SAMBOJA, KUTAI KARTANEGARA- Lebih dari 20 orang berkumpul di Pendopo Tani Baanjung, Kelurahan Handil Baru Darat, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada Jumat (3/12) sore. Tampak sejumlah remaja perempuan. Sisanya, ibu-ibu dan bapak-bapak, bahkan beberapa di antaranya ada yang datang dari Jakarta. Mereka sangat serius dan antusias mendengarkan pemaparan mitra binaan PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), pengelola WIlayah Kerja Mahakam. PHM adalah anak usaha PT Pertamina Hulu Indonesia yang juga Subholding Upstream Pertamina Regional Kalimantan.
H Asnawi, salah satu mitra binaan PHM yang mengawali cerita. Asnawi adalah pemilik lahan 40.000 meter persegi yang menjadi basis pengelolaan Petani Maju 4.0 yang dikembangkan oleh PHM beserta mitra binaannya di Kecamatan Samboja. Baru pada 2018 Asnawi menjadi mitra PHM. Bersama Kelompok Wanita Tani (KWT), Tani Digital (yang pengelolanya tiga orang dara dari kelurahan setempat), dan Yuliantoro (pengembang inovasi Biotasuke di Kelurahan Senipah) menjadi mitra binaan PHM.
“Alhamdulillah, berkat bantuan dan dukungan PHM, pertanian kami ada perubahan. Setelah mengirim kami ke Pulau Jawa untuk belajar pertanian, akhirnya bisa kami terapkan di sini dengan metode pertanian yang lebih ramah lingkungan. Hasilnya pun telah kami rasakan,” ujar Asnawi.
Puluhan tanaman buah dan sayuran ditanam di kebun milik Asnawi. Kebun ini terbagi atas beberapa zona. Ada kelompok sayuran, kelompok buah-buahan, dan juga ada zona perikanan dan pemeliharaan unggas. “Kami juga sediakan zona bagi Ibu-Ibu KWT berkiprah. Setiap hari, selepas Ashar, mereka akan ke kebun ini,” ujarnya.
Asnawi mengembangkan kebun dengan konsep Petani Maju 4.0 sesuai dengan program pengembangan masyarakat (CSR) PHM. Sudah tiga tahun lalu PHM membina Asnawi dkk. Apalagi PHM telah mengidentifikasi berbagai persoalan terkait pengelolaan lahan tersebut. “Program ini dimulai dengan membuat pemetaan sosial dan identifikasi wilayah, dilanjutkan dengan mendorong pembentukan kelompok tani, dan saat ini program tersebut sudah bergulir,” kata Frans A Hukom, Head Communications, Relations & CID PHM, dalam kesempatan terpisah.
Menurut Frans fokus program saat ini ada pada tahapan penguatan dan pengembangan dimana PHM aktif memberikan pelatihan dan pendampingan kader pemuda dan wanita tani. “Harapannya pada 2022, program Petani Maju 4.0 dapat menjadi rujukan dan wilayah percontohan agrowisata ramah lingkungan di wilayah Kutai Kartanegara,” katanya.
Teknik yang diperkenalkan pada program ini adalah pertanian pertakultur yang ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keberlanjutan. Teknik pertanian ini salah satunya menerapkan pemanfaatan bahan dan alat pertanian yang diproduksi sendiri oleh kelompok tani. Saat ini PHM membina dua kelompok tani yang menguasai pengetahuan bertani dengan teknik pertakultur. Contohnya: limbah pertanian dan peternakan diolah menjadi pupuk organik dan secara mandiri telah mampu memproduksi pupuk organik cair (PCO) hingga 500 liter per bulan.
“PCO juga digunakan untuk pemupukan dalam proses penyemaian tumbuhan langka di greenhouse BSP (Bekapi-Senipah-Peciko) South Mahakam untuk mendukung program keanekaragaman hayati,” jelas Frans.
Menurut Frans, kelompok petani binaan ini juga dilatih memproduksi media tanam secara mandiri, yang kini mencapai 300 kg per bulan. “Dari kedua material pendukung tersebut, kelompok tani saat ini bisa mendapatkan tambahan penghasilan hingga Rp 9,6 juta per tahun,” katanya.
Menurut Yuliantoro, para petani memformulasi format bertani ideal ramah lingkungan dengan melibatkan para pemuda. Lahirlah kemudian pertanian Pertakultur. “Bukan hanya perta-pertaan yang diproduksi Pertamina, kami juga ada Pertakultur,” ujarnya.
Ada enam prinsip nilai pertanian Pertakultur pada Petani 4.0 yang dikembangkan PHM pada mitra binaannya di Kecamatan Samboja. Pertama, menyehatkan alam. Hal ini tampak dari inovasi dekomposer biotasuke yang dibuat oleh Yuliantoro. Kedua, seni manata lahan. Hal ini tampak dari penggunaan drone untuk zonasi lahan. Ketiga, daur ulang limbah. Hal ini berupa pemanfaatan limbah sawit (jankos) dan rumah tangga, yaitu media tanam 270 kg per bulan dan pupuk organik 50 kg per bulan.
Keempat adalah perluasan manfaat, yaitu pemantauan titik api dan 49 pekarangan RPL.
Selain itu ada embung dengan kapasitas 1.050 m3 untuk irigasi di dua lokasi. Kelima, kebermanfaatan bersama, yaitu pemuda bertani tanpa memiliki lahan. Keenam adalah mandiri dan keberlanjutan. “Pemasaran hasil panen melalui aplikasi tanam digital,” ujar Yuliantoro.
Mengajak Pemuda
Sejatinya, program Petani Maju 4.0 adalah mengajak pemuda untuk kembali bertani. Menurut Yuliantoro, kondisi pemuda yang menganggur dan tidak berminat dengan pertanian serta kemampuan terbatas adalah persoalan. Apalagi ada beberapa petani yang kemudian mengikuti pelatihan Permakuktur di Bumi Langit Institute. Belakangan, muncul kolaborasi petani tua dan muda sehingga ada perluasan manfaat, yaitu pendampingan pemuda. “Dari sana muncul inovasi lain, yaitu penggunaan drone dan aplikasi tanam digital,” ujarnya.
Sebanyak 33 pemuda secara berkelompok kemudian kembali bertani dan mengelola lahan di tiga zona pertanian pada lahan milik H Asnawi. Di sisi lain, Yuliantoro membuat inovasi keren, yaitu biotasukei sebagai ajang untuk pertanian pertakultur.
Petani Maju 4.0 yang dikembangkan PHM bersama mitra binaan memiliki tiga keunikan. Pertama, kolaborasi petani muda dan tua. Kedua, inovasi decomposer biotasuke dari limbah organic, dan integrasi teknologi dan pertanian. Sementara masalah sosial yang diselesaikan adalah berkurangnya jumlah pemuda pengangguran sebanyak 13% dan pelestarian lingkungan melalui pemanfaatan limbah organik,” ujar Yuliantoro.
Tak hanya itu, program CSR Petani 4.0 PHM juga memiliki kebaruan berupa pertanian pertakultur dengan pengelolaan lahan ramah lingkungan adaptasi sistem Permakultur. Selain itu mengedepankan aspek kebermanfaatan dan kemandirian bersama.
“Menariknya lagi, kami bertani 100% menggunakan bahan-bahan organik. Bahkan basisnya pada life cycle assessment, antara lain BSP dikelola sebagai kompos media tanam,” ujarnya.
Faktor yang tidak kalah penting adalah Creating Shared Value (CSV) dari program Petani Maju 4.0. Asnawi menyebutkan bahwa komoditas yang paling menarik hasil produksi lahan taninya adalah papaya California. Pepaya dan hasil tani mitra binaan PHM di Samboja dipasok untuk catering perusahaan. “Kami juga memanfaatkan sampah organik PHM,” ujarnya.
Dari aspek Sustainability Compass Petani Maju 4.0 juga cukup keren. Itu terbukti dari aspek nature, pada 2020 pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dari CH4 limbah perkebunan dihasilkan 163,6 kg CH4 per tahun pada 2020 dan diproyeksikan tahun ini ada 259,2 kg CH4 per tahun. Sementara pengurangan karbon stok biomassa mencapai 91,64 ton CO2/ tahun. Di luar itu, Petani Maju 4.0 menggunakan dekomposer biotasuke ratusan liter yang dikelola oleh Taruna Tani Bumi Seriwangi.
Dari aspek ekonomi, Sustainability Compass Petani Maju 4,0 adalah penghasilan pemuda sebesar Rp1,3 juta/zona/bulan dan Rp1,8 juta/orang/bulan untuk pendapatan perempuan melalui KWT. Sedangkan penghematan biaya irigasis ebesar Rp1,2 juta per tahun dan pendapatan kelompok dari demplot Rp3,2 juta/kelompok.tahun. Sedangkan penghematan biaya perawatan tanaman Rp2,4 juta/lahan/tahun.
Shaqil Effendi (23 tahun), pemuda asal Kampung Kamal, Kecamatan Samboja, mengaku awalnya tak berpikir bakal menjadi petani. Meski lahir di tengah keluarga transmigran yang umumnya petani, warga Kelurahan Senipah ini ilebih suka bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta. Namun kini dia terpanggil menjadi petani, karena dia melihat tidak ada regenerasi petani di desanya.
Faktor lain yang mendorongnya untuk bertani adalah pengenalan konsep pemanfaatan teknologi untuk pengembangan pertanian yang ditawarkan oleh PHM, yakni program Petani Maju 4.0. Hal itulah yang membuat Shaqil bersama 26 pemuda dari desanya, kini bergiat di bidang pertanian.
Kampung Kamal hanya berjarak 2 kilometer dari salah satu fasilitas produksi di Wilayah Kerja Mahakam: Bekapi-Senipah-Peciko-South Mahakam (BSP), yang dioperasikan PHM. Kampung itu sejatinya potensial untuk dijadikan area pertanian karena di sana terhampar 41 hektar lahan tidur. Hanya saja, budaya bertani sudah ditinggalkan dan ilmu bercocok tanam sudah dilupakan. Di sisi lain, pengelolaan pertanian secara instan telah membuka potensi kerusakan lingkungan serta ancaman kebakaran lahan bila tidak dikelola dengan baik. (DR/LH)
Komentar Terbaru