JAKARTA – Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali meminta keterangan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) pada 2011-2021.
“Hari ini 5 Oktober 2023 saya telah memberikan keterangan sebagai Tersangka untuk kedua kalinya kepada Penyidik dengan jumlah pertanyaan sebanyak 25 butir,” ungkap Karen Agustiawan, dalam konferensi pers, Kamis(5/10).
Dalam pemeriksaan hari ini, Karen juga membawa dan menyerahkan beberapa bukti yang mendukung posisinya dan membantu penyidik untuk secara obyektif mempertimbangkan fakta perkara tersebut.
“Pada intinya, saya telah menunjukkan ke Penyidik kalau saya tidak pernah mengeluarkan kebijakan pribadi, atau mengambil keputusan secara pribadi atas nama Pertamina,” ujar Karen.
Karen menyatakan bahwa keputusan Pertamina untuk bekerja sama dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) adalah keputusan kolektif kolegial dan merupakan aksi korporasi untuk menjalankan perintah jabatan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2006, Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 2010, Inpres nomor 14 tahun 2011 dan Surat UKP4 2013.
“Artinya, tidak benar bahwa kerjasama
pengadaan LNG antara Pertamina dengan CCL adalah kebijakan atau keputusan saya sepihak. Karena terdapat berbagai bukti yang menunjukkan bahwa kerjasama tersebut pada kenyataannya merupakan aksi korporasi yang sah dan merupakan keputusan Direksi Pertamina secara kolektif kolegial,” ujar Karen.
“Kalaupun saya sendiri menyatakan tidak setuju atas rencana penandatanganan LNG SPA dengan CCL, namun 7 anggota Direksi lain tetap menyetujui, maka keputusan penandatanganan LNG SPA akan tetap berjalan (prinsip one man one vote),” ujar Karen.
Ia menegaskan bahwa sebelum penandatanganan SPA sudah ada kajian dan analisis menggunakan external advisor di antaranya Wood Mackenzie, K.C Wilson & Associate Singapore, dan Fact Global Energy (FGE). Selain telah melalui proses kajian dan analisis menyeluruh serta review berjenjang, sebelumnya permintaan alokasi gas sudah dilakukan, namun hingga mendekati akhir tahun 2013, belum didapatkan kepastian alokasi gas, sedangkan saat itu, sebagaimana dituangkan dalam Surat UKP4 tanggal 28 Februari 2013, salah satu ukuran keberhasilan dalam rencana Pengembangan Infrastruktur Gas berupa Pengembangan FSRU di Jawa Tengah, ialah ditetapkannya alokasi gas dari Kementerian ESDM (Target B04) serta Penandatangan SPA dengan Penjual LNG (Target B09).
Lebih lanjut Karen menjelaskan, mengenai ketiadaan persetujuan Dewan Komisaris dan RUPS kerjasama pengadaan LNG antara Pertamina dengan CCL, keadaan ini telah dijelaskan melalui Memorandum Legal Corporate tanggal 24 Agustus 2013 yang menyatakan bahwa penandatanganan LNG SPA tidak memerlukan persetujuan dari Dewan Komisaris sebagaimana diatur Pasal 11 ayat 8 AD Pertamina, demikian juga tidak memerlukan persetujuan RUPS sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat 10 AD Pertamina dan juga Board Manual 2013.
“Jadi, semuanya bukan keputusan saya seorang. Perlu dicatat bahwa saya sama sekali tidak pernah mengintervensi atau mengarahkan tim di Pertamina sehubungan dengan kerjasama pengadaan LNG antara Pertamina dengan CCL,” jelas Karen.
Karen mengatakan, mengenai posisi Pertamina yang dinyatakan rugi akibat kerjasama dengan CCL, ada beberapa point yang perlu diperhatikan. Pertama, kontrak berjalan tidak ditandatangani ketika dirinya menjabat. Karen menyampaikan bahwa dirinya telah mengundurkan diri tahun 2014 dan kontrak yang berlaku ditandatangani 2015. “Memang ada kontrak CCL yang di tandatangani di 2013 dan 2014, namun kontrak 2015 sudah menggantikan keberlakuan seluruh pasal di kontrak 2013 dan 2014,” ujar Karen.
Karen sudah menyampaikan Kepada Penyidik bukti-bukti yang menunjukkan apabila kontrak 2015 menggantikan seluruh kontrak sebelumnya.
“Posisi Pertamina hari ini justru untung. Dalam pemriksaan hari ini, saya juga sudah menyerahkan bukti yang menunjukkan bahwa kontrak antara Pertamina dengan CCL sudah menguntungkan untuk Pertamina. Lagipula kontrak antara Pertamina dengan CCL berlaku sampai 2040, mengapa penentuan untung ruginya hanya dihitung sampai tahun 2021,” ujar Karen.(RA)
Komentar Terbaru