JAKARTA – Pembahasan revisi Undang Undang (RUU) Migas dinilai sulit diselesaikan pada tahun ini. Padahal revisi tersebut sudah dinantikan pelaku usaha sejak 2012 saat Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas.
Satya Widya Yudha, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan pembahasan revisi UU migas masih stagnan di Badan Legislasi (Baleg). Sejak Mei 2016 Komisi VII sudah menyerahkan susunan draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) migas kepada Baleg untuk dilakukan sinkronisasi. Tahapan tersebut sangat diperlukan untuk memastikan RUU tidak bersinggungan dengan UU lainnya.
“Tetapi Baleg tidak kerja sesuai dengan tugasnya untuk sinkronisasi terhadap undang-undang yang diajukan. Mereka tidak melakukan itu, yang sebenarnya tidak boleh lebih 21 hari,” kata Satya di Jakarta, Rabu (28/2).
Alih-alih melakukan sinkronisasi terhadap draf RUU yang sudah diserahkan Komisi VII, Baleg justru memanggil beberapa lembaga institusi seperti Indonesian Petroleum Association (IPA), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan beberapa stakeholder lain untuk dimintai pendapat. Padahal itu sebenarnya adalah topoksi atau tugas dari Komisi VII.
“Mereka (Baleg) panggil IPA dan profesor. Yang dilakukan Baleg ini seperti Komisi VII, sehingga masalah menjadi berlarut-larut,” ungkap Satya.
Dia menambahkan pimpinan Komisi VII DPR sudah melakukan pembicaraan dengan pimpinan Baleg agar sinkronisasi segera dilanjutkan karena stagnansi pembahasan RUU Migas sudah disoroti pimpinan DPR.
Salah satu faktor lamanya pembahasan draf RUU di Baleg karena adaya kekhawatiran RUU Migas akan bertabarakan dengan Undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) produk Komisi VI.
Pasalnya, Komisi VII menyodorkan konsep Badan Usaha Khusus (BUK) dimana ada satu badan perwakilan pemerintah yang khusus mengelola sektor migas dari hulu ke hilir menggantikan SKK Migas maupun BPH Migas.
“Permasalahan Badan Usaha Khusus yang ada di dalam draf ini takut bertabrakan dengan Komisi VI atau BUMN,” kata Satya.
Disisi lain, pemerintah menolak dikatakan berdiam diri terkait pembahasan RUU migas.
Susyanto, Sekretaris Direktorat Migas Kementerian ESDM, mengungkapkan pemerintah sebenarnya sudah melakukan ancang-ancang dan inisiatif mengajukan revisi undang-undang saat UU Nomor 22 Tahun 2001 menuai banyak kritik. Puncaknya, pada 2015 inisiatif RUU Migas coba dilakukan dan sudah diajukan pemerintah kala itu.
“Pada 2008 kami sudah siap-siap sebenarnya sampai sudah ada draf, tapi ada aturan main ini inisiatif di DPR. Pada 2015 kami usulkan ke pimpinan DPR melalui Menkumham tapi ditolak,” ungkap Susyanto.
Dia mengatakan pemerintah sudah melakukan upaya semaksimal mungkin untuk mendorong revisi tersebut, namun bola tetap berada di DPR. Wacana penerbitan Peraturan Pengganti Undang – undang (Perpu) juga dinilai akan sulit terealisasi. Pasalnya kondisi sekarang masih belum dianggap sebagai kondisi luar biasa.
“Pemerintah sudah mencoba betul mau ambil alih, tapi ditolak. Negara dalam keadaan genting baru Perpu. Kondisi saat ini tidak genting-genting amat,” tandas Susyanto.(RI)
Komentar Terbaru