JAKARTA – Dalam tiga bulan pertama tahun 2022 realisasi lifting migas Indonesia kurang menggembirakan karena tidak tercapainya target yang sudah dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022. Khusus lifting minyak bahkan realisasinya tidak sampai 90% dari target.
Tidak tercapainya target lifting minyak ini didorong oleh gagalnya 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dari 15 KKKS kontributor utama lifting minyak nasional dalam mencapai target.
Mobil Cepu Ltd yang merupakan kontraktor paling diandalkan juga tidak luput dari kegagalan dalam mencapai target lifting karena realisasinya hanya 175,3 ribu barel per hari (bph) atau 96,4% dari targetnya di APBN yakni 182 ribu bph. Kemudian PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) produksinya 157,4 ribu bph atau 87,3% dari target yang dipatok sebesar 160,7 ribu bph.
Selanjutnya ada Pertamina EP yang realisasi lifting minyak hingga Maret hanya 66,8 ribu bph atau 80,5% dari target sebesar 83 ribu bph.
Selanjutnya Pertamina Hulu Energi ONWJ Ltd realisasi liftingnya baru 27,8 ribu bph atau 95,6% dari target 29,5 ribu bph. Lalu Pertamina Hulu Mahakam realisasi lifting hanya 22,8 ribu bph atau baru 86,3% dari target yang ditetapkan sebesar 26,5 ribu bph.
Ada lima kontraktor afiliasi Pertamina lainnya yang gagal mencapai target lifting minyak diantaranya Pertamina Hulu Energi OSES, Pertamina Hulu Sanga Sanga, Pertamina Hulu Kalimantan Timur , BOB PT Bumi Siak Pusako-Pertamina Hulu serta JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi Ltd.
Ada tiga KKKS yang sukses mencapai target lifting yakni Medco E&P Natuna dengan realisasi lifting 11 ribu bph, Saka Indonesia Pangkah Ltd realisasi liftingnya 7,89 ribu bph serta Petronas Carigali Ltd yakni 7,84 ribu bph.
Dalam data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), lifting minyak baru mencapai 611,7 ribu barel per hari (bph) atau baru 87% dari target sebesar 703 ribu bph. Sementara gas realisasinya mencapai 5.321 juta kaki kubik per haru (MMscfd) atau 92% dari target yang dipatok mencapai 5.800 MMscfd.
Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menjelaskan beberapa penyebab rendahnya lifting migas pada tiga bulan pertama tahun ini antara lain adalah rendahnya entry point atau kinerja produksi saat masuk tahun 2022. “Produksi dan lifiting mostly masih terkendala entry point rendah 2022. Karena dampak pandemi 2021. Kita loss sekitar 20 ribu bph,” kata Dwi disela konferensi pers di kantor SKK Migas, Jumat (22/4).
Salah satu penyebab utama lainnya yang patut disoroti adalah terjadi banyak unplanned shutdown di beberapa lapangan minyak yang sangat berpengaruh terhadap kinerja lifting minyak. Diantaranya di blok Cepu, Offshore North West Java (ONWJ) serta di blok Rokan.
“EMCL Trip. Sudah berusaha dinaikan tapi akhir tahun desember 2021 yang berdampak pada produksi 2022, adanya PHE ONWJ bocor (pipa), paling besar PHR yang terjadi power off karena penangkal petir terbakar. EMCL blackout sambungan kabel terbakar. Minggu-minggu lalu ada problem EMCL lapangan kedung keris pipanya landslide jadi tanah longsor. Kita kehilangan 11 ribu bph produksi di Cepu. Ini hal-hal paling utama, jadi lawannya unplanned shutdown,” jelas Dwi belum lama ini.
Rentetan unplanned shutdown terjadi sejak akhir 2021. Ini menyebabkan sulit bagi lapangan berproduksi maksimal di awal tahun 2022. Beberapa diantaranya kebocoran pipa di PHE Offshore North West Java (ONWJ) kemudian GLC Belida Tripped di Medco EP Natuna.
“ONWJ-OSES bocor-bocor (pipa) itu peralatan tua kalau bisa sudah terdeteksi peralatan tua ini yang jadi penyebab termasuk Train 1 dan 2 kondisi operasi panas dingin karena konstruksi. Pipa bengkok ECML Kedung Keris masih relatif baru diresmikan 2019 itu terjadi longsor berarti konstruksi sipil nggak betul. Sambungan kabel saya kira itu masalah konstruksi . Kita harus hati-hati pertama kegiatan konstruksi betul-betul hal diamati dengan baik,” jelas Dwi.
Trip terjadi di Blok Cepu pada bulan oktober lalu dilanjutkan adanya masalah di Echo SD leak outline sep. Kemudian salah satu masalah terbesar adalah terjadi di Blok Rokan yakni NDC Power Tripped yang disebabkan oleh terbakarnya tiang penangkal petir di sana.
Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas menegaskan pada dasarnya perusahaan-perusahaan di blok-blok migas besar tersebut sudah menerapkan manajemen kelas dunia tapi tetap saja ada kejadian tak terduga seperti yang dialami oleh PHR.
“Kami lakukan analisis, biggest producer, management system the best tapi bisa terjadi? Ini kita cari telisik jauh. PHR blackout flame tersambar petir. Kedua kompleksitas operasional ribuan sumur mati ramp up produksi lama. Hal simple dan itu terjadi. Ular di kabel. PHR itu hanya tiang listrik tertabrak truk bisa blackout juga. Kalau dari maintenance bagus mereka sudah the best system,” jelas Julius akhir pekan lalu di Jakarta.
Selain Blok Rokan, unplanned shutdown di Blok Cepu juga berbuntut panjang karena target produksi yang jadi taruhannya. Beberapa masalah terjadi dalam rentan waktu berdekatan.
“ECML (ExxonMobil Cepu Limited) unik, ini temuan bagus, ada lima titik sambungan kabel terbakar kita investigasi detailnya. Apakah itu terjadi kegagalan konstruksi? Tapi sistem safety bekerja baik mematikan dengan sempurna untuk mencegah hal tidak diiginkan terjadi,” ungkap Julius.
Kemudian selain masalah kelistrikan ditemukan juga masalah konstruksi yang berisiko terhadap kegiatan opersional sehingga diharuskan untuk melakukan tindakan terlebih dulu. “Landslide, ada pekerjaan rutinitas jalan kenapa pipa muncul ke permukaan terdeteksi erosi tanah di sungai. Itu kami coba terus mencegah terjadi karena ada indikasi over stress pipa kami matikan (produksi minyak) dulu,” ujar Julius.
Unplanned shutdown yang tidak diduga dan telah sebabkan penurunan produksi gas di Tangguh. Untungnya sistem keamanan di BP bekerja dengan baik sehingga juga mampu mencegah terjadi insiden fatal. “Bayangkan kalau tidak terdeteksi itu bisa melepaskan gas H2S itu, berbahaya sekali,” ujar Julius. (RI)
Makin berkurang setelah puluhan tahun di produksi