JAKARTA – Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengaku, bergulirnya kasus dugaan korupsi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, sudah sangat menggangu secara keseluruhan kegiatan hulu migas nasional, dan berpotensi menurunkan produksi secara signifikan.
Hal ini dikatakan Rudi pada Rabu malam, 8 Mei 2013, menanggapi vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi kepada Ricksy Prematuri dan Herlan Bin Ompo. Keduanya merupakan pimpinan PY Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya, kontraktor Chevron dalam melaksanakan kegiatan bioremediasi atau penanganan tanah tercemar limbah minyak.
“Jangankan putusannya, bioremediasi diseret dan dimasukkan kasus pidana saja saya sudah bingung,” ujar Rudi. Karena sebenarnya, kata Rudi, bioremediasi itu adalah kegiatan yang bernaung dibawah kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) migas.
Di situ investor atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas berkontrak dengan SKK Migas selaku wakil Pemerintah Indonesia dalam hubungan B to B (Business to Business).
“Kalau toh dianggap ada pelanggaran atau kelebihan pembayaran, mesti harus didasarkan pada adanya temuan BPK, dan itu pun mekanisme penyelesaiannya perdata. Yakni kelebihan pembayaran dikembalikan kepada negara. Bukan dibawa ke ranah pidana dan dijadikan kasus korupsi,” tandasnya.
Rudi pun mengaku, bergulirnya kasus bioremediasi selama satu tahun lebih ini, sudah sangat mengganggu industri migas nasional secara keseluruhan. “Kasus bioremediasi ini sudah sangat mengganggu, karena pelaku industri migas yang lain sudah tentu akan ketakutan menjalankan aktivitasnya,” terang Rudi.
Bagaimana tidak? Sebuah perusahaan ketika bekerja normal, jujur, sesuai aturan, tetap bisa dipidana dan dituduh merugikan negara. “Nantinya tidak akan ada lagi yang berani mencangkul, mengebor, dan sebagainya karena takut dipidanakan. Ke depan juga investor yang mau masuk akan ketakutan, dan ini sangat merugikan indsutri migas nasional secara kesleuruhan,” tandas Rudi lagi.
Terkait proses persidangan, Rudi mengimbau seluruh aparat penegak hukum di negeri ini, baik Jaksa maupun Hakim khususnya yang menangani perkara bioremediasi, untuk menempatkan kasus ini sesuai dengan porsinya. “Kalau semua ditempatkan pada porsinya, saya yakin tidak akan ada keruwetan dan industri migas kita bisa berjalan normal,” tukasnya.
Problemnya sekarang, kata Rudi, kasus bioremediasi ini tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. “Dari KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) sendiri sudah menyatakan tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaan bioremediasi ini, dan proyek ini tidak fiktif. Kok Kejaksaan ngotot memperkarakan dan sekarang Majelis Hakim terkesan memaksakan tetap menjatuhkan vonis kepada pihak-pihak yang terkait kasus ini?,” ujarnya.
(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru