JAKARTA – Aksi warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2017 pada saat PT SMI (Persero) yang bekerjasama dengan World Bank dan konsultan dari bantuan pemerintah New Zealand melakukan rencana pengeboran Wilayah Kerja Panasbumi (WKP) di Waesano, Manggarai Barat, NTT. Demikian disampaikan Riki Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) periode 2016-2022.

Riki mengungkapkan, masyarakat mulai bergejolak karena pada saat itu juga bersamaan dengan adanya rencana Pilkada.
“Keterlibatan masyarakat atas adanya proyek atau pembangunan di daerahnya itu memang sebaiknya menjadi perhatian masyarakat, DPRD dan Pemda setempat agar pembangunan di daerahnya itu benar-benar dapat terwujud sesuai harapan masyarakat setempat dan pemerintahnya,” ujar Riki, kepada Dunia Energi, Selasa (8/10).

Menurut Riki aksi masyarakat Poco Leok semestinya tidak berdampak pada pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) di Indonesia. Namun demikian, kata dia, perlu benar-benar mengikuti prosesnya dan keterlibatan semua pihak di daerah menjadi kunci utama.

“Tentu ada prosesnya dan hal ini tidak cepat karena dialog yang panjang serta membangun kepercayaan semua pihak itu akan makan waktu,” kata Riki.

Riki mengatakan, proses komunikasi membangun kepercayaan semua pihak harus dapat dimengerti pula oleh para investor asing yang akan melakukan investasi yang tidak hanya untuk proyek PLTP tetapi juga lainnya seperti mineral dan pertambangan nickel dan emas, PLTS, PLTA, dan proyek lainnya saat ini.

“Investor perlu bekerjasama dengan perusahaan lokal yang dapat menjelaskan, membangun kepercayaan Investor dan masyarakat/pemda setempat, serta menjalankan semua proses dengan benar dan baik karena Poco Leok itu bukan hanya sebagai upacara seremonial saja tetapi juga pelaksanaan yang mengandung banyak arti yang baik dan benar terhadap semua pihak yang berada di muka bumi ini,” ujar Riki.

Sebagai informasi, komunitas adat di Poco Leok menggagalkan upaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan PT PLN (Persero) untuk memasang patok di atas tanah ulayat yang merupakan bagian dari pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Warga melakukan aksi saat sejumlah pejabat dari Pemkab dan PLN mendatangi Poco Leok, pada 1 Oktober 2024.

Aksi warga ini merupakan rangkaian dari upaya penolakan terhadap perluasan PLTP Ulumbu, bagian dari proyek strategis nasional di Flores. PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011 berada di sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.

Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 menargetkan peningkatan kapasitas 2×20 Megawatt (MW), meningkat dari 10 MW yang dihasilkan saat ini.

Riki menekankan seluruh perusahaan yang masuk melakukan investasi dimana saja baik di Indonesia atau luar negeri, saatnya harus merubah cara dan konsep berpikir.

“Tidak usah membanding-bandingkan antara satu daerah dengan daerah lainnya lagi, marilah kita bangun negeri ini dengan kemampuan sendiri yang artinya bukan lagi didikte waktunya oleh para investor tetapi dikerjakan bersama investor yang mengerti betapa pentingnya dukungan yang penuh dari masyarakat, pemerintah dan DPRD setempat,” kata Riki, yang juga dosen program S2 jurusan Energi Terbarukan Universitas Darma Persada.(RA)