Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Suara sirine ambulans memecah kesunyian di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Perjalanan begitu lama terasa, padahal jarak dari tempat awal ambulans bergerak dari kawasan Bulungan tidaklah jauh, paling hanya butuh beberapa menit di tengah malam untuk sampai di Simprug. Pada kondisi normal, kawasan ini memang sudah sepi pada jam-jam pergantian hari. Ditambah lagi dengan kehadiran pagebluk COVID-19, hiruk pikuk ibu kota yang biasa terdengar kini telah jauh berkurang. Masyarakat lebih memilih atau diwajibkan untuk diam di rumah.
Suara sirine perlahan mulai hilang seiring dengan kecepatan mobil yang melambat dan mulai masuk ke kawasan Pertamina Simprug di Jalan Teuku Nyak Arief. Lagi-lagi hanya kesunyian yang menyambut malam itu di kawasan yang kini sudah disulap menjadi wilayah khusus penanganan wabah virus COVID-19.
Hari itu, 17 September 2020, ketegangan terus dirasakan oleh Agus Trimurti (65 tahun) sejak dinyatakan positif COVID-19. Setelah melakukan swab test di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta, Agus langsung mendapatkan perawatan di Rumah Sakit RSPP Extension atau rumah sakit darurat yang dibangun khusus untuk merawat pasien COVID-19 di Simprug.
“Jadi memang pas masuk itu tegang sekali suasananya, masih panik juga karena syok tahu kalau kita positif,” kata Agus menceritakan pengalamannya kepada Dunia Energi belum lama ini.
Ketegangan Agus bercampur kekhawatiran karena harus meninggalkan keluarganya untuk beberapa hari ke depan. Inilah konskuensi jika sudah terlanjur terpapar virus yang berasal dari Wuhan, China itu.
Selama tujuh hari dia mendapatkan perawatan intensif di RSPP Extension. Meskipun tidak memiliki gejala berat tetap saja pemantauan ketat harus dilakukan. Ini adalah prosedur yang wajib dijalankan semua pasien yang sudah terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Agus mengaku jantungnya masih berdebar kencang di hari-hari awal perawatan. Kecemasan terus menyelimutinya. Bayang-bayang tentang kengerian yang bisa saja terjadi akibat COVID-19 terus muncul di kepalanya. Apalagi suasana rumah sakit khusus ini juga berbeda dengan rumah sakit pada umumnya. Para tenaga medis di RSPP Extension berpakaian berbeda dengan tenaga medis yang biasa ditemui Agus. “Pakaian APD (Alat Plindung Diri/hazmat) lengkap ketutup semua, kaya alien,” cerita Agus.
Rumah sakit yang didesain secara modular ini memang dijaga agar tetap tenang dengan tujuan agar para pasien yang dirawat bisa berisitirahat dengan maksimal. Tidak banyak yang bisa dilakukan di dalam rumah sakit, untungnya Agus mampu mengendalikan diri dan kesan seram perlahan tapi pasti mulai sirna.
Menurut Agus kehadiran para tenaga medis yang memantau perkembangan para pasien dan selalu siap siaga 24 jam, meladeni keluhan ataupun permintaan adalah interaksi sosial yang bisa dilakukan di rumah sakit modular. Hal itu cukup membantu dirinya dalam mengelola stres yang dirasakan. “Memang perlu waktu mereka menjawab panggilan sekalian jalan, karena terbatas mungkin tenaga medis sementara pasiennyakan banyak,” ujar Agus.
Meski modular atau sementara, fasilitas dan pelayanan di RSPP Extension Simprug bisa diadu dengan rumah sakit pada umumnya. Satu hal yang jadi perhatian adalah tentang kebersihan. Karena diisolasi otomatis Agus dan pasien lain tidak diperbolehkan meninggalkan ruangan. Makanan pun diantar baik makanan dari pihak rumah sakit ataupun makanan yang datang dari luar seperti kiriman dari keluarga. Selama dirawat, pasien RSPP Extension memang masih diberi kesempatan untuk makan selain menu yang disiapkan dari rumah sakit.
“Rutin kebersihan itu yang saya perhatiin. Setiap jam 10 pasti bersihin kamar mandi. Karena kan kami juga boleh dapat makanan dari luar jadi banyak bungkusannya pasti dibersihin dijagalah kebersihannya,” ujar Agus.
Masa pengobatan hingga pemulihan Agus terbilang cepat, masuk rumah sakit tanggal 17 September dan tanggal 24 September dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Cepatnya penyembuhan ini tentu tidak lepas dari perawatan dan pengawasan ketat para tenaga media di RSPP Extension agar para pasien COVID-19 mendapatkan waktu yang cukup untuk isitirahat, makanan bergizi serta asupan vitamin yang dibutuhkan. Karena hingga kini hal itulah yang jadi obat mujarab untuk mengalahkan COVID-19 terutama untuk pasien dengan gajala sedang.
RSPP Extension dibangun di atas lapangan sepak bola di dalam komplek Pertamina Foundation di Simprug yang dibangun oleh dua anak usaha Pertamina, PT Patra Jasa dan PT Pertamedika. Rumah sakit seluas 22.700 m2 ini memiliki kapasitas 300 tempat tidur yang terdiri atas 240 tempat tidur non-ICU, 31 bed ICU, 19 bed HCU, dan 10 bed IGD dan sudah mulai beroperasi pada 9 Juni 2020. Seluruh ruangan di rumah sakit darurat Simprug ini dilengkapi negative pressure dan filter HEPA sehingga udara yang dilepaskan keluar rumah sakit tetap aman untuk lingkungan.
Salah satu keunggulan lain dari RSPP Extension ini yaitu dengan adanya instalasi Hemodialisa (terapi cuci darah) sehingga dapat mempermudah penanganan pasien COVID-19 yang juga membutuhkan penanganan cuci darah.
Tidak hanya itu, di sana juga terdapat ruang bersalin sehingga jika ada ibu hamil positif COVID-19 mau melahirkan, rumah sakit bisa menerima dan dapat menanganinya dengan baik. Bahkan setelah melahirkan, bayinya juga tetap dapat berada dekat dengan ibunya.
Melengkapi dua fasilitas tersebut, RSPP Extention modular ini juga memiliki layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruang operasi, ruang laboratorium, radiologi, instalasi Farmasi, instalasi gizi, ruang sentral sterilisasi, ruang laundry, dan ruang pemulasaraan jenazah.
Rumah Sakit darurat extension RSPP ini didukung oleh 950 tenaga medis dan paramedis, serta dilengkapi dengan peralatan canggih seperti CT Scan 32/64 slice, CCTV 2 arah dilengkapi dengan unit video endpoint. Di mana sistem ini dapat membantu pasien berkomunikasi dengan keluarga secara langsung, hingga central monitor yang disiapkan dalam Command Room.
Agus W Susetiyo, Head of Business Management RSPP, mengungkapkan RSPP Extension memang didesain sedemikian rupa agar memiliki kemampuan mumpuni dalam perawatan pasien COVID-19. Kualitas pelayanannya sendiri juga mengikuti prosedur yang sudah jadi standardisasi pelayanan RSPP. Menurut dia, lokasi rumah sakit darurat ini memudahkan RSPP sebagai pelaksana pengelolaan rumah sakit memberikan perawatan kepada pasien.
“Bagusnya itu dekat dengan RSPP jadi ketika terjadi hal-hal tidak diinginkan terkait kebutuhan medis kita bisa support dari RSPP langsung misalkan kejadian dokter perlu tambahan tenaga medis karena ada kejadian mendadak” ungkap Agus saat ditemui Dunia Energi di sebuah acara kerja sama Pertamina dan Dewan Pers, belum lama ini .
Agus menuturkan, jumlah pasien saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pertama kali sempat melonjak cukup signifikan. Kebutuhan tempat tidur kala itu langsung meningkat pesat yang tadinya hanya ada puluhan pasien, penghuni RSPP Extension langsung membengkak menjadi ratusan pasien.
Menurut dia, saat itu pihak RSPP merespon cepat kebutuhan tempat tidur dan perlatan karena meningkatnya kasus positif.
“Awal-awal pandemi itu kita buka hanya sekitar 50-80 bed tiba-tiba ada peningkatan dengan mudahnya kita ambil dari salah satu lantai (di RSPP) kita kosongkan semua tempat tidur kita geser ke Simprug. Waktu itu kita kosongin satu lantai di lantai 7,” katanya.
Berada di garda terdepan dalam perang melawan COVID-19 tenaga medis yang bertugas di RSPP Extension harus memiiki bekal kemampuan khusus dalam penanganan COVID-19. Untuk itu berbagai pelatihan diberikan manajemen kepada para tenaga medis sebelum bertugas. Salah satu pengetahuan dasar yang sangat penting adalah pemakaian dan pelepasan pakaian Alat Pelindung Diri (APD) atau Hazmat karena jika salah sedikit saja, tenaga medis justru berpotensi paling besar tertular virus. Peredaran udara di ruangan tertutup dan bersuhu rendah juga jadi perhatian. Meskipun masih dalam tahap kajian adanya potensi penularan virus melalui peredaran udara di ruangan tertutup tetap menjadi perhatian serius Pertamina. Oleh karena itu tenaga medis yang bertugas di RSPP Extension juga dibekali pengetahuan khusus tentang orientasi ruangan.
“Wajib training untuk penanganan pasien COVID-19 itu wajib dilakukan. Safety petugas sendiri penggunaan APD, pelepasan APD, orientasi ruangan, karena itu khusus banged kita bisa pakai hazmat tapi kalau melepaskannya salah nanti justru tertular sendiri terus kemudian terkait standarisasi penanganan pasien COVID-19 memang berbeda banged dengan pasien biasa,” jelas Agus.
Meskipun fasilitas di RSPP Extension terbilang cukup lengkap dan layak seperti rumah sakit permanen, Pertamina tetap siaga dan terus berbenah tingkatkan pelayanan. Tentu tujuannya agar proses penyembuhan pasien COVID-19 bisa ditingkatkan.
Agus menuturkan saat ini RSPP Extension sudah dilengkapi dengan fasilitas CT Scan. Kehadiran alat satu ini cukup penting guna memastikan keberadaan virus SARS-CoV-2.
“Dulu awalnya dilakukan di RSPP nah sekarang kalau dirawat di rumah sakit modular langsung di CT Scan di sana sudah ada itu. Sangat diperlukan untuk diagnosis pasien COVID-19 karena kadang gejalanya COVID-19 ada tapi pas di swab negatif kita harus tindak lanjuti dengan screening paling tidak CT Scan di torax,” kata Agus.
Selain itu, dia menegaskan, kemampuan daya tampung pasien di RSPP Extension juga meningkat. Saat ini memang tersedia 30an bed untuk perawatan ICU tapi kemampuan RSPP Extension sendiri sebenarnya bisa menyediakan 100 bed perawatan ICU. “Kemampuan kita sanggup sampai 100 bed untuk ICU, itu sudah lengkap semua alat-alatnya termasuk ventilator,” ungkap Agus.
Kurangi Beban Negara
Kehadiran RSPP Extension di kawasan Pertamina Simprug membuat kawasan yang dulu ramai oleh aktivitas masyarakat untuk berolahraga serta pendidikan —terdapat Universitas Pertamina— kini menjelma menjadi salah satu benteng pertahanan terdepan dalam melawan pandemi COVID-19.
Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, mengungkapkan kehadiran rumah sakit modular di tengah pandemi sangat baik karena bisa menambah kapasitas rumah sakit khusus perawatan bagi pasien yang terjangkit virus. Terlebih rumah sakit dibangun di Jakarta, salah satu pusat sebaran virus di Indonesia.
“Tentu kehadiran rumah sakit modular (RSPP Extension) ini untuk menambah kapasitas rumah sakit rujukan COVID-19 di Jakarta yang sudah ada saat ini. Kapasitas yang cukup untuk penanganan pasien baik untuk perawatan maupun isolasi dapat menekan angka kasus aktif,” kata Wiku saat dihubungi Dunia Energi (26/10).
Menurut pria yang ahli dalam bidang kebijakan kesehatan dan penanggulangan penyakit infeksi ini kehadiran rumah sakit modular yang dibangun Pertamina sangat penting dan berdampak langsung terhadap kemampuan pengendalian wabah COVID-19 secara nasional.
“Karena tujuannya untuk menambah kapasitas untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan perawatan maupun isolasi maka ini merupakan itikad baik karena dapat mengurangi beban fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pemerintah,” ujarnya.
Wiku berharap kehadiran Pertamina jadi salah satu instrumen penting dalam penanganan dan pengendalian COVID-19. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga memiliki anak usaha di sektor kesehatan, Wiku meyakini Pertamina bisa berperan dalam membantu negara melalui masa sulit seperti sekarang.
“Kami berharap Pertamina dapat mendukung penuh upaya pengendalian COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Peningkatan kualitas pelayanan dan manajemen rumah sakit yang berkelanjutan dapat dilakukan sehingga dapat membantu mengurangi beban negara,” jelas Wiku.
Pertamina memang tidak setengah-setengah dalam membantu pengendalian wabah COVID-19 berdasarkan data perusahaan yang diterima Dunia Energi, hingga pertengahan Oktober perusahaan migas plat merah itu telah gelontorkan Rp902 miliar untuk membantu pengendalian COVID-19. Perseroan sendiri berkontribusi Rp621 miliar diperuntukan untuk medis Rp270 miliar, bantuan dalam bentuk CSR dan donasi Rp251 miliar, sarana dan fasilitas termasuk melakukan sosialisasi, extra fooding Rp100 miliar. Kemudian kontribusu Anak Perusahaan Pertamina total mencapai Rp282 miliar.
Fajriyah Usman Vice President Corporate Communication Pertamina menuturkan dana tersebut termasuk diperuntukan untuk pembangunan rumah sakti modular di Simprug dan RSPJ Patra Comfort serta dialokasikan untuk berbagai kebutuhan medis dan pendukung dalam meningkatkan sistem kesehatan masyarakat.
“Misalnya sudah bagikan sekitar 5 juta masker, 1,2 juta sarung tangan, lebih dari 260 ribu APD, lalu 315 ventilator,” kata Fajriyah.
Krisdyatmiko, Ketua Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), menuturkan pandemi COVID-19 bisa dikategorikan sebagai bencana yang disebabkan faktor nonalam. Dalam tahapan penanggulangan bencana pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga yakni pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.
Menurut dia, Pertamina boleh saja melaksanakan program bantuan secara massif, tetapi jangan hanya fokus pada saat bencana yang biasa dikenal dengan tahap tanggap darurat. “Pasca bencana seperti pemulihan dan rekonstruksi sangat penting karena berorientasi jangka panjang untuk pemberdayaaan masyarakat, kemandirian dan keberlanjutan,” ujar Krisdyatmiko saat dihubungi Dunia Energi.
Kris mengatakan, adanya rumah sakit darurat khusus COVID-19 yang dibangun oleh Pertamina memang positif bagi pengendalian wabah. Namun, dalam prakteknya koordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian virus ini jangan sampai terlewat khususnya dengan Kementerian Kesehatan.
Dengan pengalaman segudang Pertamina di bidang kesehatan, menurut Krisdyatmiko, wajar jika perusahaan migas plat merah itu mengembangkan pelayanannya tidak hanya sebatas rumah sakit darurat.
“Jadi sebaiknya tidak sebatas rumah sakit darurat, tetapi metode pelayanan dan pengobatannya bisa dilanjutkan oleh rumah sakit Pertamina yang saat ini sudah ada, Pertamina sudah memiliki pengalaman panjang dalam pelayanan kesehatan melalui rumah sakit,” kata Kris. (Rio Indrawan)
Komentar Terbaru