JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengaku prihatin dengan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta subsider kurangan 4 bulan yang menimpa mantan direktur utama-nya, Karen Agustiawan. Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan perseroan menghormati proses hukum yang berjalan dan berharap fakta yang disiapkan tim kuasa hukum Karen bisa terbukti dalam proses banding yang sudah diajukan.
“Kami sangat prihatin atas hal yang terjadi dengan Bu Karen. Kami tetap menghormati proses hukum yang berjalan. Kalau tidak salah Bu Karen mengajukan banding. Semoga fakta dan bukti kuat yang disampaikan Bu Karen menjadi bahan pertimbangan majelis hakim di pengadilan selanjutnya,” kata Fajriyah, Selasa (11/6).
Karen pasca divonis bersalah majelis hakim memperingatkan bahwa kasusnya akan menjalar ke berbagai aksi korporasi BUMN lainnya, termasuk Pertamina. Lantaran sangat terbuka kesempatan untuk dilakukan kriminalisasi terhadap aksi korporasi.
Menurut Fajriyah, Pertamina yang diberikan amanat dari negara untuk memastikan ketahanan energi tetap terbuka dengan opsi akuisisi. “Pertamina konsisten untuk terus menjalankan perannya sebagai penyedia energi untuk negeri. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendukung hal tersebut, harus terus dilakukan demi ketahanan energi nasional,” katanya.
Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Energi melakukan akuisisi 10% hak partisipasi Blok BMG di Australia pada 2009 dari Roc Oil Company Limited (ROC).
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase – BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Seiring akuisisi tersebut, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari (bph).
Namun ternyata Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasan blok tidak ekonomis jika diteruskan produksi. Investasi tersebut dianggap Kejaksaan Agung telah merugikan negara.
Namun demikian yang satu poin yang patut diperhatikan adalah yang menjadi dasar majelis hakim untuk menjatuhi hukuman adalah berdasarkan laporan Kantor Akuntan Publik (KAP). Sementara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyatakan tidak ada kerugian negara dalam aksi korporasi tersebut.
Keputusan untuk mengambil alih hak partisipasi Blok BMG merupakan pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip tersebut merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Perlu diketahui ketentuan Pasal Pasal 92 dan Pasal 97 UU No.40/2007 tentang PT terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan.
Memang ada beberapa undang-undang yang menaungi Pertamina sebagai korporasi, BUMN, keuangan negara juga tindak pidana korupsi. Dalam perjalanannya terjadi inkonsistensi implementasi undang-undang sehingga menjadi celah untuk mengkriminalisasi pejabat BUMN, dan ini sudah terlihat pada kasus Karen dan beberapa pekerja Pertamina lainnya.
Pada Pasal 3 UU Tipikor telah dikonstruksi secara sederhana. Karena investasi Pertamina di Blok BMG, Australia “dianggap” rugi, maka telah terjadi kerugian keuangan negara (UU Keuangan Negara). Akibatnya, negara pun berhak menuduh para terdakwa korupsi (UU Tipikor).
Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, mengatakan vonis yang sudah dijatuhkan kepada Karen pasti berdasarkan proses panjang, salah satunya melalui pembuktian di pengadilan. Tentu hakim melihat ada unsur tindak pidananya sehingga memberikan vonis demikian. Kondisi Karen juga dinilai tidak lepas dari rezim bahwa keuangan BUMN adalah termasuk keuangan negara.
“Hal ini terkait pula doktrin dalam rezim keuangan negara di Indonesia yang menyatakan bahwa kekayaan BUMN merupakan keuangan negara. Jadi, setiap keputusan dari direksi BUMN yang merugikan keuangan BUMN juga merugikan keuangan negara,” kata Redi.(RI)
Sebagai orang awam saja bukan pakar hukum apapun, dapat melihat kejanggalan persidangan. Jk persidangan dg hakim2 yg doyan pwnhetahuan yg dihadirkan dan akuntan bukan yg kiprahnya bermasalah disana sini, maka tontonan sidang Karen Dirut Pertamina ini tentu bs kita apresiasi. Tapi, yg terjadi sebaliknya. Saya bs bayangkan bagaimana dg profesional dibidangnya. Tapi tanggapan bp redi sebagai pakar hukum buat saya aneh tdk ada kewajaran disini itu yangvsaya yakini
Menurut saya tidak fair kalau pelaksanaan BJR kemudian dihubungkan dengan korupsi… karena pengertian korupsi itu sendiri semestinya tidak demikian