Keluar masuk hutan dan tinggal di pedalaman adalah keseharian mereka. Berpisah jauh dari keluarga sudah biasa. Yang kini paling dicemaskan, ialah terjerat kasus pidana.
Tangis pecah tatkala Malcolm Primerose dipertemukan kembali dengan anggota keluarganya, pada Kamis, 13 Juni 2013 pagi. Anak dan istrinya yang menanti cemas selama tiga hari, tak kuasa menahan keharuan dan rasa syukur. Mereka memeluk erat tubuh pria 62 tahun, yang masih tampak lemas setelah diculik dan disekap gerombolan bersenjata di Aceh Timur itu.
Malcolm diculik saat sedang menjalankan tugasnya sebagai ahli pengeboran, di sekitar sumur eksplorasi minyak dan gas (migas) Matang-1 Blok A PSC, Desa Lubuk Pimping, Kecamatan Peurelak Kota, Kabupaten Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam. Selasa siang, 11 Juni 2013, Malcolm yang ditemani seorang sopir, dicegat dan ditarik paksa dari mobilnya oleh segerombolan orang bersenjata.
Puluhan polisi dibantu personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) bekerja siang malam mencari pekerja migas berkewarganegaraan Inggris itu. Tiga hari kemudian, penculik yang meminta uang tebusan baru melepaskan Malcolm dalam kondisi selamat, di dekat tempatnya diculik. Pemerintah daerah (pemda) setempat berjanji meningkatkan keamanan di wilayah yang masih dipenuhi hutan lebat itu.
Darmawan, seorang pekerja pengeboran migas yang ditemui Dunia Energi beberapa pekan lalu, mengaku tidak aneh dengan peristiwa yang dialami Malcolm. “Itu bagian dari risiko yang harus kita tanggung, sebagai pekerja migas,” ujar bapak dua anak ini. Diakuinya, risiko itu sudah menjadi pilihan sejak memilih program studi teknik perminyakan, di bangku kuliah.
“Cadangan migas kita sebagian besar tersimpan di daerah pedalaman. Digigit ular, bertemu binatang buas, sampai dimusuhi warga di lokasi kerja, sudah menjadi keseharian kita. Berbulan-bulan hidup jauh dari keluarga pun kita rela,” tukasnya. Menurutnya, menjadi pekerja migas adalah bagian dari pengorbanan sebagai anak bangsa. “Kalau tidak ada yang mau ke pedalaman, bagaimana kekayaan alam migas dan pertambangan Indonesia ini akan dimanfaatkan?,” tambahnya.
Toh, lanjut Darmawan, semua risiko itu bisa diantisipasi. Dimana setiap perusahaan migas menerapkan standar keamanan yang tinggi. Baik di internal lingkungan kerja, terkait dengan alat-alat dan berbagai perlengkapan yang digunakan, maupun dengan pihak eksternal seperti warga pedalaman yang terkadang kurang senang dengan kehadiran operasi migas di sekitarnya.
Namun satu hal yang kini dicemaskan Darmawan, ialah keamanan statusnya sebagai pekerja dari sisi hukum. Selama delapan tahun menjalani profesi sebagai pekerja migas, Darmawan mengaku hanya fokus pada program yang ditetapkan atasannya. Keseluruhan rencana kerja itu sudah dibahas mendetail dengan disertai SOP (Standart Operating Procedur)-nya, baru diserahkan untuk dikerjakan karyawan di lapangan. “Selama ini, asal saya patuhi semua SOP yang ada, insya Allah aman,” terangnya.
Tetapi belakangan, kata Darmawan, SOP itu tidak lagi menjadi jaminan. “Ancaman kita sekarang bukan cuma ular dan gerombolan tak dikenal, tapi juga jeratan kasus pidana dan mendekam di sel tahanan,” ucapnya resah. Ia mencontohkan beberapa pekerja migas yang kini sedang menghadapi tudingan korupsi dalam kasus bioremediasi. “Mereka itu sudah bekerja sesuai SOP lho, tapi ya kena juga,” ujarnya. Meski tidak satu perusahaan dengan mereka yang menghadapi kasus bioremediasi, ia yakin risiko yang sama dialami oleh semua pekerja migas di Indonesia.
“Jadi jangan salahkan kami kalau sekarang suka berdebat dengan atasan. Kami kita tidak mau jadi korban berikutnya,” tutur pria kelahiran Surabaya, yang mengaku sedang ancang-ancang pindah kerja ke perusahaan migas di Kuwait ini. “Mending kerja di negeri orang Mas Bro, sama-sama jauh dari keluarga, bayaran beda-beda tipis, tapi hati tenang,” cetusnya.
Kejahatan Hukum Zaman Modern
Kalau Darmawan yang beda perusahaan saja resah, apalagi Mahsandra. Pria paruh baya ini satu perusahaan dengan para terdakwa kasus bioremediasi, di PT Chevron Pacific Indonesia. Mewakili suara hati ribuan rekannya sesama anak bangsa, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional Chevron ini bertolak dari Riau ke Jakarta awal Juni 2013 lalu. Hajatnya satu, menemui para anggota Komisi Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meminta perlindungan dan kepastian hukum.
Di depan anggota Komisi III DPR, ia menceritakan kegalauan rekan-rekannya saat ini. Betapa bioremediasi yang merupakan proyek perusahaan, telah membawa korban para karyawan. “Lima orang yang dituduh korupsi itu Pak, sama dengan kami. Mereka karyawan biasa yang fokusnya adalah menjalankan program perusahaan dan perintah atasan,” tuturnya.
Mahsandra mengaku, ia dan ribuan rekannya kini tak tenang lagi dalam bekerja. Mereka sering risih, bertanya sendiri dalam hati, apakah yang sedang dikerjakannya benar-benar tidak melanggar hukum. Terbukti, rekan-rekan mereka yang sudah bekerja sesuai dengan SOP, bahkan dinobatkan sebagai karyawan berprestasi di tempat kerjanya, malah tersangkut kasus hukum.
“Terus terang kami galau, tidak konsentrasi bekerja jadinya, khawatir salah lalu masuk penjara. Padahal yang kami hadapi alat-alat raksasa serba canggih, yang jelas mengancam keselamatan kami jika dioperasikan dengan tidak konsentrasi. Sempat terpikir oleh kami, untuk menghentikan pekerjaan sementara, sampai situasi jelas kembali,” paparnya di depan anggota Komisi III.
Hal senada diungkapkan Ruslan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasional Serikat Pekerja Chevron. Demi mencari kebenaran, ia mengaku sudah kelililing ke 11 lembaga negara, mulai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, beberapa Kementerian, ke Komisi VII DPR, hingga Ke Komisi III.
“Kami heran. Chevron ini kan dalam bekerja diawasi pemerintah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Migas, sampai Kementerian Lingkungan mengatakan tidak ada yang salah dalam proyek bioremediasi. Tapi kok teman-teman kami tetap diseret ke pengadilan?,” ujar Ruslan.
Saat itu, DPP Nasional Serikat Pekerja Chevron yang mengadu ke Komisi III bersama ikatan alumni enam perguruan tinggi, yakni UI, ITB, ITS, IPB, Universitas Trisakti, dan UPN Veteran, juga menyerahkan salinan Laporan Komnas HAM, yang menyebutkan adanya pelanggaran HAM dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron oleh penegak hukum.
Komnas HAM sendiri sudah merilis laporan itu pada 21 Mei 2013. Dalam laporan setebal 400 halaman itu, disebutkan ada empat pelanggaran HAM dalam proses hukum terhadap tersangka dan terdakwa kasus dugaan korupsi bioremediasi Chevron.
Empat pelanggaran HAM itu pertama, terlanggarnya hak untuk mendapat kepastian dan perlakuan hukum yang sama. Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapat keadilan dan proses hukum yang adil, jujur, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena pelanggaran perjanjian perdata.
Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, temuan itu merupakan hasil penyelidikan mendalam Komnas HAM, atas 11 variabel kejanggalan dalam proses hukum kasus bioremediasi. “Ini merupakan sebuah kejahatan hukum di zaman modern, sesuatu yang sesungguhnya salah, tapi tetap dilaksanakan,” ujar Pigai kepada wartawan usai merilis laporan itu.
Kambing Hitam Kejaksaan
Para Anggota Komisi III DPR yang menerima pengaduan itu pun, tak mampu menahan geram. Salah satu anggota komisi itu, Ahmad Basarah dari PDIP, menilai para karyawan Chevron yang menjadi terdakwa kasus bioremediasi ini, telah dikambinghitamkan oleh Kejaksaan Agung, atas suatu tindak pidana korporasi. “Lembaga penegak hukum diskrikminatif, karyawan yang ditangkapi untuk menjadi kambing hitam atau korban,” tukas Basarah.
Sejawatnya yang juga dari PDIP, Nudirman Munir lebih tegas lagi. Ia menuding, telah terjadi praktik “mafia hukum” dalam keseluruhan proses penanganan kasus bioremediasi Chevron. Selain menuntut komisinya memberikan perhatian khusus pada kasus bioremediasi, Nudirman pun mendesakkan pembaruan Undang-Undang (UU) tentang kejaksaan, dan pembaruan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) dipercepat. “Ini demi mencegah korban-korban berikutnya,” ujarnya.
Apa yang diungkapkan Nudirman mungkin tidak berlebihan. Pasalnya, dalam 400 halaman laporan Komnas HAM, banyak terungkap kejanggalan dalam penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan perkara bioremediasi ini. Salah satu yang banyak disorot adalah, penggunaan saksi sekaligus ahli, Edison Effendi, dalam kasus itu.
Dalam laporannya, Komnas HAM menyebutkan bahwa Edison sama sekali tidak layak dijadikan ahli. Karena dari banyak dokumen yang dikumpulkan dan diteliti Komnas HAM, diambil kesimpulan Edison sarat konflik kepentingan. Pigai menyebutkan, Edison adalah orang yang berkali-kali kalah dalam tender proyek bioremediasi Chevron.
Saat dipanggil Komnas HAM pun, Edison menolak hadir tanpa memberikan alasan. Komnas HAM juga mendapat keterangan, Edison pernah menebar ancaman ke sejumlah karyawan Chevron, akan melakukan balas dendam, ketika untuk kesekian kalinya kalah dalam tender proyek bioremediasi.
Ketua Badan Pengurus “SETARA Institut”, Hendardi menyatakan, kriminalisasi dalam kasus bioremediasi sudah sangat telanjang. Tak ubahnya dengan kasus dugaan korupsi PT Merpati Nusantara Airlines, yang menjerat Hotasi Nababan selaku Direktur Utama Merpati, yang juga ditangani Kejaksaan Agung.
“Belajar dari kasus Hotasi, ada pelanggaran HAM by judicial (melalui jalur hukum, red) yang dilakukan aparat penegak hukum. Jaksa awalnya coba-coba, ini ada duitnya gak? Tapi ketika sampai ditengah dan ternyata tidak ada duitnya, tidak ada pilihan lain bagi jaksa selain meneruskan kasus itu,” ujar Hendardi di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2013.
Motif lainnya, kata Hendardi, ada aroma kompetisi antara Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Seperti kita tahu, sejak ada KPK pamor Kejaksaan meredup dalam penanganan kasus korupsi,” ungkap mantan Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini.
Jadi begitu ada dugaan korupsi, kata Hendardi, apalagi yang menyangkut korporasi, meski bukti-bukti awalnya tidak kuat, maka disambar dan digiring dulu oleh Kejaksaan Agung. Masalah pembuktiannya belakangan dan bisa dicari-cari. “Yang penting statistik tahunan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus korupsi terus naik, tidak kalah dengan KPK,” urainya.
Berharap Keadilan Wakil Tuhan
Akhir Juni 2013, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah menuntaskan pemeriksaan atas tiga karyawan Chevron, yang menjadi terdakwa dalam perkara bioremediasi. Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo tinggal menunggu putusan hakim, yang menurut jadwal akan dibacakan pada 10, 11, dan 12 Juli 2013.
Karyawan Chevron lainnya, Bachtiar Abdul Fatah, masih harus menjalani sejumlah persidangan sebelum sampai pada putusan. Pria yang sebenarnya sudah divonis tidak bersalah oleh Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini pun, harus melewati Ramadan di dalam sel tahanan kejaksaan. Putusan sela yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada 4 Juli 2013 lalu, menolak semua keberatan dan penangguhan penahanan yang dimohonkan Bachtiar.
Sedangkan Alexia Tirtawijaya, kini masih menemani suaminya yang menjalani perawatan karena sakit, di Amerika Serikat. Kejaksaan Agung sempat mewacanakan untuk menuntut karyawan Chevron ini, lewat suatu pengadilan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa, red). Namun rencana itu belum dilaksanakan, kemungkinan menunggu proses untuk terdakwa yang lainnya selesai.
Baik Kukuh, Rumbi, maupun Widodo, telah menyampaikan seluruh pembelaannya di hadapan majelis hakim, yang diketuai Sudharmawati Ningsih. Kukuh menegaskan, sebagai Koordinator EIST (Environment Issue Settlement Team) Chevron Indonesia, dirinya sama sekali tidak berwenang memutuskan status tanah yang tercemar limbah untuk dibioremediasi. Terlebih, jabatannya di Chevron adalah Team Leader Produksi, bukan Team Leader Bioremediasi seperti yang sempat dipersangkakan penyidik kejaksaan.
Rumbi juga berkali-kali menjelaskan di persidangan, dalam rentang 2006 hingga 2010, ia sedang menjalani tugas belajar di Amerika Serikat. Baru pada pertengahan Juni 2011 ibu lima anak ini diangkat menjadi Manajer Lingkungan Chevron Indonesia. Saat dijadikan tersangka, Rumkbi pun baru enam bulan menjabat. Ia juga telah menegaskan, sebagai Manajer Lingkungan tidak bertanggung jawab atas proyek bioremediasi, apalagi mengurus tender kontraktor bioremediasi Chevron.
“Apakah layak, saya yang tidak ada di Indonesia selama 2006 – 2010, didakwa menghilangkan uang negara akibat suatu kegiatan yang berlangsung di periode 2006-2011?,” ucap Rumbi dalam pembelaannya di persidangan. Baik Rumbi maupun saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan juga telah memaparkan, yang bertanggung jawab terhadap proyek bioremediasi di Chevron Indonesia adalah Tim Infrastructure Management Support – Reliability, Engeenering, dan Maintenance (IMS-REM).
Demikian pula Widodo, yang jabatannya di Chevron Indonesia hanyalah Team Leader Waste Sumatera Light North (SLN). Jabatan “Team Leader” ini di Chevron, delapan tingkat dibawah Presiden Direktur, masih tergolong pekerja lapangan kelas bawahan. Ia pun telah menegaskan di persidangan, tidak ada sangkut pautnya dengan proyek bioremediasi.
Tugas Widodo sehari-hari ialah memastikan pekerjaan setiap kontraktor di lapangan yang diawasinya, sudah sesuai dengan dokumen kontrak. Sesekali ia juga ditugaskan ikut hadir di rapat-rapat tender, untuk menjelaskan tentang kondisi lapangan yang akan digarap kontraktor. Setiap hari, setelah melakukan pemantauan dan pengecekan di lapangan, Widodo lalu melapor kepada atasannya.
“Apa yang sedang dipermasalahkan oleh jaksa adalah kebijakan perusahaan, namun kemudian telah direkayasa agar bisa dibebankan kepada seorang karyawan rendahan seperti saya, yang tidak punya otoritas dan kewenangan untuk menentukan kebijakan perusahaan. Kini saya dan keluarga sayalah yang harus menanggung sengsara atas kedzaliman ini,” ungkap Widodo dalam pembelaannya.
Semua fakta dan kebenaran sudah disampaikan. Kini, baik Kukuh, Rumbi, maupun Widodo tinggal menunggu putusan majelis hakim, yang akan jadi penentu nasib mereka selanjutnya. Akankah mereka dibebaskan dari segala tuntutan, karena memang tidak ada kaitan dengan proyek bioremediasi. Ataukah dipaksa mengikuti jejak Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematuri, dua kontraktor Chevron yang Mei 2013 lalu sudah divonis bersalah dalam kasus ini.
Terkait situasi terakhir yang dihadapi Kukuh, Rumbi, dan Widodo, Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan mengaku sangat berharap, majelis hakim dapat menerima dan menilai semua fakta yang terungkap dalam persidangan, sebagai dasar untuk membuat keputusan yang obyektif dan adil.
“Vonis kepada kedua kontraktor kami memang telah terjadi dan sangat kami sesalkan. Namun kami masih menyimpan harapan besar, para hakim bisa membuat keputusan yang obyektif dan adil bagi rekan-rekan kami, sebagai wujud komitmen atas sumpah jabatan hakim selaku wakil Tuhan di muka bumi,” ujar Dony.
Ancaman Industri Migas
Ditemui Dunia Energi di Jakarta pada Selasa, 2 Juli 2013, Dony tak menampik kasus bioremediasi yang kini terus bergulir, telah menimbulkan kegalauan yang nyata bagi para pekerja Chevron, maupun pekerja migas pada umumnya. Kasus ini pun sudah menjadi pembicaraan terbuka di berbagai pertemuan stakeholder migas Tanah Air, yang merasa tak aman lagi menjalankan bisnis di sektor ini.
Soal ribuan pekerja yang hendak berhenti bekerja, Dony menyatakan pihaknya akan tetap semaksimal mungkin menjaga komitmen, untuk melaksanakan kinerja sesuai yang diamanatkan pemerintah. Namun menurutnya, karyawan Chevron punya “truft” yang tidak mungkin dibantah manajemen. Yakni otoritas bagi individu karyawan, untuk menghentikan aktivitas bekerja, apabila yang bersangkutan merasa yang dikerjakan tidak aman, baik dari sisi teknis maupun aturan.
Menurut Dony, otoritas ini sebenarnya sebuah SOP yang diterapkan Chevron di seluruh dunia. Tujuannya untuk mendudukkan safety (keselamatan dan keamanan operasi, red) pada posisi yang paling tinggi. Namun kalau akhirnya gara-gara kasus bioremediasi ini, lantas karyawan Chevron di Indonesia berhenti bekerja karena merasa tidak aman dari sisi hukum atau peraturan, manajemen tidak bisa berbuat apa-apa. “Mereka punya dasar yang kuat melakukan itu, yakni SOP Chevron sendiri,” ujarnya.
Sebelumnya, Indra Mulya Budiman dari Indonesian Petroleum Association (IPA) menyatakan, kasus bioremediasi membuat para pelaku industri migas sangat prihatin. “Perusahaan migas cenderung menahan diri dalam operasional, sembari menunggu perkembangan kasus ini,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 29 Juni 2013.
Menurut dia, kasus bioremediasi akan berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya, para kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) mempertanyakan kekuatan hukum kontrak di bidang migas. Akibat kriminaliasi terhadap kasus bioremediasi Chevron, KKKS akan mempertimbangkan untuk melakukan produksi, karena setiap produksi perlu dilakukan pengolahan limbah.
Terkait ancaman terhadap produksi migas nasional ini, tidak ditampik oleh Kepada Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Ia mengakui, kasus bioremediasi ini sudah sangat mengganggu kinerja sektor hulu migas Indonesia.
Potensi gangguan mulai dari ancaman karyawan Chevron bakal menghentikan pekerjaan, dan para kontraktor migas yang mulai ketakutan. Para kontraktor tidak berani menjadi mitra Chevron, karena khawatir dipidanakan. Maka dari itu, Rudi berharap majelis hakim dapat memberikan putusan yang obyektif dan seadil-adilnya dalam kasus ini.
Majelis hakim, kata Rudi, musti mengembalikan bioremediasi pada konteksnya. Yakni suatu kegiatan yang bernaung dibawah kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) migas. Dalam PSC, investor atau KKKS berkontrak dengan SKK Migas selaku wakil Pemerintah Indonesia dalam hubungan B to B (Business to Business).
Biaya yang dituduhkan telah dikorupsi pun, menurut Rudi sebenarnya belum dibayar oleh pemerintah kepada Chevron. Pembayaran atau penggantian biaya operasi (cost recovery) juga tidak dengan uang negara, melainkan dipotong dari jatah minyak pemerintah (lifting).
Tak Ada Pidana Dalam Bioremediasi
Penasehat hukum karyawan Chevron, Maqdir Ismail mengungkapkan, sampai sidang terakhir kasus bioremediasi pada akhir Juni 2013, pembelaan terdakwa, tim penasehat hukum, maupun pendapat para ahli yang dihadirkan dalam persidangan, sebenarnya telah mematahkan semua dakwaan jaksa penuntut umum. “Semuanya sudah diungkapkan secara gamblang di muka persidangan,” ujarnya.
Jaksa bersikukuh bahwa kasus bioremediasi adalah persoalan pengadaan (tender) bukan persoalan lingkungan. Namun anehnya, kata Maqdir, jaksa mendakwa dan menuntut para terdakwa, atas dasar proses bioremediasi dan pelanggaran izin pengolahan limbah, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 128 Tahun 2003, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 1999. Keduanya nyata-nyata produk peraturan bidang lingkungan.
“Vonis hakim atas dua kontraktor Chevron pun didasarkan pada kedua peraturan itu, tapi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang berwenang sesuai Undang-undang (UU) untuk menetapkan pelanggaran bidang lingkungan, tidak dilibatkan sama sekali dalam proses hukum perkara bioremediasi,” tutur Maqdir heran.
Jaksa bersikukuh bahwa persoalan kasus proyek bioremediasi, adalah persoalan pengadaan (tender) yang dianggap melanggar PTK 007 BP Migas (sekarang SKK Migas). Namun lebih aneh lagi, kata Maqdir, jaksa tak mau mendengarkan penjelasan SKK Migas, sebagai otoritas yang menerbitkan peraturan PTK 007 tentang pengadaan dalam operasi migas.
“Pimpinan dan pejabat SKK Migas telah berkali-kali menyampaikan di dalam persidangan, tender dan kontrak proyek bioremediasi Chevron sudah sesuai peraturan. Demikian pula pejabat KLH, sudah berkali-kali menjelaskan dalam persidangan, tidak ada yang dilanggar dalam pelaksanaan bioremediasi Chevron. Semuanya sudah sesuai aturan,” tegasnya.
Pengacara senior ini kembali menjelaskan, proyek bioremediasi dan kontrak proyek ini berada di bawah payung UU Migas dan Production Sharing Contract (PSC) atau kontrak bagi hasil migas. Maka penyelesaian masalah ini pun, seharusnya mengacu kepada mekanisme yang telah disepakati Pemerintah Indonesia dalam PSC dan UU Migas, dimana tidak dikenal tindak pidana korupsi.
“PSC merupakan kontrak bisnis antara Chevron selaku korporasi, dan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh SKK Migas, dalam ranah hukum perdata. Jadi pada dasarnya, hukum perdatalah yang melandasi operasi migas Chevron,” tandasnya.
Secara prosedural sesuai PSC, setiap program kerja dan anggaran yang diajukan Chevron, harus lebih dulu disetujui Kepala SKK Migas, baru bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang fungsi SKK Migas.
Selanjutnya, setiap tahap pelaksanaan proyek hulu migas, selalu diawasi SKK Migas. Pada bioremediasi, pengawasnya selain SKK Migas, juga KLH. Jika ada yang salah atau keliru, sejak awal tentu sudah tidak boleh melanjutkan kegiatan. “Seperti itulah mekanisme yang berlangsung dalam operasi hulu migas di Indonesia selama ini, termasuk pada proyek bioremediasi Chevron,” tukas Maqdir.
Terkait dengan kelebihan pembayaran cost recovery seperti yang dituduhkan jaksa, juga sudah ada jalur penyelesainnya dalam PSC dan UU Migas. Yakni, pemerintah berwenang untuk melakukan audit sewaktu-waktu, dan jika ada temuan maka diselesaikan dengan menggunakan mekanisme over/under lifting settlement (kelebihan atau kekurangan pengambilan minyak bagian pemerintah, red).
“PSC mengatur bahwa mekanisme over/under lifting settlement akan diselesaikan melalui mekanisme arbitrase. Lembaga arbitrase yang akan memberikan putusan final mengenai sengketa tersebut, yang memiliki kekuatan eksekutorial,” jelas Maqdir lagi.
PSC, tambah Maqdir, merupakan sistem otonom yang memiliki mekanisme kontrol dan koreksi atas penggantian biaya operasi migas. Maka dari itu, tidak akan ada kerugian negara dari hubungan kerja yang dinaungi PSC, karena pemerintah senantiasa dapat meminta pengembalian sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan. “Ini semua sudah kami jelaskan dalam persidangan. Kalau tidak ada kerugian negara, lantas apa yang disebut korupsi?,” tandasnya lagi.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Mudzakkir SH MH juga sudah menyampaikan keterangannya sebagai ahli dalam persidangan, bahwa PSC adalah kontrak bisnis murni antara dua rekanan, dan masuk dalam ranah hukum kontrak atau perdata. Perselisihan diselesaikan oleh pihak yang berkontrak, berdasarkan mekanisme yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. “Secara juridis formal, tidak mungkin diterapkan hukum pidana dalam PSC,” urainya.
Hakim Diminta Cermat
Terkait dengan pemidaan terhadap PSC ini, Anggota Komisi III DPR, Adang Dorodjatun juga telah mengungkapkan, agar hakim bertindak cukup cermat dalam mengambil putusan. Berbagai mekanisme yang terjadi dalam hubungan kerja di ranah PSC, musti dipelajari dan dipahami baik-baik. Mantan Wakapolri ini berharap, tidak muncul kesan di masyarakat, penegak hukum tidak mengerti soal mekanisme PSC. “Kalau itu terjadi, sungguh memprihatinkan wajah hukum kita,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edi. Wakil rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai, jaksa penyidik dan penuntut umum tidak mengerti tentang mekanisme yang berlangsung dalam kontrak migas atau PSC. Jika penegak hukum memahami mekanisme dalam PSC migas, ia yakin tidak akan timbul perkara bioremediasi seperti sekarang ini.
Anggota Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha juga menjelaskan, hakim musti memutus kasus bioremediasi ini dengan hati-hati. Karena meskipun nantinya putusannya salah, akan tetap menjadi preseden (rujukan hukum) dikemudian hari. Jika sudah timbul preseden kontrak migas bisa dipidanakan di Indonesia, maka kita akan dikucilkan dunia. Tidak akan ada lagi yang mau menanamkan investasi pada sektor migas di Indonesia.
Sebelum putusan pun, kata Satya, sudah berlangsung kecemasan yang luar biasa di kalangan pelaku usaha dan pekerja sektor migas. “Mereka merasa sudah tidak aman lagi berinvestasi dan bekerja di Indonesia,” ucap wakil rakyat dari Fraksi Partai Golkar ini. Jika kecemasan itu terus berlangsung, bukan cuma investornya yang kabur, anak-anak bangsa terbaik yang menguasai teknologi migas pun, tidak akan mau menempuh risiko bekerja di negerinya sendiri.
Seorang eksekutif migas, Salis S Aprilian membenarkan, minimnya perlindungan hukum dan terbukanya peluang terkena kriminalisasi, telah mendorong pekerja sektor migas Indonesia, berbondong-bondong hengkang ke luar negeri. Mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) ini menceritakan, dalam beberapa tahun belakangan, makin banyak rekan-rekannya sesama engineer (sarjana teknik) perminyakan yang berkompetensi tinggi, dibajak perusahaan minyak asing.
Mereka pindah kerja ke Amerika, Eropa, dan paling banyak saat ini ke Timur Tengah, juga ke negara tetangga Malaysia. Kebanyakan alasan mereka adalah mengejar penghasilan dan penghargaan terhadap profesi ahli perminyakan, yang jauh lebih baik di negeri orang. Kini Salis pun makin khawatir, ke depan semakin banyak para ahli perminyakan asal Indonesia yang lari ke luar negeri, menyusul pemidanaan terhadap sejumlah karyawan Chevron dalam kasus bioremediasi.
Menurutnya, dari para anggota IATMI juga sudah muncul keluhan, pemidanaan terhadap para karyawan Chevron tersebut, menunjukkan rendahnya perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja migas di Indonesia. Di luar negeri, mereka mendapat penghargaan dan perlindungan hukum yang jauh lebih baik. Sebaliknya di negeri sendiri, mereka menatap masa depan dengan penuh kecemasan.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru