JAKARTA – Vonis bersalah yang diberikan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dikhawatirkan akan merembet ke dunia usaha minyak dan gas bumi (migas) sektor hulu secara keseluruhan.
Sammy Hamzah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan bagi Pertamina adanya kasus ini tentu pukulan telak karena bukan tidak mungkin manajemen Pertamina, terutama direksi akan sangat hati-hati dalam mengambil keputusan investasi seperti akuisisi aset misalnya.
“Sudah pasti para eksekutif, khususnya BUMN (Pertamina) akan sangat hati-hati atau bahkan mungkin tidak mau ambil keputusan,” kata Sammy saat dihubungi Dunia Energi, Kamis (13/6).
Menurut Sammy, kekhawatiran pelaku usaha adalah bahwa kasus serupa seperti yang dialami Karen bisa saja menimpa sektor swasta dengan skema yang juga sama. Padahal sektor hulu migas di Indonesia merupakan merupakan usaha patungan bagi hasil antara pemerintah dan swasta. Belum lagi rezim cost recovery juga masih diberlakukan di berbagai kontrak blok migas dengan kontribusi besar bagi produksi migas nasional.
Apabila keuangan negara sudah diklaim atau dinyatakan dikorbankan hingga dirugikan atas aktifitas usaha, maka akan sangat sulit penyelesaiannya untuk mencapai titik temu karena pembahasan definisi kerugian negara tidak ada ujungnya.
“Di Indonesia kan bagi hasil, sekarang BUMN (Pertamina) tapi kalau sampai merembet ke usaha patungan swasta dimasukan ke ranah pidana sudah kacau, kalau sampai kejadian itu dunia usaha (hulu migas) akan stop,” ujar Sammy.
Untuk kasus Karen, lanjut Sammy seharusnya aparat hukum dan pemerintah melihat dari sisi sifat alami bisnis hulu migas yang memang sarat akan risiko tinggi karena memerlukan dana serta teknologi tinggi. Tidak perlu sampai harus ambil alih lapangan migas untuk sekedar melakukan pengeboran saja risiko usahanya sudah sangat tinggi karena minyak yang masih did permukaan tanah belum bisa dibuktikan jumlahnya meskipun telah menggunakan teknologi paling canggih sekalipun.
Aktifitas eksplorasi tentu akan terdampak jika benar-benar terjadi maka ini bertolak belakang dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan produksi dengan meningkatkan cadangan. Sementara untuk meningkatkan cadangan harus dilakukan eksplorasi.
“Jadi walaupun cadangan terbukti ada 1 barel minyak dalam tanah, itu belum 100% pasti. Risiko tidak adanya minyak masih ada. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar bagi dunia usaha. Dunia hulu migas sangat tidak bisa diprediksi, karena itu makanya harusnya pemerintah dan aparat hukum mempertimbangkan hal itu karena apakah kita ingin membubuh usaha hulu migas?” ungkap Sammy.
Hadi Ismoyo, Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) mengaku prihatin dengan terus bergulirnya kasus Karen dan berujung dengan jatuhnya vonis bersalah. Hal itu merupakan pukulan telak terhadap industri hulu migas Indonesia.
Aktifitas eksplorasi akan sangat terdampak dengan kasus Karen ini karena sifat eksplorasi yang tidak bisa memberikan 100% discovery atau temuan. Hadi menilai para profesional migas, termasuk yang bekerja di Pertamina tentu akan langsung cenderung ambil posisi aman dari pada berurusan ke ranah kriminal.
Pertamina adalah pihak paling dirugikan jika kondisi ini benar-benar terjadi, lantaran posisi sebagai BUMN tentu Pertamina dianggap menggunakan uang negara dalam mengelola suatu blok migas. Eksplorasi Pertamina akan sangat berdampak menjadi stagnan. Manajemen Pertamina cenderung slowdown dan main aman.
“Para profesional migas tentu dalam posisi dilematis. Disisi lain diminta world class, growth seperti Petronas, namun tidak didukung oleh perundangan yang memadai melindungi para praktisi migas berkiprah sesuai layaknya industri migas,” kata Hadi.
Tidak hanya dirasakan langsung oleh Pertamina, namun juga perusahaan asing seperti Chevron. “Sepanjang dia melakukan eksplorasi dalam blok migas produksi,” tukasnya.
Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang yang notabena perwakilan pemerintah pemilik saham Pertamina menyatakan akan berbenah.
Evaluasi Tata Kelola
Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, mengatakan dengan adanya masalah yang menimpa mantan direksi Pertamina membuat Kementerian BUMN melakukan evaluasi tata kelola perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG). “GCG nya dibenerin. Aturan dibenerin. Ini sudah mulai, dari pengadaan. Jadi tanpa mengurangi transparasi dan lain-lain,” kata Fajar.
Dia menuturkan akan ada aturan serta tata kelola baru yang terpisah antara pengadaan barang atau jasa dengan pemilihan partner dalam usaha. Ini menurut Fajar yang tidak ada dalam aturan main lama. Proses penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) sudah mulai disusun sejak awal tahun ini.
“Ini sudah dimulai. Pengadaan dan mencari mitra harus dipisahkan SOP-nya. Ini sedang dievaluasi. tadinya tidak dipisah begitu,” ujar Fajar.
Karen ditetapkan bersalah oleh majelis hakim dalam kasus akuisisi 10% hak partisipasi Blok BMG di Australia pada 2009 dari Roc Oil Company Limited (ROC).
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase – BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Seiring akuisisi tersebut, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari (bph).
Namun ternyata Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasan blok tidak ekonomis jika diteruskan produksi. Investasi tersebut dianggap Kejaksaan Agung telah merugikan negara.
Mantan Dirut Utama Pertamina era 2009-2013 itu akhirnnya divonis hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Salah satu poin utama yang memberatkan Karen dalam kasus ini adalah lantaran Karen dianggap memutuskan akuisisi tanpa persetujuan dari komisaris Pertamina.
Namun dalam persidangan, Umar Said, mantan dewan komisaris yang mengaku tidak menyetujui keputusan akuisisi tersebut menyatakan bahwa proses akuisisi BMG dimaksudkan sebagai latihan Sumber Daya Manusia (SDM) di Pertamina ikut lelang internasional.
Menurut Fajar salah satu fungsi komisaris memang salah satunya memberikan persetujuan terhadap beberapa aksi korporasi. Namun itu bisa dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sehingga aksi korporasinya sudah tentu diketahui dan mendapatkan persetujuan komisaris dan para pemegang saham.
“Fungsi komisaris itu kan pengawasan, memberikan persetujuan dan nasehat. Tapi kalau dalam Pertamina, semua investasi itu tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP). Disetujui dalam RUPS. Pelaksanaanya diserahkan kepada diireksi dan komisaris. Yang perlu persetujuan komisaris baru terbuka. Kalau ada batas tertentu perlu persetujuan komisaris,” kata Fajar.(RI)
Komentar Terbaru