JAKARTA – Pemerintah akan mempercepat kebijakan larangan ekspor nikel ore atau bijih nikel kadar dibawah 1,7%. Semula ekspor masih bisa dilakukan hingga 2020, namun akhirnya ditetapkan ekspor hanya bisa dilakukan hingga akhir 2019. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan pemerintah ini.
Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan bahwa selain untuk mempercepat hilirisasi mineral, pemerintah juga mempertimbangkan kondisi ketahanan cadangan nikel.
Saat ini cadangan terbukti nikel Indonesia sebanyak 698,8 juta ton dan cadangan terkira sebesar 2,8 miliar ton. Dengan kondisi tersebut maka jumlah nikel yang bisa diolah jumlahnya cukup terbatas.
“Ini kan harus ada penelitian eksplorasi lebih detail lagi, dengan cadangan tersebut kami berpikir berapa lama kalau seandainya terus memberikan izin ekspor. Dengan pengajuan sebesar 76 juta ton nikel realisasinya sekitar 38,2 juta. Kalau kami hitung hanya 698 juta sampai 7-8 tahun,” kata Bambang saat konferensi pers di Jakarta, Senin (2/9).
Berdasarkan kajian pemerintah apabila cadangan terkira sebesar 2,8 miliar ton belum bisa langsung bisa diproduksi karena masih bergantung beberapa faktor untuk menjadi cadangan terbukti. Diantaranya, kemudahan akses perizinan dan keekonomian (harga) sehingga dapat memenuhi kebutuhan fasilitas pemurnian selama kurang lebih 42 tahun.
Menurut Bambang, dengan umur cadangan saat ini belum dapat memenuhi umur fasilitas pemurnian, sehingga pemerintah perlu mengambil upaya antisipatif berupa kebinakan baru yakni percepatan larangan ekspor nikel.
Selain itu, dengan teknologi yang ada sekarang maka nikel bisa diolah menjadi bahan baku utama yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai mobil listrik.
“Perkembangan teknologi sudah maju, justru dapat mengelola nikel kadar rendah, nikel tersebut dapat digunakan sebagai komponen batrerai dalam rangka pengembangan mobil listrik. Ini ada perusahan yang ingin mengolah kadar rendah jadi kobalt dan lithium,” jelas Bambang.
Ada empat proyek pembangunan smelter yang nantinya disiapkan untuk menyerap nikel kadar rendah dengan menggunakan metode hydromatalurgi sehingga bisa menghasilkan produk yang bisa percepat pengembangan industri mobil listrik.
Pertama adalah proyek Huayue Bahadopi (IMIP) Industrial Park, Kabupaten Bahadopi, Sulawesi Tengah yang digarap PT Huayue Nickel Cobalt dengan kapasitas 11 juta ton bijih nikel per tahun. Kapasitas output atau produksi 60.000 ton Ni serta 7.800 ton cobalt per tahun. Proyek itu dikerjakan pada 2020 hingga 2021 dan menelan investasi mencapai US $ 1,28 miliar.
Kedua adalah proyek QMB Bahadopi dikerjakan oleh PT QMB New Energy Material dengan kapasitas input nikel ore 5 juta ton per tahun mampu memproduksi 50.000 ton Ni dan 4.000 ton cobalt. Proyek ini dibangun dengan total nilai investasi sebesar US$ 998,47 juta.
Proyek lainnya digarap PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) atas nama PT Halmahera Persada Lygend dengan salah satu pemilik saham dari Harita Group (PT Trimegah Bangun Persada). Dengan total kapasitas input nikel sebesar 8,3 juta ton bijih nikel per tahun , output 278.534 ton per tahun dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) nikel sulfat dan cobalt sulfat yang memiliki nilai investasi mencapai US$ 10,61 miliar.
Proyeksi terakhir adalah pembangunan yang dilakukan oleh PT Smelter Nikel Indonesia dengan kapasitas output 2,4 juta ton per tahun serts memiliki kapasitas output 76.500 ton dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) nikel sulfat dan cobalt sulfat.
“Sehingga total kebutuhan bijih nikel kadar rendah pada 2021 akan mencapai 27 juta ton per tahun,” kata Bambang.(RI)
Komentar Terbaru