KINERJA PT Pertamina (Persero) keuangan pada semester I 2018 diproyeksikan “terjun bebas” dan tak secemerlang periode sama pada tahun-tahun sebelumnya. Kendati kinerja sektor hulu tampil cukup cemerlang, dengan indikator produksi yang terus meningkat, tak diikuti oleh kinerja yang cemerlang di sektor hilir. Maklum, dari sektor hilir Pertamina terkena beban untuk mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) Penugasan dari pemerintah. Dengan jargon “BBM Satu Harga” di wilayah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal), Pertamina selaku BUMN diperintahkan untuk mendistribusikan solar dan premium yang masuk kategori 3T, dari Sabang hingga Merauke.
Di luar itu, Pertamina juga mesti mendanai berbagai proyek hulu agar produksi minyak dan gas tetap kontinu, dan bahkan meninggkat. Ini belum termasuk anggaran dalam pengelolaan blok migas habis kontrak. Belum juga termasuk di sana rencana pengembangan megaproyek kilang di beberapa tempat di Tanah Air.
Persoalan Pertamina kian kompleks saat pemerintah hingga kini belum juga menetapkan direktur utama definitif perusahaan. Padahal, peran dirut sangat sentral dalam pengambilan keputusan strategis terkait kelangsungan dan masa depan perusahaan. Apalagi, manajemen dan direksi Pertamina kini juga menghadapi sejumlah persoalan yang tak kalah pelik: masalah pengisian pos dirut dan anggota BOD anak usaha, masalah pelepasan PT Pertamina Gas (Petagas) yang akan diakuisisi oleh PT Perusahaan Gas Tbk (PGAS), dan lainnya.
Di tengah permasalahan tersebut, tetiba muncul pemberitaan di media massa terkait surat Menteri BUMN Rini M Soemarno tertanggal 29 Juni 2019. Surat kepada direksi Pertamina itu merespons surat sebelumnya yang dikirimkan manajemen perusahaan terkait permintaan persetujuan prinsip aksi korporasi untuk mempertahankan kondisi kesehatan keuangan Pertamina.
Untuk mengetahui bagaimana persoalan Pertamina terkait surat kepada Menteri BUMN tersebut, Dunia-Energi mewawancarai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pada Sabtu (21/7) malam. Komaidi memiliki pemahaman cukup mendalam soal kebijakan energi di Indonesia dan sangat intens menelaah bisnis Pertamina. Apalagi, yang bersangkutan tengah merampungkan disertasi bertitel Simulasi Kebijakan Harga Energi yang Optimal untuk Perekonomian Indonesia. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda menilai surat Menteri BUMN tanggal 29 Juni 2019 kepada Direksi Pertamina tentang Persetujuan Prinsip Aksi Korporasi untuk Mempertahankan Kondisi Kesehatan Keuangan PT Pertamina (Persero)?
Jika ditinjau dari aspek bisnis, surat tersebut pada dasarnya merupakan hal yang biasa. Seluruh aksi korporasi lazimnya memang meminta persetujuan pemegang saham. Dalam hal ini kebetulan pemegang saham Pertamina adalah Pemerintah (cq Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral). Substansi surat sebenarnya juga menyangkut keputusan bisnis biasa. Hanya saja kata-kata dijudul yang ada mempertahankan kesehatan keuangan itu yang saya kira menjadi sumber surat ini terlihat sensitif.
Surat itu respons Menteri BUMN atas surat yang dikirimkan oleh direksi Pertamina menyoal masalah krisis finansial yang dihadapi perusahaan. Mengapa direksi Pertamina sampai pada putusan untuk melakukan pelepasan aset strategis dengan share down atau pelibatan mitra strategis?
Sebagaimana telah sama-sama kita ketahui, dalam RKAP Pertamina telah ditetapkan akan dilaksanakan sejumlah ekspansi bisnis, salah satunya pengembangan sejumlah infrastruktur migas melalui pelaksanaan “megaproyek “yang memerlukan anggaran hingga mencapai kisaran Rp700 triliun. Sementara Pertamina juga harus kehilangan potensial profit dari bisnis BBM (premium dan solar) ditambah dari bisnis LPG. Pada saat yang sama Pertamina juga memerlukan operating cost untuk blok-blok terminasi yang diamanahkan kepadanya, terutama Blok Mahakam yang nilainya tentu tidak kecil. Saya melihatnya share down atau kebijakan lain yang melibatkan mitra strategis lain pada dasarnya dapat dilihat sebagai aksi korporasi biasa dan upaya meminimalkan risiko bisnis . Artinya investasi tidak terfokus hanya untuk satu segmen bisnis, tetapi juga menjangkau banyak segmen sehingga risiko dan keuntungan yang akan diterima juga lebih terdistribusi.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute. (foto: Tatan A Rustandi/Dunia-Energi)
Dalam suratnya kepada direksi Pertamina, Menteri Rini menyetujui secara prinsip rencana direksi untuk melakukan tindakan dalam rangka mempertahankan dan menyelamatkan keuangan perseroan. Apakah Anda setuju dengan sikap Menteri Rini menyangkut share down aset hulu secara selektif dengan tetap menjaga pengendalian Pertamina untuk aset-aset strategis?
Saya tidak dalam kapasitas memberikan persetujuan atau melakukan penolakan dalam hal ini. Sebagai gambaran, hampir sebagian besar kegiatan hulu migas di seluruh dunia tidak dilakukan secara mandiri. Untuk contoh kasus Indonesia misalnya, perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di kegiatan usaha hulu migas juga tidak mengerjakan wilayah kerja tersebut secara mandiri. Sebagai contoh pengelolaan Blok Mahakam sebelumnya, sebagai operatornya Total juga memerlukan mitra strategis yang lain.
Soal spin off Unit Bisnis RU IV Cilacap dan Unit Bisnis RU V Balikpapan ke anak usaha dan potensi farm-in mitra di anak usaha itu yang sejalan dengan rencana RDMP?
Hal yang perlu diperhatikan dan dijaga dalam hal ini adalah kepemilikan share agar Pertamina tetap mayoritas. Bagaimanapun ini menyangkut produk yang menguasai hajat hidup masyarakat luas sehingga negara dalam hal ini BUMN (Pertamina) harus tetap menguasai kepemilihakan agar arah kebijakan tetap dapat dikendalikan.
Terkait investasi tambahan untuk memperluas jaringan untuk menjual BBM unum dengan harga keekonomian seperti penjualan lewat Pertashop, bagaimana Anda melihatnya?
Saya kira hal tersebut hal yang biasa. Ke depan Pertamina perlu memperluas infrastruktur untuk BBM Umum. Semakin meningkatnya daya beli masyarakat, porsi BBM Umum (nonsubsidi dan penugasan) saya kira memang akan semakin meningkat. Dari aspek bisnis, peningkatan volume penjualan BBM Umum juga akan semakin bagus baik bagi keuangan Pertamina maupun APBN.
Menteri BUMN dalam suratnya juga meminta direksi Pertamina untuk meninjau ulang kebijakan perusahaan yang dapat berdampak keuangan secara signifikan dengan tidak mengurangi esensi dari tujuan awal. Bagaimana pendapat Anda?
Saya kira maksud dari poin ini adalah perlu adanya peninjauan ulang rencana kebijakan dengan berbagai perkembangan yang ada. Dalam hal ini pada dasarnya dapat dimengerti karena hal yang lazim jika kemudian perusahaan melakukan penyesuaian kebijakan untuk merespons kondisi eksisting yang tidak sesuai dengan perencaaan awal. Rencana awal tetap diupayakan untuk dicapai, tentu dengan sejumlah penyesuaian baik di dalam alokasi anggaran investasi maupun di dalam target penyelesaiannya. Hal ini terjadi mengingat banyak kebijakan yang diberlakukan kepada Pertamina yang mana kebijakan-kebijakan tersebut sebelumnya tidak masuk dalam pertimbangan/asumsi dalam penyusunan RKAP Perusahaan. Sebagai contoh penugasan untuk pelaksanaan distribusi BBM satu harga.
Muara dari persoalan Pertamina sebenarnya adalah kebijakan penetpaan BBM satu harga yang berimbas pada beban keuangan Pertamina yang meningkat karena ada biaya distribusi.
Mengapa pemerintah tidak segera mengembalikan piutang Pertamina dari biaya distribusi BBM (Premium dan Solar)?
Saya sepakat dalam hal ini. Pangkal persoalan adalah terletak pada kebijakan pengelolaan BBM subsidi/penugasan yang tidak disiplin. Kebijakan pengelolaan BBM subsidi/penugasan yang semestinya menjadi domain APBN digeser atau dibebankan pada keuangan BUMN. Kebijakan ini secara disiplin administrasi sebenarnya sudah bermasalah. Karena pangkalnya dari ketidakdisiplinan dalam memilah mana administrasi pemerintah dan mana administrasi usaha, penyelesaiannya menjadi semakin kompleks.
Selain persoalan keuangan, masalah lain dari Pertamina adalah soal belum ditunjuknya dirut definitif. Bukankah ini berpengaruh pada pengambilan kebijakan, termasuk soal keuangan?
Saya sepakat bahwa pemerintah harus segera memutuskan/menunjuk direktur utama definitif untuk Pertamina. Bagaimanapun ada keterbatasan bagi pelaksana tugas (PLT) untuk mengambil kebijakan, terutama kebijakan-kebijakan strategis. Sementara dalam perkembangan yang ada, sudah harus banyak keputusan strategis yang harus segera diambil oleh manajemen Pertamina.
Sejumlah nama disebut-sebut sudah masuk ke meja Presiden dan menunggu penetapan. Menurut Anda, figur dirut Pertamina seperti apa yang bisa mengangkat Pertamina agar kinerja perusahaan bisa bagus seperti era Karen Agustiawan maupun Dwi Soetjipto?
Prasyarat untuk menjadi dirut Pertamina saya kira tidak sederhana. Tidak hanya memerlukan figur yang menguasasi aspek teknis dan bisnis energi, tetapi juga harus paham dan dapat diterima secara politik.
Menurut Anda, apa kendala kendala terbesar direksi dan manajemen Pertamina dalam meningkatkan kinerja? Kinerja sektor hulu Pertamina kan sangat positif, yang bermasalah justru di sektor hilir.
Benar, masalah utama Pertamina adalah dalam bisnis hilir. Sampai saat ini tupoksi Pertamina di masa lalu yang merangkap sebagai agen pembangunan masih belum dapat lepas sepenuhnya. Sementara di sisi lain, dengan menjadi Persero Pertamina juga harus mencari untung. Ibarat kepala sudah dilepas, tetapi kaki masih dipegang cukup kuat sehingga gerak Pertamina untuk dapat lari dan tumbuh lebih cepat cukup terganggu.
Bagaimana Anda menilai aksi serikat pekerja Pertamina yang meminta pemerintah untuk komitmen terhadap pengembangan BUMN dan jangan jadikan BUMN sebagai pencitraan pihak tertentu?
Saya kira aspirasi rekan-rekan/karayawan Pertamina adalah hal lumrah. Ada kalanya saluran komunikasi yang dinilai sudah tidak berjalan normal perlu dilakukan dengan cara-cara semacam itu. Saya kira dengan adanya aksi tersebut akan mendorong keduabelah pihak untuk lebih saling memahami konsen satu sama lain. Kadang-kadang terdapat tujuan baik, tetapi karena tidak ada komunikasi yang baik tujuan baik tersebut tidak diketahui oleh pihak yang lainnya.Semoga dengan adanya aksi tersebut, pemerintah lebih tahu dan memahami apa yang sebenarnya diharapkan oleh karyawan Pertamina khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya. Bahwa muara utama dari pengelolaan BUMN (Pertamina) adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut tentu Pertamina harus dikelalola dengan baik dan benar. (DR)
Komentar Terbaru