JAKARTA – Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sudah seharusnya di dorong secara massif, sehingga bisa mencapai target bauran energi 23% pada 2025.
Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan DEN terus mendorong pengembangan EBT hingga 23% sampai 2025.
“Salah satu kendalanya terkait pendanaan dengan tingkat bunga rendah,” kata Abadi dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (28/6).
Abadi menambahkan, pemerintah telah berupaya untuk mencari solusi finansial agar pendanaan untuk proyek EBT bagi para pengembang bisa terbantu. Salah satunya dengan mengajak pemangku kepentingan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membicarakan masalah kemudahan pendanaan proyek EBT. OJK pun bersedia membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU).
Harris, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan sebanyak 13 perusahaan telah menyampaikan profil untuk diserahkan kepada OJK. Perusahaan-perusahaan tersebut, merupakan bagian dari 42 perusahaan yang memiliki kendala pendanaan dalam menggarap proyek EBT.
Seluruh perusahaan telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PT PLN (Persero). Dalam PPA disebutkan, pencarian pendanaan diberikan waktu selama 12 bulan sejak penandatanganan.
“Mereka umumnya mempermasalahkan bunga bank tinggi. Kami akan teruskan informasi tersebut ke OJK. Untuk selanjutnya, akan dibahas bersama dengan OJK dalam penentuan opsi mekanisme pendanaannya,” kata Harris.
Berdasarkan data Kementerian ESDM capaian investasi sektor EBT hingga April 2018 mencapai 14,7% dari target tahun ini. Selama Januari hingga Maret 2018, realisasi investasi mencapai US$294 juta. Padahal targetnya US$2,01 miliar.
Realisasi investasi paling besar berasal dari panas bumi sebesar US$1,21 miliar. Disusul aneka EBT US$718 juta, investasi bioenergi US$72 juta dan terakhir US$5 juta berasal dari investasi konservasi energi.
Pada 2018 rencananya 512 MW pembangkit EBT yang akan dibangun. Terdapat 11 wilayah prioritas pengembangan EBT yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Total potensi EBT sekitar 225 Giga Watt (GW)
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Pajak Kementerian Keuangan, mengatakan selain pendanaan, kendala mengembangkan EBT terkait kebijakan fiskal. Pasalnya, pengembangan EBT hingga kini masih berbenturan terkait kebijakan fiskan dengan energi fosil. Kebijakan insentif untuk EBT juga harus merasionalisasi kebijakan mengenai subsidi untuk BBM.
“Jika kita ingin mengembangkan EBT, maka harus memberikan insentif. Kemudian untuk fosil harus diberikan disinsentif,” kata Hestu.(RA)
Komentar Terbaru