JAKARTA – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berpotensi mendapat dana bantuan bio carbon fund sebesar US$110 juta. Untuk mendapat dana tersebut, Bank Dunia memberi target kepada Provinsi Kaltim menurunkan emisi CO2 sampai 22 juta ton hingga 2024.

“Untuk fasilitas pendanaan iklim sebesar US$110 juta dimungkinkan akan didapatkan Kaltim,” ungkap Wahju Warjaka, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) , baru-baru ini.

Program penurunan emisi melalui Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund dari Bank Dunia mensyaratkan agar pemerintah Kaltim perlu serius untuk menurunkan target 22 juta ton CO2.

Hal ini dikarenakan program penurunan emisi ini memakai skema pembayaran berbasis kinerja. Tujuannya, agar mencegah pengalihfungsian lahan ditengah proses penurunan emisi setelah dana diberikan. Rencananya, dana akan dikucurkan sampai dengan 2024.

Beberapa jenis kinerja yang menjadi penghitungan sebagai variabel untuk menurunkan emisi antara lain mengurangi alih fungsi lahan dan memperluas kawasan hutan serta memberi alternatif penghidupan baru.

Pencapaian penurunan emisi melibatkan masyarakat dalam hal ini adalah kepala adat di Kaltim. Alur pembiayaan dari Bank Dunia sebesar US$110 juta akan diturunkan ke KLHK melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Selanjutnya, KLHK yang memegang evaluasi kinerja pemerintah daerah akan mencairkan dana tersebut sesuai pencapaian.

Komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim telah diakui oleh komunitas internasional. Hal tersebut terlihat dari Sidang Dewan Green Climate Fund (GCF) pada 18-21 Agustus 2020 yang menyetujui proposal pembayaran berbasis hasil Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) Indonesia sebesar US$103,8 Juta.

GCF adalah sebuah mekanisme pendanaan di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dibentuk untuk memberikan dukungan keuangan bagi negara-negara untuk mencapai target pengurangan emisi.

Proposal yang diajukan KLHK ini menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016, dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Pemerintah melalui KLHK melakukan sejumlah langkah untuk mengurangi emisi yang disumbang dari deforestasi hutan dan degradasi hutan. Antara lain dengan merehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan konservasi, serta meningkatkan akses kelola hutan masyarakat.

“Indonesia juga segera memperoleh sekitar US$56 juta dari Norwegia sebagai pembayaran pendanaan iklim dan hutan pertama atas keberhasilan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Letter of Intent (LoI) yang disepakati pada 2010,” kata Wahju.

Dari hasil verifikasi yang dilakukan verifikator independen yang ditunjuk Pemerintah Norwegia penurunan emisi GRK Indonesia tahun 2016-2017 mencapai 11,2 juta ton CO2eq. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari laporan awal yang diajukan Indonesia yang mencapai 4,8 juta ton CO2eq.

“Perolehan pendanaan GCF untuk REDD+ Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan negara-negara sebelumnya. Antara lain Brazil sebesar US$ 96,5 juta, Chile USD$ 63,6 juta, Ekuador US$ 18,5 juta dan Paraguay US$ 50 juta,” tandas Wahju.(RA)