JAKARTA – Mekanisme penambahan subsidi seyogyanya menjadi jalan untuk bisa membantu beban keuangan yang saat ini tengah ditanggung PT Pertamina (Persero) akibat disparitas harga bahan bakar minyak (BBM). Subdisi bukan lagi menjadi wacana, tapi menjadi realitas yang harus jalankan.
Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan penambahan subsidi akan membuat kondisi keuangan Pertamina terbantu, sehingga tidak mengalami opportunity loss sangat besar.
“Mereka bisa lebih leluasa mengatur cash flow, sehingga bisa lebih baik dan lancar lagi,” kata Mamit kepada Dunia Energi, baru-baru ini.
Kinerja keuangan Pertamina pada kuartal I 2018 menurun tajam, salah satu penyebab adalah meroketnya biaya penyediaan bahan baku BBM yang tidak diiringi perubahan harga penjualan BBM. Harga BBM penugasan jenis Premium maupun BBM tertentu jenis Solar hingga bahan bakar khusus (BBK) jenis Pertalite maupun Pertamax Series hingga saat ini belum ada penyesuaian.
Arif Budiman, Direktur Keuangan Pertamina, mengakui penurunan kinerja keuangan Pertamina, namun menolak menyebut besaran penurunannya. Pasalnya, saat ini masih dibahas kemungkinan pemberian kompensasi lain kepada Pertamina dari pemerintah. Selain juga karena Pertamina belum mengikuti jejak badan usaha lain, seperti PT Shell Indonesia, PT Total Oil Indonesia dan PT AKR Corporindo Tbk yang sudah memberlakukan harga baru BBM yang didistribusikannya menyusul persetujuan yang diberikan pemerintah. “Nanti kami lihat dulu, mungkin masih ada kompensasi lain,” kata Arif.
Salah satu kompensasi yang masih menjadi harapan Pertamina adalah tambahan subsidi yang dijanjikan pemerintah.
“Masih ada diskusi terkait subsidi. Kalau subsidinya ternyata bisa didapat, kan beda angkanya (penurunan kinerja keuangan),” ungkap dia.
Pada periode Januari-Maret 2018, Pertamina membukukan laba bersih US$100 juta atau setara Rp 1,4 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS), jauh merosok dibanding periode yang sama 2017 yang mencapai US$760 juta atau sekitar US$1,01 miliar.
Penyebab utama terjun bebasnya kinerja keuangan Pertamina disebabkan belanja penjualan dan biaya operasi yang tinggi. Total harga pokok penjualan (cost of good sold/COGS) dan biaya operasi perusahaan mencapai US$11,01 miliar, naik dibandingkan periode kuartal I 2017 yang tercatat US$ 10,15 miliar (year-on-year).
Padahal pendapatan pada kuartal I 2018 hanya sebesar US$11,77 miliar atau sekitar Rp163,8 triliun, naik dibanding periode sama tahun lalu US$10,15 miliar.
Menurut Arif, Pertamina sudah menyiapkan beberapa langkah strategis untuk merespon kondisi keuangan pada kuartal I 2018 agar tidak berdampak negatif pada kegiatan operasi serta investasi perusahan kedepan.
“Ya mungkin ada penurunan, tapi kan nanti ada efisiensi dan kami juga mencari kemitraan dan lain-lain,” tegas Arif.
Pemerintah sudah berniat menambah besaran subsidi kepada Pertamina. Saat ini subsidi hanya diberikan kepada BBM jenis Solar dengan besaran Rp 500 per liter. Pada 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyusun asumsi dengan besaran subsidi yang diusulkan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 1.500 per liter.
Mas’ud Khamid, Direktur Pemasaran Retail Pertamina, mengatakan ada gap antara harga yang ditetapkan Pertamina sekarang dengan harga keekonomian.
“Satu sisi kami melakukan cost leadership service dengan kesehatan perusahaan itu uang diprioritaskan, sementara penugasan tetap dijalankan,” ungkap dia.
Pengajuan perubahan harga BBM nonsubsidi juga belum akan dilakukan. Pertamina tidak mau terburu-buru merespon kondisi harga minyak yang ada karena pergerakannya masih sangat fluktuatif.
“Kami belum ambil kesimpulan sejauh itu (naikan harga BBM), karena harganya (minyak dunia) masih fluktuatif belum fix. Masih dinamis, sehingga untuk menentukan titik pas dimana nanti sama-sama dengan regulator, Pertamina tidak bisa sendiri,” kata Mas’ud.(RI)
Komentar Terbaru