa dan luar Jawa dengan presentase bauran biomassa 1-20%. Pengembangan co-firing di PJB terus menunjukkan hasil menggembirakan. Pada September 2021, PJB telah berhasil memproduksi green energy dengan total sebesar 61.07 GWh. Sebulan kemudian, pencapaian ini naik menjadi 86,54 GWh dan melonjak hingga dua kali lipat per 21 Desember 2021 sebesar 124,89 GWh dengan perincian: PLTU Paiton1 dan 2 sebesar 52,663.52 MWh; PLTU Pacitan (1,144.37 MWh); dan PLTU Rembang (10,475.96 MWh).
Selanjutnya, program co-firing di PLTU Paiton 9 menghasilkan energi bersih 17,178.66 MWh; PLTU Tanjung Awar (5,710.35 MWh); PLTU Ketapang (196.30 MWh); PLTU Anggrek (2,552.11 MWh); PLTU Bolok (47.47 MWh); PLTU Ropa (42,90 MWh)’ dan PLTU Pulang Pisau sebesar 396,03 MWh. “Pencapaian ini karena komitmen pekerja di unit untuk mendukung eksekusi co-firing yang juga rutin dipantau oleh PLN Pusat dan PLN Regional. Kesuksesan juga ditopang sustainability pasokan biomassa yang lebih terjaga,” tutur Ida kepada Dunia Energi, Rabu (29/12).
Gong Matua Hasibuan, Direktur Utama PJB, menegaskan implementasi co-firing dilakukan tidak hanya untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendorong efisiensi dari operasional pembangkit. Sebagai contoh, di PJB ada beberapa unit PLTU menggunakan cangkang kelapa sawit sebagai biomassa yang diandalkan. “Konsistensi PJB dengan menggunakan sumber energi, teknologi, dan bahan bakar yang bersih dalam memproduksi energi bersih melalui metode co-firing ini sejalan dengan SDGs 7 yaitu menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua,” tegasnya.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menambahkan ada dua bahan baku yang dapat digunakan dalam metode co-firing yakni sampah dan limbah atau hasil hutan berupa kayu. Potensi volume sampah sebagai bahan baku pellet saat ini sebesar 20.925 ton per hari yang terkonsentrasi di 15 tempat pengelolahan sampah kota, yakni DKI Jakarta (7.000 ton/hari), Kota Bekasi (1.500 ton/hari), Kabupaten Bekasi (450 ton/hari), Batam (760 ton/hari), Semarang (950 ton/hari), Surabaya (1.700 ton/hari) Kota Tangerang (1.200 ton/hari), Denpasar dan Badung (1.155 ton/hari).
Selanjutnya, volume sampah di Kota Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor (1.500 ton/hari), Makassar (1.000 ton/hari), Bandung (1.630 ton/hari), Surakarta (550 ton/hari), Malang (800 ton/hari), Regional Jogja (440 ton/hari) dan Balikpapan (290 ton/hari). “Nilai kalori pengelolahan sampah yang dihasilkan sekitar 2.900 – 3.400 Cal/gr,” kata Agung.
Adapun total potensi kayu untuk dijadikan jadi wood pellet setara dengan 1.335 MWe. Potensi tersebut tersebar di Sumatera (1.212 MWe), Kalimantan (44 MWe), Jawa, Madura dan Bali (14 MWe), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (19 MWe), Sulawesi (21 MWe), Maluku (4 MWe) dan Papua (21 MWe) dengan nilai kalori sebesar 3.300 – 4.400 Cal/gr. Sekitar 1% campuran co-firing PLTU diperkirakan membutuhkan biomassa 17.470 ton per hari atau 5 juta ton wood pellet ton per tahun. Kebutuhan itu ekuivalen dengan 738 ribu ton per tahun pellet sampah.
PLN saat ini memiliki tiga tipe PLTU yakni tipe Pulverized Coal (PC) sebanyak 43 buah dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari; sebanyak 38 tipe Circulating Fluidized Bed (CFB) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Adapun 23 tipe Stoker dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021, kontribusi PLTU bakal terpangkas dan kemudian digantikan dengan pembangkit hijau. Penambahan kapasitas pembangkit listrik hingga akhir dekade ini ditargetkan sebesar 40,6 GW dengan porsi pembangkit EBT sebesar 51,6% dan fosil 48,4%. Porsi PLTA, PLTM dan PLTMH mencapai 25,6% dengan total kapasitas 10.391 MW. Kemudian PLTB mendapat porsi 1,5% (597 MW), PLT Bio 1,5% (590 MW), PLTP 8,3% (3.355 MW), PLTS 11,5% (4.600 MW), PLT EBT Base 2,5% (1.010 MW), dan battery energy storage system (BESS) 0,7% (300 MW).
Mengacu pada RUPTL tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menilai kebutuhan biomassa dari tahun ke tahun akan terus mengalami peningkatan dari sekitar 500 ribu ton pada tahun ini menjadi sekitar 1,3 juta ton pada 2022. “Kalau dari RUPTL pada 2030 kebutuhan biomassa sampai 11 juta ton dalam satu tahun. Jadi, kalau 1 hektare menghasilkan 10 ton biomassa maka silakan dihitung kebutuhan lahannya. Mungkin perlu sekian ratus ribu hektare,” katanya.
EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Edwin Nugraha Putra menambahkan penggantian batubara sebagai bahan bakar pada PLTU dalam co-firing akan mendorong kontribusi biomassa dalam porsi EBT pada 2025. Menurut dia, PLN berencana sampai 2025 sekitar 10-20% batubara digantikan biomassa. “Kita berharap sebesar 3-6% bauran EBT pada 2025 berasal dari biomassa,” katanya.
Beriringan dengan pelaksanaan co-firing, PLN terus menelisik sejumlah alternatif pemanfaatan teknologi untuk mendukung pencapaian target NZE, terutama di PLTU. Pasalnya, tutur Edwin, pembangunan PLTU berbahan bakar batubara yang termasuk dalam proyek 35.000 MW tetap akan dilanjutkan di tengah dorongan mencapai emisi bebas karbon pada 2060. PLN merancang pemanfaatan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Utilization Storage/CCUS) dimana inovasi ini dapat mereduksi karbon sebesar 90% dari pembangkit berbahan bakar fosil.
“Komitmen pembangunan PLTU yang sudah mendapatkan kepastian pendanaan akan berjalan beriringan dengan komitmen manajemen dalam menurunkan emisi gas buang. PLTU kata dia masih tetap dibutuhkan karena sejauh ini masih menjadi penghasil energi atau listrik termurah,” tutur Edwin, Selasa (14/12).
Namun, PLN masih menemui sejumlah tantangan untuk menerapkan teknologi CCUS. Salah satunya adalah tingginya investasi yang dibutuhkan sehingga berpengaruh pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. “Harganya (CCUS) masih mahal, hampir sama seperti membeli dari PLTU baru sekitar US$6 sen juga per KWh dampaknya. Sehingga PLN berencana pemakaian CCUS setelah pembangkit PLTU ke fully depresiated. Namun, CCUS menjadi sebuah keniscayaan jika PLN mau terus menggunakan batubara sebagai bahan baku utama untuk menghasilkan listrik,” katanya.
Dari total emisi di PLN pada 2030 sebesar 330 juta ton, batubara mengeluarkan hampir 300 juta ton. Sambil menunggu CCUS mencapai nilai keekonomian, produsen listrik bisa menggunakan teknologi termutakhir untuk menekan emisi serta efisien dalam penggunaan batubara serta memanfaatkan co-firing.
Yayan Satyakti, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran Bandung, meminta proses transisi energi dilakukan secara hati-hati karena faktanya energi fosil sulit digantikan karena paling efisien jika dibandingkan dengan sumber energi lain. Dia melihat untuk mendorong ketersediaan energi yang lebih bersih harus ada berbagai perbaikan dari pemerintah seperti kebijakan subsidi dan perbaikan harga jual listrik. “Kebijakan subsidi energi misalnya dapat dialihkan untuk subsidi bunga pinjaman bagi pembiayaan investasi energi bersih,” katanya. (Lili Hermawan)
Komentar Terbaru