TEPAT 10 Desember 2018, PT Pertamina (Persero) menginjak usia 61 tahun. Tentu 61 tahun bukan lagi umur yang muda. Jika diibaratkan seorang manusia, di umur 61 tahun seharunya sudah terlihat dan paling tidak sudah ada cita-cita masa kecil atau masa muda yang terwujud.
Layaknya seorang manusia, PT Pertamina (Persero) yang sudah berkiprah selama 61 tahun seyogyanya sudah terlihat posisi dalam industri migas, minimal untuk memenuhi ketahanan energi nasional.
Namun, memasuki 61 tahun pekerjaan rumah perusahaan migas terbesar milik negara itu makin bertambah. Demikian pula dengan cita-cita mewujudkan ketahanan energi masih terus berusaha dikejar.
Bukan berarti Pertamina tanpa perkembangan, karena meskipun sektor hulu masih terseok-seok, harus diakui sampai hari ini Pertamina masih menjadi satu-satunya pemain utama dalam bisnis hilir migas tanah air.
Bisnis hilir migas Pertamina ditopang dari delapan unit bisnis Marketing Operation Region (MOR). Aset distribusi pemasaran Pertamina juga terus tumbuh selama setengah abad lebih berkiprah karena sudah memiliki 593 unit Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE), 64 unit Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU), 21 Unit terminal LPG, 3 unit Lube Oil Blending Plant (LOBP), 116 unit terminal BBM, 2.130 unit jalur pipa gas, mengoperasikan 59 tanker milik dan 160 unit tanker charter, 5.407 unit SPBU serta 10.000 lebih mobil tangki, lalu 34 unit SPBG.
Berbagai fasilitas pendukung bisnis juga sudah tersedia misalnya 107 unit terminal khusus kepentingan sendiri, 167 dermaga, 13 unit SPM, 6 unit STS (Ship to Ship), 10 unit CBM, 126 unit KKR (Kapal Kecil Ringan). Kiprah Pertamina di hilir juga sudah sampai di luar negeri diantaranya, Aljazair, Irak, Malaysia dan Thailand.
Kemampuan pemasaran Pertamina didukung enam refinery unit, mulai dari RU II Dumai hingga RU VII Kasim/Sorong. Untuk refinery atau kilang, saat ini tengah ada persiapan penambahan kapasitas dengan mega proyek pembangunan dua kilang baru yaitu Tuban dan Bontang. Serta empat pengembangan kilang eksisting di Cilacap, Dumai, Balongan dan Balikpapan.
Kapasitas kilang Pertamina nantinya ditargetkan bisa mencapai 2 juta bph pada 2026 dengan kulitas BBM setara euro 4 atau 5. Saat ini kualitas BBM yang dihasilkan rata-rata baru mencapai Euro 2.
Peningkatan kapasitas kilang ini guna memenuhi kebutuhan gasoline, solar dan avtur yang diperkirakan mencapai 1,68 juta bph pada tahun 2026 dari posisi sekarang rata-rata 648 ribu bph. Belum lagi dengan kebutuhan petrokimia seperti bitumen, spesial petrokimia dan aromatic olefin yang diperkirakan total kebutuhan mencapai 5,038 juta Metrik Ton (MT), melonjak dibandingkan kebutuhan saat ini yang rata-rata per tahunnya mencapai 2,45 juta MT.
Tidak hanya itu, target penambahan berbagai fasilitas pendukung juga sudah dicanangkan perusahaan, paling tidak ada 748 proyek hingga 2026 yang harus dirampungkan dengan kebutuhan dana investasi mencapai US$ 4,3 miliar.
Untuk mengimbangi target pertumbuhan aset serta infrastruktur di sektor hilir, manajemen juga sudah mencanangkan adanya peningkatan kemampuan produksi migas Pertamina.
Target peningkatan produksi akan didukung pemberian penugasan pengelolaan blok-blok terminasi, terutama yang sudah habis masa kontraknya pada 2017 dan 2018.
Total ada sembilan kontrak blok migas baru yang telah ditandangani kontrak diantaranya blok Mahakam, dan Tengah, Sanga Sanga, East Kalimantan dan Attaka, Raja dan Pendopo, Ogan Komering, Tuban, Southeast Sumatera (SES), Jambi Merang serta North Sumatera Offshore (NSO). Dari blok-blok tersebut potensi penambahan produksi minyak adalah sebesar 99.810 bph. Serta potensi tambahan gasnya sebesar 1.606 MMSCFD.
Produksi migas Pertamina tahun ini sendiri tumbuh sekitar 7% atau menjadi dibandingkan dengan tahun lalu. Ini juga ditopang dari produksi migas dari aset Pertamina yang ada di luar negeri yang tersebar di 11 negara dengan total rata-rata produksi mencapai 152 ribu barel ekuivalen per hari. Ini menopang produksi migas Pertamina tahun ini menjadi 1,239 juta barel ekuivalen per hari.
Pertamina dipastikan mampu menjadi mayoritas sebesar 60% kontributor minyak nasional seiring pengelolaan Blok Rokan pasca berakhirnya kontrak PT Chevron Pacific Indonesia pada 2021.
Selain itu, ada satu proyek gas terbesar di pulau Jawa yang sedang dikerjakan oleh anak usaha Pertamina yaitu PT Pertamina EP Cepu. Dengan target produksi sebesar 192 MMSCFD, proyek yang sempat dimiliki oleh Exxonmobil ini dijadwalkan akan rampung dan mulai menyemburkan gas pada 2021 mendatang.
Lebih dari setengah abad berjalan, tugas Pertamina pun ikut berkembang tidak hanya melulu tentang minyak dan gas, akan tetapi juga bertransformasi menjadi perusahaan energi melalui lini bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT) yang fokus pada sumber daya panas bumi. Pertamina melalui anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) yang dikelola pada 2026 sebesar 1.112 Megawatt (MW). Saat ini PGE baru memiliki kapasitas terpasang 617 MW yang ditopang dari lima unit pembangkit yakni PGE Kamojang 235 MW, Lahendong 120 MW, Ulubelu 220 MW, Sibayak 12 MW serta Karaha 30 MW.
Program Digitalisasi
Memasuki usia 61 tahun sepertinya Pertamina tersadar untuk tidak terlena dengan kondisi yang ada. Berbagai transformasi terus dilakukan guna bersaing dengan perusahaan lain. Posisi Pertamina yang nyaman kuasai bisnis hilir migas tanah air bahkan tidak lagi aman, lantaran pertumbuhan pesat teknologi membuat perusahaan lain sebagai kompetitor tidak ragu meluncurkan berbagai program yang akhirnya sedikit demi sedikit mulai dilirik oleh masyarakat Indonesia yang sudah mulai melek teknologi.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan Pertamina di usianya yang sudah memasuki 61 tahun harus bisa head to head bersaing dengan perusahaan lain. Dengan era perdagangan bebas sekarang ini maka kompetitor Pertamina bahkan bisa menyisip ke berbagai lini bisnis perusahaan dan merebut pasar Pertamina.
Karena itu inovasi digital harus bisa segera diimplementasikan perusahaan diseluruh lini bisnisnya, terutama di bisnis pemasaran. “Kita tidak boleh terlena, kompetitor kita bisa menyisip. Program digitalisasi harus jadi program unggulan di pemasaran,” kata Nicke, belum lama ini.
Ada beberapa prinsip utama Pertamina dalam berbinis sekarang ini yang harus jadi fondasi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Pertama adalah availability yakni adanya ketersediaan energi. Ini ditunjukkan dengan mulai kembali digenjotnya kembali program kilang untuk menjamin ketersediaan bahan bakar.
Kemudian prinsip berikutnya adalah accessibility. Dalam pemasaran produknya Pertamina kata Nicke harus bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. “Ada 77 ribu desa, SPBU (mini) Pertamina harus ada di sana,” tukasnya.
Kemudian adalah prinsip affordability yaitu energi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat. Penggunaan teknologi termutakhir adalah hal mutlak jika ingin menghasilkan energi dengan biaya seefisien mungkin guna menghasilkan energi yang terjangkau.
Lalu ada acceptability yakni bertransformasi agar senantiasa diterima dengan berbagai perkembangan yang terus terjadi dan bergulir dengan cepat. Misalnya pemanfaatan energi ramah lingkungan. Penerapan energi ramah lingkungan yang sudah menjadi tren masyarakat sekarang harusnya juga bisa diikuti perusahaan.
“Pertamina harus dukung penciptaan lingkungan lebih bersih, penggunaan energi harus dishifting ke energi ramah lingkungan,” papar Nicke.
Lalu terakhir adalah Pertamina harus sustain atau ada keberlanjutan dalam berbisnis. Caranya adalah ikut mengembangkan potensi Energi Baru Terbarukan. Panas bumi memang sudah digarap, tapi itu saha tentu tidak cukup.
Salah satu langkah Pertamina tentu dengan mendukung program perluasan B20 yang akan terus ditingkatkan. Ini ditunjukkan dengan sudah dilakukannya kajian pengembangan kilang Plaju dan Dumai agar bisa menghasilkan produk green fuel. Targetnya pengembangan kilang tersebu akan memakan waktu paling tidak dua tahun.
Patut dinantikan bagaimana Pertamina merealisasikan target dan cita-cita mewujudkan ketahanan energi. Satu pertanyaan besar tentu mampukah Pertamina? Ditengah berbagai kepentingan yang terus mengerubungi Pertamina sejak awal dulu lahir hingga kini bahkan mungkin di masa akan datang.
Ini sejatinya menjadi pekerjaan rumah terbesar yang harus bisa diselesaikan, bukan hanya oleh manajemen perusahaan tapi juga oleh pemerintah si empunya Pertamina.(Rio Indrawan)
Komentar Terbaru