JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengklaim sudah beberapa waktu ini jual rugi BBM solar subsidi dan Pertalite. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia mengerek biaya produksi BBM, termasuk Solar dan Pertalite di dalam negeri.
Saat ini, harga minyak mentah di atas US$100 per barel, jauh dari asumsi APBN 2022 sekitar US$63 per barel.
Saat ini Pertamina menjual Solar dengan harga Rp 5.150 per liter dan Pertalite Rp 7.650 per liter. Padahal rata-rata harga minyak dunia sejak awal tahun ini sudah tinggi dan beberapa minggu kebelakang berkisar US$100an per barel.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina menjelaskan gap antara harga BBM Solar dan Pertalite yang ada sekarang sangat jauh dibawah harga keekonomian yang seharusnya dijual untuk bisa menutup ongkos produksi
“Harga BBM kita yang paling murah. Pemerintah subsidinya luar biasa. Solar itu disubsidi Rp7.800 per liter, loh. Pertalite subsidinya Rp 4.000 hingga Rp 4.500 per liter. Padahal itu penugasan,” kata Nicke dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (6/4).
Untuk konsumsi Solar bahkan sudah melebihi kuota per bulannya. Hingga bulan ini, konsumsi Solar sudah melebihi kuota bulanan sebesar 13%, realisasi ini tumbuh dari dua pekan lalu dimana penyaluran Solar sudah 11% lebih dari kuota yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Nicke berdasarkan regulasi yang ada seharusnya Pertamina sudah tidak boleh lagi menjual Solar jika melebihi kuota karena biaya pengadaannya menggunakan anggaran negara. Tapi, perusahaan tetap menjualnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang mobilitasnya meningkat.
“Harusnya sesuai aturan, kita nggak boleh over kuota karena ini pakai APBN, uang rakyat. Jadi harusnya kita tidak boleh jualkan (jika melebihi kuota). Tapi kami sadar, mobilitas naik, demand naik, maka atas ijin pemerintah pada pekan kedua Maret kita buka keran (solar),” jelas Nicke.
Sayangnya, penugasan yang dijalankan Pertamina ini tidak dibarengi dengan dana subsidi maupun kompensasi yang dijanjikan pemerintah. Dana kompensasi tersebut merupakan selisih yang harus dibayarkan negara ke Pertamina akibat tidak dinaikkannya harga BBM.
“Mengenai kompensasi, belum ada ya, Bu Emma (Direktur Keuangan Pertamina)? Pembayaran dari pemerintah belum ada, ya,” kata Nicke menjelaskan kepada anggota dewan.
Sementara itu Sartono Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Demokrat, mendesak agar pemerintah segera membayar kompensasi ke Pertamina akibat penugasan yang diberikan. Dia menyebut, utang pemerintah ke Pertamina sudah tembus hampir Rp100 triliun.
Dia menilai pembayaran utang ini sangat penting untuk menolong keuangan Pertamina. Meski sebagai perusahaan negara dan kepanjangan tangan pemerintah wajib menjalankan penugasan penyaluran Solar dan Pertalite, tapi sebagai perusahaan Pertamina juga wajib mendulang untung dan membagikan dividen ke negara.
“Kita mendesak agar utang itu cepat dibayar. Dari 2017 sampai sekarang menumpuk Rp 100 triliun. Badan usaha milik negara tapi dipaksa untuk rugi. Saya melihat berapa saat lalu, dulu di Komisi VI hampir sama juga, dalam neraca (keuangan Pertamina) diletakkan paling bawah,” ujar Sartono.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, sebelumnya menuturkan secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp 109 triliun sampai akhir 2021.
Sepanjang 2020, kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah karena menahan kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah Rp 63,8 triliun. Pemerintah mencicil di tahun berikutnya sebesar Rp 47,9 triliun. Dimana khusus BBM masih ada sisa yang harus dibayarkan sebesar Rp15,9 triliun.
Kemudian pada 2021, harga kembali ditahan walaupun dari sisi global mulai ada kenaikan harga minyak dunia. Hal ini akhirnya menambah jumlah kompensasi dari penjualan BBM tahun 2021 yakni US$68,5 trlliun. Sehingg utang pemerintah kepada Pertamina yang harus dibayarkan, sebesar Rp84,4 triliun. (RI)
Komentar Terbaru