JAKARTA – Pemerintah dianggap telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Selain itu, kebijakan terbaru pemerintah juga bertentangan dengan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan pada 2009.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menegaskan pemerintah secara nyata tidak tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat.
“Kami mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat,” kata Maryati, Selasa(17/1).
Presiden Jokowi diminta mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Termasuk juga memerintahkan Menteri ESDM untuk mencabut Peraturan Menteri (Permen) ESDM 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM 6/2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
“Ketiga beleid yang diterbitkan pada tanggal 11 Januari 2017 tersebut, memberikan jalan bagi pemerintah untuk memberikan izin ekspor nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah, yaitu nikel berkadar di bawah 1,7 persen dan bauksit yang telah dilakukan pencucian, keduanya dapat dikategorikan sebagai bahan mentah,” ungkap Maryati.
Dia menambahkan, beleid tersebut memberi peluang perubahan status perusahaan tambang dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), tanpa melalui proses yang telah ditetapkan UU Minerba. Selain itu, beleid tersebut juga memberikan kelonggaran bagi IUPK untuk melakukan ekspor konsentrat hingga lima tahun ke depan.
Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP menjelaskan, pemberian relaksasi ekspor konsentrat selama lima tahun ke depan, menjadikan total tiga belas tahun waktu yang diberikan kepada pengusaha tambang untuk membangun industri hilir sejak UU Minerba disahkan. Rangkaian relaksasi ini melengkapi daftar inkonsistensi pemerintah terkait kebijakan hilirisasi sejak terbitnya Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2013, Permen ESDM No 1 Tahun 2014, Permen ESDM No 5 tahun 2016 sampai dengan terbitnya Permen ESDM terbaru.
Kendati pemerintah melakukan pembatasan minimum dari hasil pengolahan dan pemurnian, serta mensyaratkan adanya ketentuan-ketentuan bagi pengurusan izin ekspor misalnya kewajiban pembangunan smelter. Hal tersebut sebenarnya telah dilakukan sebelumnya, hanya saja, fakta sejak 2014 belum ada perkembangan signifikan, karena pemerintah terus menerus melakukan pelonggaran.
Dari sekitar 6.541 IUP Mineral, sebanyak 4.019 di antaranya merupakan IUP Operasi Produksi, hanya 26 smelter yang siap beroperasi.
“Kami menduga, ini adalah upaya ‘cuci tangan’ pemerintah atas kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat UU Minerba khususnya terkait hilirisasi,” tandas Aryanto.(RA)
Komentar Terbaru