JAKARTA – Langkah Sekretariat Negara (Sekneg) yang mengembalikannya Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 23 Tahun 2010 ke 6 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dinilai menjadi sebuah tamparan keras dari Presiden Joko Widodo kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
“Alasannya jelas, Menteri BUMN tidak mau atau belum memberikan paraf setiap lembar RPP yang ada. Sikap Sekretaris Negara tersebut patut diapresiasi dengan acungan dua jempol,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, kepada Dunia Energi, Rabu (19/6).
Yusri menilai, penolakan Presiden melalui Sekneg sebagai sinyal keras bahwa Kementerian ESDM dinilai tidak taat azas terhadap Undang-Undang (UU) dalam merevisi sebuah peraturan, termasuk terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, sekaligus atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hirarkis dan Tata Cara Pembuatan Undang Undang. “Atau sebaliknya, pengembalian RPP oleh Sekneg mungkin bocor bahwa KPK akan meningkatkan kasus perpanjangan PT Tanito Harum ketingkat penyidikan,” katanya.
Menurut Yusri, sejak semula RPP Nomor 23 Tahun 2010 yang diajukan Menteri ESDM dinilai aneh. Kementerian ESDM justru melakukan komunikasi terbatas dan sepihak dengan pihak pemilik tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Kementerian ESDM tercatat tidak menghiraukan amanah UU Minerba, dimana sumber daya alam (SDA) semestinya diletakkan pada filosofi dimiliki oleh semua rakyat Indonesia, dan dikelola negara untuk kepentingan rakyat.
“Oleh Menteri ESDM justru perubahan PP sebatas dikomunikasikan dengan pemilik tambang, tanpa menghiraukan pihak-pihak terkait, baik asosiasi, universitas dan bahkan Non-Government Organization (NGO) atas UU yang ada, berhak mengetahui keberadaan SDA,” kata Yusri.
Yusri menilai proses pengajuan RPP terlihat sebatas mengamodir kepentingan delapan konglomerat batu bara dari pada kepentingan nasional. Padahal delapan PKP2B generasi pertama, awalnya dimiliki BUMN juga, yaitu PN Batubara. Melalui Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi, IB Sujana, lahan tambang batu bara tersebut diambil alih dan dikerjasamakan dengan swasta asing dan swasta nasional.
Salah satu dari kedelapan pemilik PKP2B yaitu PT Tanito Harum yang kontraknya telah berakhir pada 15 Januari 2019, namun RPP ke-6 tak kunjung diteken Presiden Jokowi.
Menteri ESDM dan Dirjen Minerba dianggap justru terkesan panik dengan memaksakan perubahan PKP2B PT Tanito Harum menjadi IUPK pada tanggal 15 Januari2019 dengan menggunakan payung hukum lama dan kontroversial (pemerintahan SBY Budiono), yaitu Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2014.Padahal PP ini dinilai mengakibatkan merugikan negara, karena kewajiban divestasi awalnya 51% bagi pemegang Kontrak Karya kepada Pemerintah menjadi 30% untuk tambang dibawah permukaan (undergroundmining). Bahkan PP tersebut telah direvisi ke4 kalinya menjadi PP nomor 1 tahun 2017 yang telah dijadikan payung hukum oleh KESDM untuk merubah KK PT Freeport Indonesia menjadi IUPK agar tidak melanggar UU Minerba.
Untuk PKP2B yang semestinya akan berakhir di setelah dua tahun kedepan, semestinya Menteri ESDM dapat lebih mempersiapkan untuk kepentingan BUMN Pertambangan, namun justru pengajuan ijin perpanjangan yang seharusnya dapat diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak habis dan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya kontrak, justru oleh Menteri ESDM dalam RPP dapat diajukan lima tahun sebelum kontrak berakhir. Ini terlihat dengan jelas, bagaimana RPP dibuat sebatas untuk mengakomodir kepentingan pemilik PKP2B.
Yusri mengatakan, mengingat RPP No.23/2010 telah ditolak Presiden, seharusnya peristiwa itu semakin meyakinkan semua penyidik KPK bahwa perubahan dan perpanjangan izin dalam bentuk IUPK terhadap PT Tanito Harum adalah pelanggaran hukum.
“Adapun nilai kerugian negara sangat mudah dihitung, yaitu keuntungan yang harusnya bisa dinikmati oleh BUMN ternyata dinikmati oleh PT Tanito Harum, maka bisa jadi wajib hukumnya untuk dilakukan proses penyidikan untuk menentukan siapa tersangkanya,” tandas Yusri.(RA)
Tujuh perusahaan PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang sudah berakhir waktunya sebagai berikut:
1. PT Tanito Harum – 15 Januari 2019, seluas 35.757 Ha
2. PT Arutmin Indonesia – 02 November 2020, seluas 70.153 Ha
3. PT Adaro Indonesia – 30 September 2022, seluas 34.940 Ha
4. PT Kaltim Prima Coal – 31 Desember 2021, seluas 90.938 Ha
5. PT Multi Harapan Utama – 02 April 2022, seluas 46.063 Ha
6. PT Kideco Jaya Agung – 13 Maret 2023, seluas 50.921 Ha
7. PT Berau Coal pada – 26 April 2025, seluas 118.400 Ha
Kepada Kementerian ESDM,Dir Jend Minerba serta Pemerintah agar di pertimbangkan dan ditelaah juga bagi pemegang PKP2B yang akan habis masa berlakunya periode Januari 2019 – April 2025 ini akan dijadikan alasan bagi mereka untuk tidak melakukan kegiatan Reklamasi dan Pasca Tambang.Karena dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang nilainya tidak seberapa jika dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban tersebut…