JAKARTA – Rencana pemberian kelonggaran (relaksasi) ekspor mineral kepada perusahaan tambang dinilai harus tetap mengedepankan semangat merealisasikan industri pengolahan dan pemurnian (smelter). Kebangkitan sektor pertambangan tidak hanya dengan menjadikan hasil tambang sebagai komoditas perdagangan, tetapi juga harus menjadi bagian dari benang merah industrialisasi di tanah air.
Tino Ardhyanto, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), mengatakan nilai tambah dari bahan baku tambang yang ada di bumi Indonesia harus tetap dimaksimalkan untuk manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia sesuai amanah UUD 1945.
“Kita tunggu seperti apa peraturan (relaksasi ekspor mineral mentah)-nya. Mengenai rentang waktu yang panjang, saya melihat perlu pemahaman mengenai karakteristik dari sumber daya mineral yang kita miliki,” kata Tino kepada Dunia Energi, Rabu (5/10).
Dia menekankan agar sumber daya mineral harus dilihat keragaman unsur yang ada di dalamnya, kegiatan penambangan yang menghasilkan stockpile, serta keberadaan dan kemampuan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang saat ini ada di Indonesia.
Selain itu, juga pengguna hasil tambang di dalam negeri, dan maksimalisasi dari keekonomian yang bisa diperoleh dari kondisi yang ada saat ini.
“Industri pertambangan harus menjadi salah satu pendukung pembangunan di Indonesia, terutama dengan keberadaan sumbernya di Indonesia,” ujar Tino.
Simon Sembiring, pengamat pertambangan, mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah.
“LBP (Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri ESDM) sudah bagus melihat persoalan ini dengan jernih dan ingin menyelesaikannya. Dengan tetap menjunjung kedaulatan negara,” kata Simon.
Namun dia tetap mengingatkan agar pemerintah melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara sebagaimana semestinya.
Menurut Simon, renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang seharusnya selesai 2010, hingga saat ini tidak selesai. Bahkan, pemurnian produk kontrak karya yang seharusnya bisa dilakukan 2014, sampai sekarang feasibility study-nya dan AMDAL-nya belum ada.
“Seharusnya ini kesempatan bagi pemerintah untuk merubah ke IUPK dan mempertimbangkannya. Sayangnya, kesalahan ini baru disadari dan ingin diperbaiki dengan amendemen PP,” tandas Simon.(RA)
Komentar Terbaru