JAKARTA – Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) dinilai oleh penasehat hukum terdakwa kasus proyek bioremediasi, Ricksy Prematuri, bermasalah. Najib Ali Gisymar, kuasa hukum Ricksy menilai putusan hakim MA terhadap kliennya sama sekali tidak memperhatikan berbagai persoalan dan kejanggalan proses hukum yang telah dilakukan pada pengadilan di bawahnya.
“Jangankan diperberat hukumannya, biar dihukum satu hari saja, tim penasehat hukum akan menyarankan agar Ricksy mengajukan Peninjauan Kembali (PK) karena kami sejak awal yakin bahwa dia tidak melakukan tindak pidana apapun,” tegas Najib pada Selasa, 18 Februari 2014
Najib mengaku bahwa dia dan kliennya (Ricksy) belum menerima salinan putusannya sampai saat ini dan dia sendiri menerima kabar soal putusan kasasi untuk Ricksy sudah keluar, justru dari wartawan.
Meski demikian, kata Najib, kalau benar bahwa Majelis Hakim MA menghukum Ricksy lebih berat dengan penjara lima tahun, maka dia yakin bahwa majelis hakim MA tidak jeli dalam membaca pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan dibawahnya. Ia menambahkan, sedikitnya ada empat persoalan yang harus jeli dibaca majelis hakim.
“Pertama, putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam pertimbangannya seolah-olah menyatakan bahwa perusahaan Ricksy, yakni Green Planet Indonesia (GPI) adalah pengolah limbah, padahal bukan. GPI adalah kontraktor sipil yang membantu PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam proyek bioremediasi. Jadi CPI-lah yang bertanggung jawab sebagai pengolah limbah,” jelas Najib.
Soal pelanggaran izin, lanjut Najib, sebenarnya pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menjelaskan sebelumnya bahwa GPI tidak memerlukan izin karena hanya membantu pengerjaan saja, dan CPI sebagai pihak yang bertanggung jawab telah mengantongi izin tersebut.
“Andaikata memang ada pelanggaran izin, maka berdasarkan peraturan di Indonesia pelanggaran tersebut masuk ke dalam pidana lingkungan bukan pidana korupsi. Sesuai urutannya maka sanksi pidana merupakan ultimate remedium apabila sanksi administrasi atau denda tidak memberikan efek jera,” tegas Najib.
Namun perlu diingat, kata Najib lagi, proyek bioremediasi adalah proyek pemulihan lingkungan bukan kegiatan perusakan lingkungan. Artinya proyek ini justru harus berjalan sebagai implementasi UU lingkungan. “Aneh saja apabila kemudian seseorang dipidana karena membantu pemulihan lingkungan,” ujar Najib.
Kedua, kata Najib, Ricksy juga dituding melanggar Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) nomor 128 tahun 2003 tentang TPH tanah, padahal bukti-bukti pelanggaran tidak pernah ada, karena semua yang dilakukan GPI sudah sejalan dengan SOP CPI yang telah diverifikasi oleh ahli-ahli dari Lemigas, universitas dan sudah seizin Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Jadi pelanggaran atas Kepmen ini pun bukan atas dasar bukti tetapi penafsiran sepihak yang dipaksakan oleh jaksa atas dasar keterangan ahli Edison Effendi. Sementara KLH yang jelas memiliki kewenangan sesuai UU Lingkungan dan ahli-ahli lainnya, berpendapat proses bioremedesia sudah benar sesuai aturan yang berlaku,” terang Najib.
Ketiga, sejak di pengadilan negeri (Pengadilan Tipikor, red) dakwaan dan ketentuan hukumnya sudah berbeda. Secara substansi, dakwaan adalah seputar pelanggaran lingkungan (izin pengolahan limbah dan proses bioremediasi). “Namun jaksa memakai UU Tipikor dan mengabaikan UU Lingkungan dengan dalih bahwa proyek ini merugikan keuangan negara,” jelas Najib.
Dalam hal ini Najib melihat bahwa Majelis hakim MA tidak jeli membaca bukti bahwa kerugian negara dalam proyek ini tidak ada karena proyek masih dibiayai oleh CPI sepenuhnya dan fakta bahwa Ricksy serta perusahaannya (GPI-Red) tidak memiliki hubungan hukum atau kontraktual dengan SKK Migas. “Ibarat penjual jasa, klien kami tidak dapat diminta tanggung jawab atas asal-usul uang yang dibayarkan ketika jasa tersebut telah diterima dengan baik sesuai perjanjian oleh penerima jasa tersebut,” tegas Najib.
Keempat, majelis hakim MA terkesan tergesa-gesa dalam mengambil putusan. Mungkin karena masa penahanan Ricksy akan habis pada 3-4 Maret mendatang. “Meskipun adanya kesan tergesa-gesa ini bisa saja dibantah oleh majelis hakim MA namun putusan yang dibuat sepertinya mengabaikan prinsip kehati-hatian yang seharusnya dipegang oleh MA sebagai penjaga gawang terakhir keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia,” lanjut Najib.
Menurut Najib, majelis hakim MA terkesan sudah menjatuhkan vonis bahwa kliennya memang bersalah sehingga pertimbangan hukum cenderung kepada soal pasal yang tepat untuk menghukumnya.
Soal Wewenang MA
Sementara itu, pakar hukum pidana, DR. Mudzakkir, SH, MH, mengaku belum dapat memberikan komentar secara mendalam karena belum membaca pertimbangan hukumnya. Namun menurutnya, hal yang penting untuk ditanyakan kepada majelis hakim MA adalah sejauh mana MA telah menjalankan kewenangannya untuk menguji penerapan hukum pidana baik secara materiil maupun formil.
“Mestinya putusan Pengadilan Negeri (tipikor) dan Pengadilan Tinggi diuji di tingkat kasasi, agar putusan MA jikalau nantinya menjadi yurisprudensi bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik dari aspek ilmu hukum maupun bidang keilmuan lainnya,” imbuh Mudzakkir, Selasa malam, 18 Februari 2014.
Mudzakkir memberikan beberapa contoh seputar proses pengambilan barang bukti pada pengadilan kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor, yang tidak mengikuti kaidah standar yang dijadikan dasar dakwaan adanya pelanggaran. “Uji sampel yang seharusnya dilakukan di lab tersertifikasi sesuai peraturan pemerintah soal lab lingkungan. Namun penyidik melakukan uji sampel di lab dadakan di kantor Kejagung,” ungkapnya.
“Contoh lainnya adalah hasil uji sampel yang diambil pada tahun 2012 dari dua unit fasilitas bioremediasi oleh JPU dijadikan bukti atas kejadian yang berlangsung dari 2006 sampai 2011 di sembilan fasilitas bioremediasi. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh metodologi ilmiah yang berlaku universal apalagi menyangkut persoalan sebuah proses biologis dan kimia,” ujar Mudzakkir.
“Juga soal referensi angka TPH dalam dakwaan jaksa adalah dari keterangan Edison Effendi bukan dari Kepmen LH 128/2003 sementara Ricksy didakwa melanggar Kepmen LH 128/2003. Faktanya isi keterangan Edison berbeda dengan Kepmen 128/2003. Ini harus diuji,” tambah Mudzakkir.
“Jika MA gagal menguji secara benar putusan dan proses pembuktian yang dilakukan pengadilan di bawahnya, maka akan fatal akibatnya bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru