JAKARTA – Rentetan kesaksian dalam persidangan terkini perkara bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) semakin mengungkap tabir bahwa proyek penananganan tanah tercemar limbah minyak itu, terlalu dipaksakan untuk menjadi kasus pidana. Kuat dugaan, Kejaksaan Agung (Kejakgung) terjebak keterangan ahli yang tidak jujur saat melakukan penyidikan.
Dugaan adanya ahli Kejakgung yang tidak jujur ini, tersirat dari keterangan Anggota Tim Pakar Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Suwarno, dalam persidangan kasus bioremediasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat, 31 Mei 2013 . Pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini dihadirkan sebagai saksi ahli untuk terdakwa Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Ketiganya adalah karyawan CPI.
Suwarno merupakan tim pakar pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) di KLH, yang selalu disertakan saat KLH melakukan verifikasi lapangan. Termasuk saat KLH melakukan pemeriksaan ke lapangan PT CPI pada Juli 2011. Suwarno mengaku, bulan itu ia bersama Tim KLH dua kali melakukan pemeriksaan ke lapangan CPI, untuk memastikan tanah sudah bersih.
Pada 9-10 April 2012, Suwarno diminta mendampingi Kejakgung untuk mengambil sampel tanah di lapangan CPI. Menurutnya, saat itu tim ahli dari Kejakgung tiga orang, dua diantaranya Edison Effendi dan Bambang Iswanto. Karena yang bertindak sebagai team leader Edison Effendi, maka sebelum mengambil sampel, Suwarno mengajak Edison berdiskusi dulu.
“Sesuai keilmuan yang saya dalami, saya katakan harus diambil composite sampling. Harus ditentukan dulu, mau diambil berapa?” terang Suwarno tentang diskusinya bersama Edison Effendi, sebelum mengambil sampel di lapangan CPI pada 9-10 April 2012. Selanjutnya, kata Suwarno, ia dan Edison sepakat mengambil sampel dari 5 titik.
Ia menambahkan, saat itu di stock pile (lapangan CPI) tanah berada dalam 2 kondisi yang berbeda. Pertama, tanah berwarna hitam yang menunjukkan kadar minyak tinggi. Itu berarti kadar Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) pada tanah tinggi. Kedua, tanah berwarna keputih-putihan, sebarannya 60-40. Karena sampel komposit diambil dari 5 titik, supaya seimbang maka harus diambil 40% dari tanah hitam, dan 60% dari tanah keputih-putihan.
“Namun di akhir pengambilan sampel, ada perbedaan pendapat antara saya dan Edison,” ungkapnya. Dimana pada awal disepakati diambil dari 5 titik untuk dijadikan 1 sampel komposit (yang hitam dan yang keputih-putihan dicampur). Namun saat mengemas sampel, Edison minta dipisah menjadi 2 sampel komposit. Suwarno mengaku memprotes Edison saat itu.
“Kalau memang dari awal mau dijadikan 2 sampel, mestinya diambil yang hitam 5 titik dan yang keputih-putihan 5 titik,” terangnya. Edison kemudian bertanya ke penyidik Kejakgung, karena menurut Edison wewenang pengambilan sampel ada di penyidik. Akhirnya, kata Suwarno, penyidik memutuskan pengemasan sampel sesuai dengan yang diinginkan Edison, yaitu dipisah menjadi 2 sampel.
Perdebatan di Minas
Suwarno menuturkan, perdebatannya dengan Edison dan penyidik Kejakgung itu, terjadi di stock pile Minas, Riau. Selain di Minas, sampel diambil juga di SBF, dan dari sumber tanah terkontaminasi yang belum diangkat. “Pengambilan sampel yang sesuai kesepakatan antara saya dan tim ahli Kejakgung hanya di 2 lokasi, yaitu di stock pile dan SBF. Kesepakatan mengambil sampel di 5 titik di spreading area tidak sesuai dengan prosedur,” jelas Suwarno.
Suwarno pun menceritakan, sampel yang diambil di spreading area juga sempat diprotes pakar bioremediasi dari Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Udiharto, karena tidak sesuai prosedur. Yang diambil bukanlah sampel komposit dari 5 titik, tapi hanya mengambil bongkahan hitam.
“Tapi saat itu jaksa menjawabnya: ini hanya untuk melihat saja, bukan untuk sampel seperti di stock pile dan SBF. Yang di spreading area tidak dibuat berita acaranya, sementara yang di stock pile, SBF, dan sumber tanah terkontaminasi dibuat berita acaranya,” tutur Suwarno di hadapan Majelis Hakim kasus bioremediasi yang diketuai Sudharmawati Ningsih.
Suwarno juga memaparkan, di lapangan CPI ada 3 lokasi yakni SLS, SLN, dan Duri. Yang dibioremediasi hanya yang light oil, yakni yang berada di SLS dan SLN. Tanah yang terkontaminasi diangkat dan ditimbun dulu di stock pile. Pada tahap ini belum dilakukan proses bioremediasi, karena proses ini baru terjadi di SBF.
Ia juga mengetahui, adanya rencana CPI untuk pembersihan tanah terkontaminasi yang sudah dipaparkan ke KLH. Rencana itu dipaparkan dalam rapat yang dihadiri CPI, KLH, dan tim pakar. Dalam perencanaan disebutkan lokasi, prediksi volume tanah yang akan dibersihkan, dan sebagainya. Laboratorium yang digunakan untuk uji sampel adalah laboratorium pihak ketiga, yaitu ALS. “Setiap rapat ada berita acaranya, disimpan oleh KLH dan CPI. Ada juga rapat evaluasi perencanaan yang pada tahap ini KLH belum melakukan verifikasi,” terangnya lagi.
Hakim sempat menanyakan, mengapa Suwarno keberatan saat Kejaksaan mengambil sampel di stock pile? Suwarno menjawab, ia keberatan karena sesuai kaidahnya, komposit dari 5 titik mestinya disatukan, namun oleh kejaksaan dipisah. “Di spreading area, sampel sama sekali bukan komposit, karena hanya ambil bongkahan, tidak sesuai dengan kaidah pengambilan sampel yang valid, jadi saya protes,” tukas Suwarno menjawab hakim.
Ia pun menjelaskan kembali bahwa sebelum pengambilan sampel, sudah didiskusikan dengan ahli kejaksaan (Edison) dan disepakati yang ambil satu komposit di 5 titik. “Kesepakatan untuk pengambilan itu dijalankan, tapi pembungkusannya tidak sesuai kaidah karena disatukan,” terangnya lagi.
Menurutnya, Kepmen 128/2003 juga mengatur mengenai pengambilan sampel di SBF, yakni kaidah pengambilan sampel di stock pile harus mengikuti kaidah pengambilan di SBF. “Pembungkusan sampel juga ada tata caranya,” tandas Suwarno.
Sampel Kadaluarsa
Suwarno pun mengaku, diundang kembali saat pembukaan sampel pertama di Pusarpedal (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan) milik KLH, dan pembukaan sampel kedua di kantor Kejakgung. Saat di Pusarpedal, Kepala Pusarpedal menyampaikan kepada CPI dan Kejaksaan bahwa Pusarpedal belum bisa menganalisis parameter TPH dan BTEX. Yang bisa dilakukan hanya analisis PH, total logam, dan TCLP yang bisa dilakukan di sana.
Pusarpedal juga menyampaikan, ada ketentuan dan prosedur untuk analisis TPH, yaitu masa simpan sampel untuk TPH hanya 7 hari, dan sampel harus disimpan pada suhu 2-6 derajat. Sedangkan untuk analisis BTEX masa simpannya 14 hari, dengan ketentuan penyimpanan sama, di suhu 2-6 derajat. Sehingga ada dugaan, Pusparpedal tidak bisa mengalisis karena sampel kadaluarsa.
Suwarno mengaku, saat itu memang tidak berdiskusi dengan Edison, karena ia dihadirkan hanya untuk melihat. Suwarno pun mengatahui, sampel baru dibawa ke Pusparpedal dan dibuka pada 13 Juni 2012, padahal sampel sudah diambil sudah lebih dari 2 bulan sebelumnya, yakni pada 9-10 April 2012.
Karena Pusarpedal tidak bisa menganalisis, maka seminggu kemudian sampel itu dibawa untuk dianalisis di laboratorium Kejakgung. Suwarno sempat melihat ruangan laboratorium Kejakgung dari luar. Laboratorium sempat dibuka, tapi ia dan pihak-pihak yang lain tidak boleh masuk, hanya boleh melihat dari depan pintu.
“Setahu saya yang ada di Kejakgung itu sebenarnya bukan lab (laboratorium, red) tetapi ruangan yang diisi alat-alat. Sangat berbeda dengan lab yang biasa kami gunakan untuk analisis sampel tanah,” terangnya.
Dengan segala keterangan dan kesaksiannya itu, di hadapan majelis hakim kasus bioremediasi, Suwarno menegaskan sesuai ilmu tanah yang didalaminya, pengambilan sampel oleh penyidik dan ahli dari kejakgung, tidak sesuai dengan kaidah yang ada, sehingga data yang dihasilkan tidak valid.
Hakim sempat bertanya, dasar apa yang digunakan Suwarno menegaskan hal tersebut? “Menggunakan dasar referensi Soil Sampling Preparation and Analysis Prof. Kim Tan,” jawab Suwarno kepada hakim.
Keterangan Tidak Jujur
Terkait hal ini, penasehat hukum CPI, Maqdir Ismail menilai bahwa Kejakgung telah terjebak dengan ahli yang tidak jujur dalam menyidik kasus bioremediasi. “Proses pengadaan yang semula dilaporkan bermasalah tidak lagi dibahas dalam penyidikan dan persidangan, karena ternyata Kejakgung lebih menekankan kepada aspek teknis dan procedural, dari pelaksanaan teknologi bioremediasi yang diarahkan oleh ahli Edison Effendi,” ungkap Maqdir saat dihubungi pada Ahad, 2 Juni 2013.
“Ini dilema. Sejak awal Kejakgung mempercayai dan mengikuti arahan Edison Effendi sebagai pihak yang dinilai Kejagung memiliki keahlian dibidang bioremediasi. Ternyata di persidangan, hampir semua keterangan ahli bernama Edison ini, tidak berdasarkan peraturan di Indonesia dan kaidah-kaidah keilmiahan yang dipegang para ahli bioremediasi,” tambahnya.
Maqdir pun menerangkan, sudah menjadi fakta persidangan bahwa Edison Effendi adalah pihak yang pernah ikut tender proyek bioremedesiasi di CPI pada 2007 dan 2011, namun gagal atau kalah tender. Edison sempat menyangkal fakta itu, namun setelah semua dokumen keikutsertaannya dalam tender bioremediasi CPI diungkap di persidangan, ia pun akhirnya mengaku.
Maqdir kembali mengungkapkan, keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP) Edison juga tidak benar. Di BAP Edison sempat mengaku lulus sarjana dari ITB, namun ternyata tidak benar. Selain itu, isi BAP Edison Effendi, Prayitno dan Bambang Iswanto, sebagai ahli, seluruh kalimat dan kata-kata hingga titik-komanya sama persis. “Mana mungkin ada BAP yang mirip copy paste begitu?,” tukasnya.
“Selain itu, keterangan yang dimuat dalam dakwaan soal batas TPH 7,5% – 15% oleh jaksa, berasal dari keterangan Edison. Bukan petikan dari Kepmen LH 128/2003, sehingga akhirnya menyesatkan. Kepmen LH 128/2003 hanya memuat keterangan bahwa, TPH maksimal adalah 15% untuk limbah tanah yang boleh diolah dengan bioremediasi, dan TPH 1% ke bawah dianggap aman buat lingkungan,” ujar Maqdir.
“Mengingat berbagai keterangan yang disampaikan oleh ahli yang ditunjuk Kejakgung ternyata bernuansa kebohongan, sementara pihak-pihak yang berwenang menentukan pelanggaran seperti KLH dan SKK Migas telah menilai proyek bioremediasi ini taat hukum, maka kejaksaan dan pengadilan seharusnya bisa mengambil sikap yang bijak dan tegas, untuk mengembalikan penanganan kasus ini secara obyektif dan adil sesuai fakta-fakta persidangan,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru