JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan kenegaraan perdana ke Beijing, Tiongkok, pada 8-10 November 2024, atas undangan dari Presiden Xi Jinping. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kunjungan ini adalah kesempatan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan untuk mendorong pembangunan ekonomi hijau, aksi iklim dan transisi energi di tengah ketidakstabilan global.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan, kunjungan Presiden Prabowo hendaknya dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat kolaborasi dengan Tiongkok untuk mendukung transisi energi rendah karbon, investasi hijau, alih teknologi dan pengembangan industri teknologi energi bersih di Indonesia. Fabby mengatakan bahwa dengan keunggulan penguasaan teknologi dan kapasitas energi terbarukan terbesar di dunia, Tiongkok dapat menjadi mitra strategis Indonesia dalam mempererat kerjasama di tiga sektor yaitu, investasi infrastruktur energi terbarukan dan penyimpanan energi, manufaktur dan rantai pasok teknologi energi bersih, serta dekarbonisasi industri, termasuk pengolahan mineral rendah karbon.

“Tiongkok telah menunjukkan kemajuan pesat dalam mengembangkan energi terbarukan, baik tenaga surya, angin, maupun penyimpanan energi. Indonesia dapat membangun kerja sama yang memungkinkan terjadinya transfer teknologi yang mendukung inovasi dan efisiensi di sektor energi terbarukan, serta investasi pada proyek-proyek energi bersih di Indonesia,” kata Fabby.

IESR menekankan bahwa transisi energi bukan hanya pilihan, melainkan keharusan untuk mencapai kemandirian energi nasional, sembari mengurangi emisi dari sektor energi dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kombinasi antara pengembangan energi terbarukan, investasi pada proyek energi terbarukan, dan penurunan emisi di sektor energi, akan mendukung tercapainya visi pertumbuhan ekonomi delapan persen di era kepemimpinan Prabowo.

Agar jumlah investasi energi terbarukan meningkat, IESR mendorong pemerintah Prabowo untuk menciptakan iklim investasi yang mendukung masuknya investasi energi terbarukan, salah satunya dengan menetapkan target nasional yang tegas, disusul dengan perbaikan kerangka kebijakan dan regulasi, memperbaiki proses perizinan dan tarif listrik agar investasi tersebut lebih bankable. Tidak hanya itu, Indonesia dapat pula mencari dukungan pendanaan lunak dari Tiongkok untuk mendukung implementasi rencana Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

“Dukungan Tiongkok terhadap JETP akan membuka peluang bagi Tiongkok untuk memperdalam hubungan ekonomi dengan negara-negara berkembang yang mempunyai agenda transisi energi. Di sisi lain, Indonesia, yang masih masuk jajaran negara berkembang ini, dapat mempercepat pembangunan proyek energi terbarukan dengan adanya pendanaan yang memadai dari Tiongkok,” imbuh Fabby.

IESR berharap bahwa Presiden Prabowo dapat memanfaatkan pertemuan dengan para pemimpin dan investor di Tiongkok untuk menggalang dukungan dalam transisi energi yang adil. Transisi energi berkeadilan harus mengutamakan pembangunan yang inklusif dan merata, dengan mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi nasional.