JAKARTA – Indonesia akan menjadi net importir gas pada 2027 dan net importir batu bara pada 2046, jika tidak ada upaya signifikan untuk menemukan cadangan baru. Serta mengurangi pola konsumsi gas dan batu bara, mengurangi ekspor dan terutama meningkatkan secara signifikan peran energi terbarukan. Di sisi lain, waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan energi terbarukan tergolong lama.
“Misalnya, PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) butuh 3-10 tahun, PLTA (pembangkit listrik tenaga air) butuh delapan tahun,” kata Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) di Jakarta, belum lama ini
Penyediaan energi di daerah terluar, pedalaman menjadi sangat menantang pada saat mengandalkan energi fosil mengingat biaya transportasi yang mahal. Sementara daerah tersebut memiliki potensi untuk energi terbarukan.
Potensi energi terbarukan cukup besar dan tersebar di seluruh Indonesia. Tren global saat ini, harga teknologi energi terbarukan semakin murah, khususnya Solar PV dan angin. Selain itu, semakin banyak perusahaan multinasional yang mewajibkan penggunaan energi terbarukan.
Peluang pengembangan energi terbarukan cukup besar mengingat ada pembatasan ekspor untuk barang dengan emisi produk tinggi.
“Dana untuk investasi energi terbarukan di tingkat internasional banyak tersedia apabila regulasi dan business process mendukung. Disisi lain, dana untuk investasi PLTU batu bara semakin sedikit,” ungkap Surya.
Faktanya, di Indonesia energi terbarukan yang terpasang adalah 9,32 gigawatt (GW) (Target Tahun 2025: 45 GW). Sementara, total installed capacity listrik nasional saat ini adalah 63 GW. Potensi energi terbarukan diseluruh Indonesia adalah 443 GW. Sebesar 91% energi yang digunakan adalah berasal dari fosil, baik produksi dalam negeri maupun impor. Tentunya, ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian.
Menurut Surya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan antara lain volatilitas harga energi global dan dampaknya terhadap APBN, politisasi kebijakan energi dan politik energi terbarukan yang tidak jelas (banyak dibicarakan pada saat harga fosil tinggi), sfigma bahwa energi terbarukan mahal dan fosil murah, kualitas regulasi (tidak efektif, tidak konsisten, bersifat jangka pendek dan terlalu sering berganti, seperti penentuan tarif, BOOT, pemilihan langsung.
Di samping itu, ada pula business process dalam pengembangan energi terbarukan yang tidak transparan dan jangka waktu yang kurang jelas, termasuk bankable kontrak antara pengembang dan PT PLN (Persero), pembiayaan proyek energi terbarukan menggunakan dana murah, serta level playing field antara fosil dan energi terbarukan, termasuk dalam hal penyediaan subsidi.
“Kunci sukses pengembangan energi terbarukan adalah keberpihakan yang ditunjukkan dengan kebijakan yang sesuai, termasuk pricing policy, regulasi yang jelas transparan, stabil, konsisten,” kata Surya.
Pengembangan energi terbarukan juga akan sukses dengan adanya business process yang transparan dan fair level playing field, termasuk pembagian risiko yang seimbang. Selain itu, tersedia pula dana jangka panjang untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, serta adanya dukungan lembaga pembiayaan
Surya memberikan sejumlah rekomendasi dalam pengembangan energi terbarukan, antara lain perlunya strong leader commitment, penerbitan UU energi terbarukan dan peraturan untuk implementasinya, penetapan kebijakan jangka panjang dengan implementasi secara konsisten termasuk pricing policy sebagaimana diamanatkan di UU 30/2007, penetapan RUPTL berbasis RUEN, pembentukan institusi baru atau penguatan institusi yang ada untuk menangani implementasi energi terbarukan, penyediaan dana khusus pengembangan energi terbarukan yang akan digunakan untuk membiayai investasi, risk sharing, kompensasi PLN/Pertamina, insentif, litbang.
“Diperlukan penetapan business process yang fair dan transparan, termasuk PJBL yang bankable dan balanced risk sharing,” tandas Surya.(RA)
Komentar Terbaru