JAKARTA – Upaya pemerintah memperkuat energi nasional akan terus ditingkatkan, salah satunya dengan mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) berupa energi nuklir. Komunikasi membangun dengan negara-negara pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) semisal Jepang, juga aktif dilakukan.
Zulnahar Usman, Ketua Pokja ESDM Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), mengatakan dari kunjungan ke Jepang, KEIN dapat melihat bahwa potensi energi nuklir yang harus dicontoh. Bagaimana keberhasilan Jepang, baik dalam mempersiapkan hingga melaksanakan pembangunan PLTN.
“Ada proses yang mereka tempuh. Ini merupakan sebuah contoh proses memulai hingga keberhasilan dan kesuksesan dari Jepang,” kata Zulnahar, belum lama ini.
Pada akhir Maret 2019, Kelompok Kerja Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) KEIN melakukan kunjungan kerja ke Jepang. KEIN bersama sejumlah lembaga antara lain DPD-RI, Dewan Energi Nasional (DEN), Kementerian Ristekdikti, BATAN, PLN, Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat serta kalangan akademisi mengunjungi industri-industri yang terkait pengembangan nuklir.
Menurut Zulnahar, teknologi nuklir yang ada sekarang sudah berteknologi dengan generasi teknologi yang sangat aman, nuclear security factory luar biasa aman, sehingga tidak perlu dipersoalkan mengenai faktor keselamatan. Bahkan, tingkat efisiensi PLTN juga sudah semakin baik sehingga dapat menghasilkan energi yang murah sekaligus bisa bersaing dengan pembangkit energi lainnya.
Sumber daya manusia (SDM) di tanah air pun sudah mumpuni dan layak untuk diberikan kepercayaan untuk mengembangkan energi nuklir.
“Kita harus bersikap positif sehingga bisa mengambil pelajaran atau semacam ilmu bagi kita. Ahli nuklir kita sudah banyak, bahkan ahli-ahli nuklir kita sudah dipakai oleh mereka (Jepang). Tinggal keputusan politik yang harus segera diambil oleh Indonesia,” ungkap dia.
Zulnahar mengatakan bahwa Indonesia juga harus belajar dengan Jepang bagaimana cara mengkomunikasikan program ini kepada masyarakat. Pihak-pihak terkait harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa PLTN telah memiliki keselamatan yang tinggi sehingga tidak perlu menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan apalagi ketakutan.
Masyarakat juga harus diberikan pemahaman bahwa energi listrik yang digunakan sekarang justru berbahaya karena bisa mencemarkan lingkungan. Apalagi bahan baku energi fosil ini sudah terancam habis. Dengan begitu, pemanfaatan energi nuklir menjadi solusi yang paling mungkin untuk memperkuat energi nasional.
Menurut Zulnahar, energi yang digunakan saat ini adalah energi yang polluted yang mencemarkan, dimana pada saat yang sama juga terancam habis dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sementara, energi alternatif seperti air, angin, dan matahari diperkirakan belum memadai untuk kapasitas industri.
“Kalau pemerintah berdiam diri, kita terancam short of energy yang bisa berdampak negatif pada kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Untuk itulah kita memerlukan nuklir sebagai teknologi yang paling tepat untuk meningkatkan ekonomi dan industri,” kata Zulnahar.
Terkait dengan hasil kunjungan ke Jepang, sejumlah lokasi yang dikunjungi delegasi Indonesia antara lain yaitu, kantor Hitachi GE yang merupakan salah satu contoh kerjasama Jepang dan Amerika dibidang transfer teknologi yang memberikan penjelasan teknologi Advanced Boiling Water Reactor (ABWR), Boiling Water Reactor (BWR) serta strategi lokalisasi untuk pembangunan industri PLTN. Para pejabat di Indonesia juga mendatangi lokasi Nuclear Power Station (NPS) di Shimane, Matsue.
Delegasi juga diajak berkunjung ke Fukui Atomic Information Center At Home, yakni berupa tempat edukasi bagi anak-anak yang didirikan oleh Pemerintah Daerah. Tempat yang berdiri sejak April 1972 berlokasi di Tsuruga City, Provinsi Fukui. Di kota yang sama, rombongan juga menyisihkan waktu untuk melihat Environment Radiation Research dan Monitoring.
“Selain Jepang, pemerintah dalam hal ini Pokja ESDM KEIN RI juga telah menjajaki serta membangun komunikasi dengan beberapa negara lain pengguna energi nuklir. Misalnya, kunjungan ke Amerika Serikat pada November 2017, Rusia pada Mei 2018, dan Perancis pada Oktober 2018,” tandas Zulnahar.(RA)
Komentar Terbaru