PEMERINTAH sepanjang tahun ini terus melakukan reformasi birokrasi di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM). Penyederhanaan berbagai perizinan di sektor ESDM dilakukan, meliputi minyak dan gas bumi (migas), mineral dan batu bara (minerba), ketenagalistrikan serta energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE).
Untuk kali pertama, Kementerian ESDM hanya memiliki 15 perizinan dengan rincian enam izin migas, enam izin minerba, dan tiga izin EBTKE. Di subsektor ketenagalistrikan, Kementerian ESDM hanya mengeluarkan tiga sertifikasi dan dua rekomendasi. Semua perizinan tersebut makin dipermudah melalui penerapan sistem daring (online).
Untuk sektor ketenagalistrikan, penyederhanaan perizinan telah tercantum pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12/2016, yang dilatarbelakangi upaya peningkatan pelayanan penyambungan tenaga listrik kepada konsumen tegangan rendah dan badan usaha berbadan hukum Indonesia yang melaksananakan pekerjaan pembangunan dan pemasangan instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah.
Saat ini, Kementerian ESDM hanya mengawasi pelaksanaan tiga sertifikasi yang dilakukan Lembaga Independen Terakreditasi (sertifikasi instalasi tenaga listrik; sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; dan sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik). Serta pemberian dua rekomendasi teknis (Rencana Impor Barang untuk rekomendasi kepada Kemenkeu), dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) kepada Kemenaker.
Terkait komitmen Kementerian ESDM untuk menuntaskan program listrik 2.500 desa hingga 2019, upaya melistriki masyarakat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni ekspansi atau perluasan jaringan listrik melalui program listrik perdesaan PT PLN (Persero), mini-grid off grid, dan solar home system. Diharapkan, target rasio listrik perdesaan sebesar 99,7% pada 2025 dapat tercapai.
Untuk mempercepat listrik perdesaan, pemerintah mengeluarkan Permen ESDM 38/2016. Dengan aturan tersebut, masyarakat yang tinggal di desa belum berkembang, terpencil, pulau terluar atau perbatasan dapat dilistriki oleh badan usaha lain seperti Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta, dan koperasi yang diberikan wilayah usaha tersendiri oleh pemerintah. Pengembangan sistem ini lebih mengutamakan pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk pembangkit listriknya.
Penyediaan listrik untuk perdesaan diutamakan berbasis energi baru terbarukan (EBT) dengan total kapasitas hingga 50 megawatt (MW). Pemanfaatan energi sekitar dioptimalkan guna mendorong penggunaan tenaga setempat sehingga perekonomian daerah dapat tumbuh dengan lebih baik. Pada 2017, ada tambahan 1.008 desa berlistrik, sehingga total desa berlistrik per Agustus 2017 adalah sebanyak 73.149 desa.
Untuk mempermudah pembangunan pembangkit listrik, pemerintah terus melakukan berbagai perbaikan dari sisi tarif tenaga listrik dan penyederhanaan perizinan, maupun dari sisi dokumen perencanaan (RUPTL) dalam rangka optimalisasi rincian jadwal pembangunan pembangkit di setiap wilayah.
Pemerintah juga berusaha menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif untuk memastikan keseimbangan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara PT PLN (Persero) dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP), seperti kontrak jangka panjang dan jaminan pasokan bahan bakar, untuk menciptakan peluang bisnis yang kompetitif dan memberikan tarif listrik yang terjangkau bagi masyarakat.
Di pengujung 2017, Kementerian ESDM optimistis mampu memberikan akses listrik bagi masyarakat di 1.096 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Target pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 3.380 kW dan pembangkit listrik mini hidro (PLTMH) dengan kapasitas 2.022 kW pada tahun ini akan mampu melistriki 10.315 KK yang berada di 62 desa dan menerangi 80.332 KK yang berada di 1.034 desa.
Saat ini pemerintah juga berupaya untuk menerangi 80.332 rumah di lima provinsi (dalam proses pelaksanaan) melalui pembagian Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Paket LTSHE akan dibagikan kepada masyarakat lokal daerah yang berada di kawasan 3T atau jauh dari jangkauan PLN, sehingga sumber energi utama yang dapat diandalkan murni dari tenaga surya.
Keseriusan pemerintah dalam mencapai target pengembangan EBT terlihat dari penurunan persentase bahan bakar minyak (BBM) dalam pemakaian energi primer untuk pembangkit.
Dari hasil monitoring yang dilakukan tim Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tercatat porsi bauran energi primer triwulan 3 tahun 2017 untuk BBM adalah 6,06%, dari yang sebelumnya pada periode yang sama di tahun 2016 mencatatkan angka 7,10%. Angka tersebut sudah termasuk Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai campuran BBM, yang memberikan porsi 0,42% terhadap total bauran energi primer pembangkit.
Bila dibandingkan dengan tiga tahun lalu, porsi BBM pada bauran energi primer pembangkit 2014 adalah 11,81%, sementara untuk EBT 11,21%. Bahkan, penggunaan BBM untuk bahan bakar pembangkit ini sempat mendominasi hingga 36% pada 2008.
Persentase tersebut dihitung berdasar realisasi produksi listrik yang dihasilkan oleh tiap energi primer yang terdiri dari BBM (+BBN), gas, batubara, dan EBT. Total, hingga triwulan ketiga telah dihasilkan listrik sebesar 186.699 Giga Watt hour (GWh) baik dari PLN maupun IPP (Independent Power Producer).
Adapun volume BBM untuk pembangkit PLN hingga triwulan ketiga ini mencapai 2,54 juta kilo Liter (kL) atau setara untuk memproduksi listrik sebesar 8.976 GWh. Di sisi lain, porsi EBT dalam bauran pembangkit ini meningkat cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya. Energi hydro, panas bumi dan EBT lainnya, tercatat menyumbangkan porsi 12,51%, meningkat dari tahun 2016 dan lebih tinggi dari yang ditargetkan dalam APBN-P 2017 (11,96%).
Laporan juga mencatatkan realisasi produksi listrik dari pembangkit EBT, dimana produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah mencapai 13.593 GWh, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 9.324 GWh, dan pembangkit EBT lainnya 456 GWh.
Berikut adalah Program Pengembangan EBT yang dilakukan oleh Kementerian ESDM melalui Ditjen EBTKE:
1. Menambah kapasitas pembangkit/produksi energi melalui pembangunan dan pengembangan PLTP dan PLTA.
2. Menambah penyediaan akses terhadap energi modern untuk daerah terisolir jaringan PLN, khususnya di daerah-daerah perbatasan, terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
3. Mengurangi subsidi BBM/listrik (energi) PLTD; (4) mengurangi emisi gas rumah kaca; dan (5) menghemat energi.
Penjualan Listrik
Sepanjang Januari-September 2017, PLN mencetak kenaikan penjualan listrik nasional 3,1% dibandingkan dengan penjualan pada periode yang sama tahun lalu. Total volume penjualan hingga September 2017 mencapai 163,6 terrawatt hour (TWh), naik jika dibandingkan periode September tahun lalu yang sebesar 158,6 TWh.
Laporan PLN juga menyebutkan terjadinya kenaikan penjualan listrik 2,8% di wilayah Jawa Bagian Barat di mana volume penjualan listrik tahun ini hingga September mencapai 39,4 TWh, sedangkan tahun lalu pada periode yang sama hanya mencapai 38,3 TWh. Angka penjualan listrik Jawa Bagian Barat ini mencakup wilayah Distribusi Banten dan wilayah Distribusi Jakarta Raya (Disjaya).
PLN Distribusi Banten bahkan mencatatkan kenaikan hingga 6,7%. Sementara penjualan listrik PLN Disjaya tumbuh sebesar 0,4%. Hal tersebut seiring dengan bertambahnya kapasitas pembangkit listrik PLN dan tambahan kapasitas dari pembangkit swasta di kedua wilayah tersebut, salah satunya PLTU IPP Banten 660 MW yang beroperasi Maret 2017.
Kenaikan penjualan listrik PLN ini dinilai menjadi sinyal positif bahwa ekonomi Indonesia terus tumbuh dengan baik. Sebagaimana diketahui, PLN memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik bagi pelanggan demi mendukung kepentingan masyarakat serta menjaga agar sektor bisnis dan industri tetap kompetitif.(Yurika P)
Komentar Terbaru