JAKARTA – Pemerintah telah mendeklarasikan percepatan pembangunan jaringan gas rumah tangga melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019. PT Perusahaan Gas Negara Tbk sebagai subholding BUMN gas menjadi badan usaha yang ditugaskan untuk membangun jargas.
Seiring penerbitan Perpres maka percepatan pembangunan jargas bisa diimplementasikan sehingga pada 2025 nanti terbangun sebanyak 4,7 juta sambungan jaringas gas rumah tangga, dibanding posisi akhir 2018 yang baru ada 400 ribu-an SR.
Gigih Prakoso, Direktur Utama PGN, mengatakan salah satu tantangan utama untuk membangun jargas dan mengejar target yang dipatok pemerintah adalah kebutuhan dana yang terbilang sangat besar.
“Total capex perkiraanya Rp12,5 triliun,” kata Gigih ditemui di Kementerian BUMN Jakarta, Selasa (12/2).
PGN sebagai subholding gas juga menaungi PT Pertamina Gas (Pertagas). Keduanya saat ini berada dibawah naungan PT Pertamina (Persero) sebagai holding BUMN migas.
Gigih menambahkan untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan jargas ada beberapa sumber dana, selain dari Anggaran Pendatapan Belanja Negara (APBN). Misalnya, dana internal badan usaha maupun kerja sama kemitraan PGN dengan badan usaha lainnya.
Saat ini PGN masih melakukan kajian studi mengenai wilayah mana saja yang akan dibangun jargas di luar wilayah yang sudah ditetapkan APBN 2019.
Setelah Perpres terbit, PGN memasang target bisa membangun paling tidak 800 ribuan sambungan rumah tangga (SR). Setelah kajian selesai maka PGN akan melaporkan usulan pembangunan jargas ke Kementerian ESDM.
“Sekitar 800 ribuan (jargas). Nanti kami tentukan titik-titiknya. Kami masih melakukan study basic engineering design. Nanti 800 ribu itu ada di mana saja, kami akan sampaikan ke Kementerian ESDM,” ungkap Gigih.
Dalam Perpres Nomor 6 terkait pembiayaan jargas diatur di ayat 2 berisi pengembangan jargas dapat dilakukan dengan menggunakan biaya pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan dana BUMN migas penerima penugasan.
Menurut Gigih, untuk bisa membangun jargas dan mengejar target pada tahun ini, PGN membutuhkan dana paling tidak sebesar Rp 300 miliar.
“Ya dihitung saja, dibagi Rp 12,5 triliun (untuk 4,7 juta SR). Jadi sekitar Rp 200 miliar – Rp 300 miliar (kebutuhan tahun ini),” ungkapnya.
Meskipun masih dalam kajian, agar bisa lebih dipercepat maka wilayah yang akan diprioritaskan untuk dibangun jargas adalah wilayah yang sudah tersedia fasilitas gas. “Sebagian besar sih kota-kota besar, kabupaten, kecamatan, dan provinsi. Yang sudah ada existing pipa lebih cepat, terutama yang punya sumber gasnya,” papar Gigih.
Hingga 2018, jumlah sambungan jaringan gas rumah tangga baru mencapai 463.619 SR. Jumlah tersebut telah meningkat dibanding 2014 yang baru sebanyak 200.000 SR.
Hingga 2018, jumlah sambungan jaringan gas rumah tangga baru mencapai 463.619 SR. Jumlah tersebut telah meningkat dibanding 2014 yang baru sebanyak 200.000Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan dengan menggunakan gas bumi yang berasal dari sumur migas dalam negeri sebagai bahan bakar rumah tangga, maka akan mengurangi impor LPG (Liquefied Petroleum Gas). Jika pembangunan jaringan gas semakin banyak, konsumsi LPG juga bisa makin ditekan. Konsumsi LPG tercatat sebesar 6,9 juta ton per tahun, sekitar 4,7 ton berasal dari impor.
“Sekarang kita impor (LPG) bisa 4,5 juta-4,7 juta ton per tahun, dari total kebutuhan enam juta sekian ton. Maka tergantung berapa banyak yang bisa dibangun jargasnya,” katanya.
Menurut Arcandra, harga gas bumi juga jauh lebih murah dibanding LPG. Dengan asumsi 1 MMSCFD bisa mengaliri gas ke 35 ribu-40 ribu rumah tangga, jika 1 MMBTU itu sekitar US$ 7-8 maka untuk 1 MMSCFD biayanya US$ 6 ribu. “Itu bisa untuk 35 ribu-40 ribu rumah,” tandas Arcandra.(RI)
Komentar Terbaru