JAKARTA – Percepatan transisi ke energi terbarukan menjadi kunci agar Indonesia dapat swasembada energi, seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya saat dilantik. Sebaliknya, ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang akan terus turun produksinya, justru mengancam cita-cita tersebut. Karenanya, Presiden Prabowo perlu menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendorong transisi energi dan tidak melupakan investasi energi terbarukan.

Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute (ESI), menegaskan, transisi energi menjadi krusial dengan target pertumbuhan ekonomi hingga 8% yang telah ditetapkan oleh Presiden Prabowo. Hal ini mengingat, energi merupakan fondasi bagi pertumbuhan di sektor ekonomi mana pun, dan di sisi lain, perusahaan global semakin menuntut tersedianya energi bersih di negara tujuan investasi mereka.

“Transisi energi adalah perkara daya saing Indonesia di level global, perkara daya saing menarik investasi industri berkualitas dan menciptakan lapangan kerja. Karenanya, transisi energi lebih luas dari perihal terkait PT PLN (Persero), pemerintah lah yang harus berhitung untung rugi ekonomi bila tidak memiliki suplai energi bersih,” kata Putra dalam sesi diskusi yang digelar CERAH, Jumat (25/10).

Para pelaku usaha atau investor asing yang pasti akan melihat dulu kebijakan transisi energi Indonesia karena cepat atau lambat hal itu harus dilakukan para pelaku usaha sebagai tuntutan masyarakat dunia. “Investor sekarang ini pasti punya program transisi energi ke energi hijau yang menekan emisi, karena itu juga jadi tuntutan masyarakat dunia,” ujar Putra.

Dia juga menekankan pentingnya perencanaan yang matang di sektor energi untuk mendorong pembangunan, sekaligus menghindari beban jangka panjang. Dalam hal ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo perlu mendorong Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih presisi dan dapat dijadikan patokan oleh investor. Pemerintah juga perlu memberikan kejelasan regulasi, utamanya adalah undang-undang terkait energi terbarukan.

“Pengalaman selama ini menunjukkan kalau Permen (peraturan menteri) saja tidak cukup, Perpres (peraturan presiden) saja tidak bisa jalan, jadi perlu ada kejelasan terkait undang-undang energi terbarukan,” tegas Putra.

Anissa Suharsono, Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), menyatakan bahwa sektor energi Indonesia berkaitan erat dengan politik dan kepentingan energi fosil. Karenanya, transisi ke sistem energi yang lebih bersih membutuhkan perubahan fundamental pada kebijakan energi Indonesia, yang hanya dapat dicapai dengan kemauan politik yang kuat. Presiden Prabowo memiliki pondasi kuat di awal kepemimpinannya untuk menjalankan aksi yang dibutuhkan, salah satunya reformasi subsidi energi.

“Transisi energi tidak akan dapat direalisasikan tanpa pemerintah mengatasi berbagai hambatan terhadap perkembangan energi terbarukan, seperti ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), tarif energi terbarukan, dan subsidi energi fosil yang merugikan energi terbarukan. Iklim investasi yang stabil hanya dapat terbentuk jika pemerintah memiliki peta jalan yang jelas dan mengikat secara hukum, seperti yang telah diidentifikasi dalam dokumen CIPP JETP,” jelas Anissa.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2023, Indonesia mengimpor minyak mentah hingga 132,39 juta barel. Tak hanya itu, Indonesia juga mengimpor produksi jadi olahan minyak sampai 26,89 juta kiloliter (KL) dan LPG 6,95 juta ton. Bahkan, pada tahun yang sama, Indonesia juga mengimpor batu bara walau dalam volume kecil, yakni 14,46 juta ton.

Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan Indonesia masih lambat. Pada 2023, bauran energi terbarukan nasional baru mencapai 13,1%, jauh dari target 25% pada 2025. Namun, bukannya menyusun strategi untuk menggenjot energi terbarukan, pemerintah justru berencana menurunkan target baurannya menjadi 17-19% pada 2025.