JAKARTA – Mitigasi krisis iklim memerlukan kemitraan internasional yang mampu mempercepat proses transisi energi ke energi terbarukan di Indonesia. Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan Indonesia perlu menciptakan dan menangkap peluang kerja sama dengan negara yang gencar mengembangkan energi terbarukan, seperti Tiongkok, untuk berbagi teknologi dan menarik investasi untuk transisi energi.
Kerja sama Tiongkok dan Indonesia telah terjalin selama 75 tahun. Sementara kolaborasi Tiongkok dan Indonesia semakin erat dalam kerangka kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Jalan Sutra pada 2013. Sejalan dengan meningkatnya kerjasama Indonesia-Tiongkok, jumlah investasi Tiongkok ke Indonesia di sektor energi dari 2006 hingga 2022 mencapai USD 8,9 juta atau sekitar Rp 93 triliun. Porsi investasi di sektor energi dari Tiongkok dialokasikan 86 persen untuk energi fosil, dan 14 persen untuk energi terbarukan.
Dino R Kusnadi, Fungsional Diplomat Ahli Madya Kementerian Luar Negeri, menyebut dalam BRI, Tiongkok menjadikan Indonesia sebagai negara prioritas untuk bekerja sama. Menurutnya, sebagai negara yang menganut asas bebas aktif dalam kerja sama internasional, Indonesia mempunyai keleluasaan untuk memilih mitra selama memberikan nilai tambah secara teknologi, infrastruktur, hingga perekonomian.
“China dan Indonesia mempunyai kerja sama yang saling melengkapi. Indonesia merupakan mitra prioritas China. Selama memberikan nilai tambah, kerja sama dapat terus berlangsung. Di sisi lain, Indonesia perlu meningkatkan kapasitasnya agar tidak ketinggalan dengan Tiongkok,” jelas Dino dalam Media Briefing yang diselenggarakan IESR, berjudul Potensi Kolaborasi Indonesia-China dalam Pembangunan Ekonomi Hijau dan Kerja Sama Energi Bersih pada Selasa (24/9).
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi, IESR, mengatakan peluang untuk meningkatkan investasi energi terbarukan Tiongkok di Indonesia terbuka lebar. Hal ini sejalan dengan komitmen Tiongkok mendukung pengembangan energi ramah lingkungan di negara-negara berkembang. Di sisi lain. Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai nol emisi atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat sehingga dapat memperkuat potensi kerja sama ini.
“Kajian IESR menemukan bahwa secara teknis dan ekonomis, Indonesia bahkan dapat mempercepat pencapaian nol emisi karbon pada 2050 dengan dekarbonisasi sektor energi. Indonesia dapat lebih memperkuat kerja sama dengan Tiongkok, misalnya dalam kerangka BRI, untuk mengeksplorasi mekanisme inovatif dan struktur pembiayaan untuk meningkatkan proyek energi terbarukan di Indonesia,” ungkap Arief.
Arief menambahkan berdasarkan kajian IESR, untuk Indonesia memerlukan investasi sebesar US$1,3 triliun untuk mencapai nol emisi karbon pada 2050, yang akan dialokasikan ke berbagai teknologi energi terbarukan. Dukungan investasi yang signifikan ini mensyaratkan kolaborasi internasional yang kuat, termasuk dengan Tiongkok.
Agung Marsallindo, Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara, IESR, menuturkan dukungan Tiongkok terhadap transisi energi di Indonesia dapat berupa kolaborasi teknologi dan manufaktur serta investasi. Agung menjelaskan, investasi hijau Tiongkok akan menyasar pada proyek energi terbarukan yang layak secara finansial seperti tenaga surya dan angin. Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya yang memadai untuk manufaktur pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) disokong dengan biaya produksi yang rendah.
“Memperkuat peluang kerja sama Indonesia dan Tiongkok dalam sektor energi terbarukan sangat diperlukan dalam mengedepankan pembangunan hijau dan berkelanjutan. Hal ini dapat membuka kesempatan Indonesia sebagai hub manufaktur energi terbarukan, mendukung dekarbonisasi industri, serta memastikan kerangka pembiayaan proyek hijau yang bankable dan jangka panjang,” ungkap Agung.
Komentar Terbaru