JAKARTA – Diduga melanggar kode etik selama menangani perkara di pengadilan, dua hakim dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yakni Sudharmawatiningsih dan Antonius Widijantono pada Kamis, 7 November 2013 dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Hakim Sudharmawatiningsih dan Hakim Antonius, keduanya adalah hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diduga telah melanggar kode etik perilaku hakim saat menangani perkara Endah Rumbiyanti terkait proyek bioremediasi PT CPI.
Laporan ke Komisi Yudisial itu, disampaikan oleh tiga penasehat hukum Endah Rumbiyanti, yang dipimpin Lelyana Santosa. Menurutnya, selama persidangan kasus bioremediasi berlangsung, tampak perilaku kedua hakim ini jelas-jelas bertentangan dengan sikap dan perilaku hakim yang seharusnya.
Para terlapor (Sudharmawatiningsih dan Antonius, red), ujarnya, diadukan ke Komisi Yudisial karena dinilai telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan pada 27 September 2012 (Panduan 2012).
“Ada paling tidak empat dugaan pelanggaran atas Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atayu “Panduan 2012” yang dilakukan oleh hakim Sudharmawatiningsih dalam menangani kasus klien kami,” jelas Lelyana usai melapor ke Komisi Yudisial.
Pertama, hakim Sudharmawatiningsih telah melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan kesan memihak, berprasangka dan menyudutkan saksi-saksi dan ahli-ahli yang keterangannya menguntungkan terdakwa, sehingga keterangan para saksi dan ahli tidak dapat diberikan secara bebas di hadapan persidangan.
Kedua, kata Lelyana, beberapa kali hakim Sudharmawatiningsih menunjukkan sikap berprasangka atas salah satu pihak dan atas fakta perkara saat pemeriksaan saksi serta ahli dalam kasus bioremediasi.
Yang ketiga, lanjutnya, selama memimpin persidangan kasus bioremediasi, Sudharmawatiningsih menunjukkan sikap yang angkuh, tidak rendah hati, dan tidak menghargai pendapat yang diberikan oleh ahli yang diajukan terdakwa Endah Rumbiyanti di dalam persidangan.
“Keempat, hakim Sudharwatiningsih tidak mempunyai tekat untuk melaksanakan pekerjaannya dengan kesungguhan. Sehingga berakibat pada mutu pekerjaan, yaitu putusan yang tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, bahkan bertentangan dengan peraturan perundangan tentang isi putusan,” imbuh Lelyana.
Sementara terkait laporannya soal hakim Antonius Widijantono, Lelyana Santosa menjelaskan bahwa patut diduga hakim Antonius melakukan pelanggaran kode etik perilaku hakim. Yaitu bersikap tidak arif dan menyudutkan saksi saat sedang berupaya menjawab pertanyaan, agar jawaban yang terlontar dari saksi sesuai dengan yang diinginkannya.
“Dalam laporan ke Komisi Yudisial, kami menguraikan secara jelas dan kongkrit disertai bukti-bukti tentang perilaku kedua hakim ini, dalam laporan setebal 17 halaman. Masyarakat perlu mendapat edukasi yang benar tentang proses hukum, bahwa hak-hak mereka di depan hukum ada dan harus dihormati oleh siapapun,” lanjut Lelyana lagi.
Dalam laporannya, tim penasehat hukum Endah Rumbiyanti pun meminta Komisi Yudisial untuk melakukan investigasi, atas dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua hakim itu, serta menjatuhkan sanksi terhadap keduanya, atau memberikan tindakan-tindakan lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
“Tindakan kdua hakim itu selama mengadili kasus bioremediasi atas terdakwa Endah Rumbiyanti, telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Sudah dapat diduga bahwa para Pengacara “Terpidana” kasus Bioremediadi Chevron akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pembelaan perkara Klien mereka. Hal itu adalah karena uang tidak menjadi masalah bagi Chevron berapapun besarnya dana yang dibutuhkan untuk membebaskan semua terpidananya, karena: 1). Kalau Chevron memenangkan perkaranya, maka semua biaya pengadilan termasuk untuk membayar para pengacara-pengacara mereka dengan sendirinya bisa dimasukkan kedalam Cost Recovery Chevron, alias dibebankan seluruhnya kepada negara/kepada seluruh rakyat Indonesia. 2). Chevron dapat meneruskan dan/atau melanggengkan/melestarikan pekerjaan-pekerjaan yang serupa yang merugikan keuangan negara. Dengan perkataan lain, keputusan Pengadilan menjadi Preseden dan/atau bahkan dijadikan suatu Yurisprudensi. He…he…he…he.
Albert Tilaar, kamu ini sarjana hukum bukan, bekas pekerja migas kelas rendahan pula, pantas komentarmu ngawur. Mana ada biaya pengacara masuk cost recovery? Ngomong ngawur itu sama dengan fitnah lho. Menurut UUD 1945, setiap warga negara itu bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan. Termasuk persamaan hak untuk membela diri di depan hukum dengan prosedur yang benar, salah satunya lewat Komisi Yudisial. Lagi pula, tahu dari mana kamu kalau biaya pengacara para terdakwa itu dibayar oleh Chevron? Kamu ini sudah banyak sekali menebar kebohongan.
Biaya-biaya yang tidak ada kaitannya dengan Kegiatan Operasi (Operating Cost) migas saja telah dan banyak yang dibebankan sebagai Cost Recovery oleh Caltex kemudian juga Chevron. Apalagi biaya pengacara kasus bioremediasi yang membelit Chevron sendiri dan/atau BP Migas Hulu, tentu Chevron yang membiayanya sendiri dulu. Dan nanti kalau menang dalam perkaranya kan bisa dibebankan kedalam biaya operasi sebagai Cost Recovery, dengan alasan Chevron kan terbukti tidak salah.Emangnya siapa pula yang mau membiaya pengacara-pengacara kasus bioremediasi, kalau bukan Chevron sendiri?
[…] https://www.dunia-energi.com/melanggar-kode-etik-dua-hakim-kasus-bioremediasi-dilaporkan-ke-komisi-yu… […]