JAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang menaungi 19 serikat pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero) mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan manajemen Pertamina. Menteri BUMN dan direksi Pertamina dinilai telah mengeluarkan keputusan sepihak yang bukan saja merugikan pekerja, tetapi juga melakukan peralihan aset dan keuangan negara yang dikelola Pertamina.

Gugatan perbuatan melawan hukum itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui pendaftaran online (e-court), Senin (20/7), Pukul 13.00 WIB. FSPPB menunjuk firma hukum Sihaloho & Co sebagai kuasa hukum.

Marcellus Hakeng Jayawibawa, Kepala Bidang Media FSPPB, mengatakan Menteri BUMN telah menerbitkan keputusan tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur jabatan, pengalihan tugas dan pengangkatan direksi Pertamina. Hal itu diikuti dengan Surat Keputusan Direktur Utama Pertamina yang ditandatangani Nicke Widyawati tentang struktur organisasi dasar Pertamina (Persero), yang ditandai dengan pembentukan lima subholding Pertamina.

Menurut Marcellus, sebagai perwakilan seluruh Serikat Pekerja di lingkungan Pertamina, FSPPB tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. “Padahal, penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan perubahan bentuk badan hukum perseroan terbatas wajib memperhatikan kepentingan karyawan, yang diwakili serikat pekerja, sebagaimana diatur hukum dan perundangan-undangan,” ujar Marcellus, Senin (20/7).

Dedi Ismanto, Pengurus Bidang Hubungan Industrial dan Hukum FSPPB, menjelaskan Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN dan Direktur Utama Pertamina tersebut tidak hanya merugikan pekerja karena jabatan, hak, kewajiban dan status kepegawaian yang berubah. Keputusan itu juga mengakibatkan peralihan keuangan dan aset-aset negara, yang sebelumnya dikuasai Pertamina (Persero) berubah kedudukannya menjadi dikuasai anak-anak perusahaan Pertamina (subholding).

“Dan yang sangat mengkhawatirkan adalah, anak-anak perusahaan Pertamina itu akan diprivatisasi atau denasionalisasi dalam waktu dekat ini,” kata Dedi.

Dedi menekankan, jika semua skenario Menteri BUMN dan direktur utama Pertamina itu berjalan, maka negara akan berbagi kekuasaan dengan swasta, termasuk investor asing, dalam seluruh rantai usaha Pertamina. Mulai dari hulu, pengolahan, distribusi dan pemasaran, hingga pasar keuangan. Dalam hal ini, kedaulatan energi nasional dipertaruhkan.

Janses Sihaloho, Kuasa Hukum FSPPB dari Firma Hukum Sihaloho & Co, mengatakan privatisasi subholding Pertamina jelas sangat berdampak bagi masyarakat luas. Penentuan harga BBM dan LPG misalnya, tidak lagi akan mempertimbangkan daya beli masyarakat luas.

“Karena status kepemilikannya sudah berubah, kebijakan tidak lagi murni ditentukan negara. Pasti akan dipengaruhi kepentingan pemegang saham lainnya, termasuk investor asing,” kata Janses.

Menurut Janses, proses privatisasi subholding Pertamina yang diawali dengan Keputusan Menteri BUMN dan Keputusan Direktur Utama Pertamina tentang struktur organisasi dasar Pertamina , ditengarai kuat memanfaatkan celah hukum pada pasal 77 UU BUMN. Pasal tersebut secara tegas melarang induk perusahaan BUMN (Perusahaan Persero) tertentu, termasuk Pertamina, untuk diprivatisasi.

Namun, terhadap anak perusahaan oersero BUMN, pasal itu memiliki makna ambigu dan multi tafsir sehingga membuka peluang untuk diprivatisasi. Karena itu, pada Rabu (15/7) lalu, FSPPB telah mengajukan uji materil terhadap Pasal 77 UU BUMN ke mahkamah Konstitusi.

FSPPB menghimbau, sekalipun Pasal 77 UU BUMN memiliki celah hukum, sudah seharusnya para pengambil keputusan di negara ini tidak memanfaatkannya untuk swastanisasi BUMN yang mengusai hajat hidup orang banyak. “Sudah seharusnya kita semua, apalagi pejabat negara, ikut menjaga kedaulatan energi nasional demi anak cucu. Bukan justru memanfaatkan celah-celah hukum demi kepentingan tertentu,” tandas Marcellus.(RA)