JAKARTA – Komisi VII DPR menyatakan akan mendorong pemerintah dalam hal ini Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM untuk mempercepat realisasi target bauran energi terbarukan pada 2025 dengan strategi memperkuat economic value dan meningkatkan demand EBT. Serta menjadikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai viable option.
Bob S Effendi, Kepala Perwakilan Thorcon International Pte.Ltd., mengatakan hal ini merupakan sebuah terobosan dan harapan bagi pengembangan PLTN di Indonesia. Apabila Komisi VII DPR, Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN) sudah berbicara narasi yang sama, yakni PLTN sebagai viable option.
“Empat dari delapan calon anggota DEN yang baru menyatakan dukungan terhadap PLTN. Tidak hanya itu, target 31% EBT pada 2050 sulit tercapai tanpa masuknya nuklir yang juga menjadi komponen penting dalam transisi energi sebagaimana diakui dalam Naskah Akademis RUU (Rancangan Undang-Undang) EBT,” kata Bob kepada Dunia Energi, Selasa (17/11).
Bob mengatakan, sudah lebih dari 30 tahun pengembangan energi nuklir nasional maju mundur.
Thorcon International merupakan perusahaan pengembang nuklir asal Amerika Serikat (AS) yang sudah menyatakan keseriusannya untuk pengembangan dan pembangunan Thorium Molten Salt Reactor Power Plant 500 MW (TMSR500) atau yang lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) dengan nilai investasi sekitar US$1,2 miliar atau setara dengan Rp 17 triliun.
“Sudah saatnya Indonesia memanfaatkannya teknologi nuklir untuk menjadi negara besar sebagaimana di cita-citakan oleh Presiden Soekarno,” ujar Bob.
Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan dibutuhkan peningkatan target pemanfaatan EBT sekitar 10-11% setiap tahun agar 23% bauran energi dari EBT dapat tercapai pada 2025, dengan beberapa asumsi khususnya peningkatan pengembangan PLTS karena proyeknya cukup banyak dikembangkan oleh stakeholder untuk pemanfaatan sendiri.
Pemerintah terus berupaya melaksanakan berbagai program percepatan pengembangan EBT. Beberapa program yang akan dilakukan pemerintah antara lain pengembangan pembangkit listrik EBT dan Bahan Bakar Nabati (BBN), pengembangan panas bumi melalui government drilling, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar, program PLTS Atap, dan program cofiring biomassa pada PLTU.
Dadan menekankan bahwa pengembangan EBT akan tetap berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Kami ikutin sebagaimana yang di RPJM,” tandas Dadang, kepada Dunia Energi.(RA)
Menarik untuk didiskusikan lebih lanjut atas “dorongan” menjadikan PLTN sebagai viable option dalam bauran ebt khususnya pada tahun 2050. Prediksi permintaan listrik nasional pada tahun 2025 dan 2050 apakah dengan skema BaU, PB dan RK sudah terdefinisikan. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memastikan potensi EBT di Indonesia untuk mendorong capaian bauran ebt 23 % pada tahun 2025 dan 31% pada 2050. Dalam Outlook Energi Indonesia 2019 yg diterbitkan oleh DEN, potensi EBT untuk pembangkit listrik mencapai 400 GW diluar Nuklir. Pertanyaannya, apakah potensi tersebut bisa kita realisasikan untuk memenuhi target bauran ebt pada 2025 dan 2050?. Kalau biasa, jenis potensi ebt yang mana saja yg bisa direalisasikan secepatnya dan berapa MW potensinya?. Untuk bisa merealisasikannya, apakah perlu UU, Perpres, Permen atau instrumen kebijalan yang lain.
Apabila hasil pemetaan, ternyata potensi ebt tidak bisa mendorong capaian target bauran ebt pada 2025 dan 2050, apa alternatif solusinya?.
Mungkin, salah satu alternatif solusinya adalah mengembangan Nuclear Energy System (NES). Tentunya , tahapan berikutnya yang harus dijalankan dari alternatif solusi ini adalah pemetaan berapa besar cadangan uranium di indonesia ?, berapa besar kapasitas PLTN yg direncanakan?, kapan rencana pembangunannya?, berapa besar investasinya?, dll.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, prioritas pengembangan energi nasioanal menempatkan nuklir sebagai pilihan terakhir.
Apabila memang PLTN menjadi alternatif solusinya, maka langkah pertama yang harus dilakukan DEN adalah merubah prioritas pengembangan energi nasional dalam kebijakan energi nasional.