JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) tengah menyiapkan kerangka peraturan Carbon Capture and Storage (CCS) di luar kegiatan hulu minyak dan gas bumi untuk mendukung penurunan emisi dari industri lain. Penguatan kerangka peraturan ini juga memungkinkan Indonesia menjadi CCS Hub di kawasan Asia Tenggara.
“Karpet merah” bagi para pelaku usaha yang menerapkan CCS juga dinilai diperlukan jika Indonesia mau mengejar penerapannya dalam waktu dekat.
Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian ESDM, mengungkapkan bahwa negara Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memiliki kebijakan terkait CCS terbaik. Penerapan CCS di negara-negara tersebut dilakukan dengan memberikan tingkat insentif yang lebih besar bagi investasi sektor swasta sehingga kegiatan CCS lebih maju dan mapan. Hal ini dapat menjadi pembelajaran untuk memperkaya perbaikan regulasi CCS khususnya di Indonesia. Menurutnya, mengembangkan kebijakan dan menetapkan peraturan tentang CCS sangatlah menantang.
“Indonesia tetap menjadi pendukung CCS dan tampaknya menjadi pelopor penerapan CCS di Asia Tenggara. Visi luas CCS Indonesia adalah memberikan pengurangan tingkat proyek, sekaligus membuka peluang bagi negara untuk menjadi fasilitas penyimpanan di kawasan tersebut,“ ungkap Tutuka beberapa waktu lalu di Jakarta.
Ke depan, rancangan Peraturan Presiden terkait CCS yang tengah disusun oleh Ditjen Migas KESDM bersama dengan Kementerian terkait akan mencakup pengaktifan CCS di luar Wilayah Kerja Migas. Peraturan ini juga harus mampu membuka peluang investasi melalui Mekanisme Perizinan. Rancangan Perpres ini dapat memungkinkan pengaktifan CCS dengan sumber CO2 dari industri lain.
ancangan Perpres yang tengah disusun juga harus sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Lebih lanjut, Tutuka memaparkan beberapa pertimbangan urgensi penyusunan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Kegiatan CCS ini. Pertama, Access to Land and Pore Space for storage. Menurut Tutuka penting untuk membuat kejelasan hukum kepemilikan pore space dan kewajiban penyimpanan, serta memberikan akses terhadap lahan untuk pengembangan infrastruktur CCS.
Selain itu Tutuka juga menyoroti pentingnya Legal and Policy Certainty, dimana kerangka peraturan CCS perlu terdefinisi dengan baik untuk memberikan kepastian bisnis, menarik investasi,mendorong inovasi dan komitmen jangka panjang terhadap inisiatif dekarbonisasi. Berikutnya urgensi tentang Safety And Environmental Compliance. Tutuka menyampaikan perlu ada pedoman yang jelas untuk operasi CCS, termasuk standar perlindungan dan keselamatan lingkungan, yang selaras dengan persyaratan lingkungan.
Selanjutnya tentang Ease of Licensing Process. Menurut Tutuka dalam pengembangan investasi CCS maka diperlukan proses perizinan yang sederhana dan juga cepat.
“Perlu kejelasan peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga pemerintah yang terlibat. Hindari penundaan birokrasi yang dapat menghambat operasional,” ungkap Tutuka.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti tentang Cross Border Carbon Liability. Menurut Tutuka hal ini penting dilakukan untuk memastikan Indonesia terlindungi. Melalui perjanjian bilateral atau multilateral Pemerintah harus memastikan pembagian tanggung jawab dan risiko, termasuk kebocoran yang mungkin saja terjadi.
Terakhir terkait Fiscal Incentives for CCS Project Development. Investasi pada teknologi CCS bersifat padat modal dan memerlukan komitmen jangka panjang. Oleh karena itu Tutuka berpendapat bahwa penting untuk memberikan insentif bagi pionir industri ini sekaligus memastikan keekonomian proyek yang layak pada teknologi CCS ini.
Implementasi CCS/CCUS akan sangat bergantung pada kapasitas penyimpanan. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengevaluasi kapasitas penyimpanan di Indonesia dan hasil sementara penelitian menyatakan potensi simpanan pada reservoir migas adalah sekitar 4,31 giga ton CO2, yang sebagian besar berasal dari reservoir gas. 103 fields with CO2 capacity. Adapun untuk saline aquifer potensi sumber daya penyimpanannya sekitar 9,679 juta ton CO2. Dengan besarnya potensi kapasitas penyimpanan reservoir migas dan saline aquifer, akan memperkuat peran CCS/CCUS dalam mendukung penurunan emisi menuju Net Zero Emission, tidak hanya pada migas namun juga industri lainnya.
Indonesia telah menetapkan target produksi migas nasional pada tahun 2030, dan pada sisi yang sama berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca untuk pencapaian NZE. Dengan kedua target tersebut, CCS/CCUS dapat menjadi penggerak karena mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-Enhanced Oil Recovery (EOR) Atau Enhanced Gas Recovery (EGR) sekaligus mengurangi emisi secara signifikan.
Tutuka juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat lima belas proyek CCS/CCUS di sektor minyak dan gas yang sedang dalam tahap studi.
“Saat ini, lima belas proyek CCS/CCUS di sektor minyak dan gas sedang dalam tahap studi dan salah satunya sedang menyediakan feed. Proyek-proyek ini memerlukan investasi teknologi dan kolaborasi keuangan, “ ujar Tutuka.
Di kawasan Asia-Pasifik seperti Pemerintah Jepang dalam Rencana Energi Strategisnya menyatakan untuk mencapai emisi NZE pada tahun 2050, di mana CCS memiliki peran penting. Di Tiongkok, Dewan Negara Tiongkok juga telah mengeluarkan lebih dari 10 kebijakan dan pedoman nasional untuk mempromosikan CCS. Selain itu, pemerintah Thailand juga mengindikasikan bahwa mereka juga akan mengembangkan undang-undang setempat. Bahkan Indonesia dan Malaysia juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan undang-undang penyimpanan karbon dioksida secara geologis. (RI)
Komentar Terbaru