JAKARTA – Kehadiran regulasi yang mengikat untuk mewujudkan komitmen ambisius untuk transisi energi harus disiapkan pemerintah. Selain itu pemerintah juga perlu memaparkan sumber pendanaan untuk mewujudkan energi bersih dan terbarukan. Mengingat ruang fiskal yang sangat terbatas, maka masyarakat jangan sampai dijadikan target sumber pembiayaan.
Abdurrahman Arum, Direktur Eksekutif Transisi Bersih, menyambut positif rencana Presiden Prabowo untuk menghentikan operasional PLTU batu bara dalam 15 tahun ke depan (2040). Menurutnya, ini merupakan langkah maju signifikan dalam mencapai target Indonesia bebas emisi pada 2060.
“Semua pihak harus mendukung rencana progresif ini. Agar tidak memberatkan di kemudian hari, pemerintah sudah harus segera menghentikan semua pembangunan PLTU baru di Indonesia, termasuk di sektor industri, terutama hilirisasi. Karena jika masih ada PLTU baru yang dibangun dan kemudian ditutup setelah beberapa tahun operasi, biayanya akan sangat mahal. Terutama jika biaya penutupan kemudian dibebankan kepada publik melalui APBN,” ujar Abdurrahman, Jumat (22/11).
Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo juga menargetkan pembangunan lebih dari 75GW energi terbarukan dalam 15 tahun mendatang.
Mutya Yustika, Analis Keuangan Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memaparkan, untuk mencapai ambisi tersebut, diperlukan total dana sekitar USD 225 miliar (setara dengan Rp 3,487 triliun). Menurut dia, mempertimbangkan kondisi keuangan negara, Indonesia tidak dapat memenuhi sendiri kebutuhan pendanaan tersebut, sehingga peran swasta menjadi sangat krusial.
“Untuk meningkatkan minat swasta dalam pengembangan energi terbarukan, pemerintah perlu memberikan kepastian dalam aspek regulasi dan kebijakan, kejelasan dan transparansi proses pengadaan energi terbarukan, serta dukungan baik berupa fiskal maupun non-fiskal,” ujar Mutya.
Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Sustain, menegaskan pemerintahan baru harus menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan dalam 100 hari pertama. Beberapa kebijakan prioritas yang perlu dituangkan dalam regulasi adalah peningkatan pungutan produksi batu bara, penghentian ekspansi PLTU batu bara baru, rencana penerapan pajak karbon secara selektif untuk PLTU batu bara di tahun pertama pemerintahan, dan rencana insentif untuk energi terbarukan.
“Pemerintahan baru tidak boleh mengulang pengalaman transisi energi yang mandek dalam 10 tahun terakhir. Ini saat yang kritis tapi juga peluang yang tepat karena secara global, kapasitas energi terbarukan di tahun 2028 juga bakal naik 2,5 kali lipat menjadi 7.800 GW dibandingkan tahun 2022. Ini bisa lebih besar lagi jika ada kebijakan yang pro-transisi energi dari negara seperti Indonesia,” kata Tata.
Komentar Terbaru