JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) diminta membebaskan Bachtiar Abdul Fatah, terdakwa dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) karena jaksa dan hakim telah bertindak diluar hukum dengan memaksakan adanya perkara itu.
Maqdir Ismail, ketua tim penasehat hukum Bachtiar Abdul Fatah, menyebutkan bahwa meski kliennya telah divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, namun secara hukum persidangan yang telah berlangsung itu tidak sah dan melanggar hak konstitusional kliennya.
Persidangan terhadap Bachtiar tidak sah, karena sebelumnya Bachtiar telah dibebaskan dari statusnya sebagai tersangka oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan tidak ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.
Maqdir pun mengaku telah melaporkan pelanggaran hukum itu ke MA pada Rabu, 6 November 2013. Dalam laporannya, penasehat hukum Bachtiar meminta MA untuk membebaskan Bachtiar dari tahanan dan menghentikan proses peradilan yang berlangsung.
“Klien kami sebelumnya ditetapkan menjadi Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jampidsus (Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Nomor: Print-26/F.2/Fd.1/03/2012 tanggal 12 Maret 2012, dan terhadap klien kami tersebut telah dilakukan penahanan,” ujar Maqdir.
Namun demikian, lanjut Maqdir, penetapan tersangka dan penahanan oleh Jampidsus itu telah dinyatakan tidak sah, dan hak-hak hukum Bachtiar telah dinyatakan dipulihkan dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya, berdasarkan putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tanggal 27 November 2012 yang berkekuatan hukum tetap.
“Dengan telah dinyatakan tidak sahnya penetapan tersangka atas Bachtiar, maka menurut hukum di Indonesia klien kami sudah tidak lagi menjadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi dalam proyek bioremediasi. Seharusnya Bachtiar tidak dapat lagi dituntut, apalagi dilimpahkan perkaranya ke pengadilan untuk diadili sebagai terdakwa dan dilakukan penahanan,” jelas Maqdir.
Ia menerangkan, berdasarkan pasal 140 ayat (1) jo. 143 ayat (1) dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) telah sangat jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain lagi, bahwa proses penuntutan dan pelimpahan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya dapat dilakukan terhadap tersangka yang berkas pemeriksaannya telah dinyatakan lengkap.
Selanjutnya, berdasarkan pasal 21 ayat (4) KUHAP, penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa. “Sedangkan sejak 27 November 2012, klien kami tidak lagi berstatus tersangka apalagi terdakwa, karena kasusnya sudah ditutup oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tegas Maqdir di Jakarta, Jumat, 8 November 2013.
Surat MA Tidak Batalkan Putusan
Maqdir mengaku, sangat heran dan tak habis pikir dengan langkah Kejagung yang tetap melakukan penuntutan terhadap Bachtiar, bahkan menyeretnya ke persidangan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Sampai sekarang, JPU tetap ngotot dasar penuntutan kembali Bachtiar adalah Surat MA yang membatalkan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Padahal tidak ada surat dari MA yang membatalkan Putusan Praperadilan, namun yang ada adalah surat dari Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dengan surat Nomor: 316/BP/Eks/03/2013, tanggal 21 Maret 2013,” jelas Maqdir.
Surat dari Badan Pengawas MA tersebut, lanjut Maqdir, pada pokoknya menyatakan,“….perihal tidak sahnya penetapan tersangka, Mahkamah Agung RI telah melakukan pemeriksaan terhadap pihak terkait, terlapor maupun terhadap saksi-saksi dan berdasarkan bukti-bukti yang ada, kami beritahukan bahwa pengaduan saudara terkait hal tersebut terbukti dan terlapor telah dijatuhi hukuman disiplin”.
Sesuai hukum positif di Indonesia, tidak ada Surat MA yang dapat membatalkan putusan pengadilan. Yang bisa membatalkan putusan pengadilan adalah Putusan MA, bukan surat. Apalagi surat dari Badan Pengawas MA itu sama sekali tidak menyebutkan telah membatalkan Putusan Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012.
“Surat Badan Pengawas MA tadi tidak dapat dijadikan dasar atau pembenar bagi JPU, untuk melakukan penahanan dan menyeret klien kami ke persidangan. Prinsip hukumnya ;pun berbunyi “Res Judicata Pro Veritate Accepiture”. Artinya, putusan pengadilan harus dianggap benar, sampai dengan adanya putusan pengadilan lain yang lebih tinggi yang membatalkan putusan tersebut,” terang Maqdir.
Menariknya, meski berkali-kali hal ini disampaikan penasehat hukum di persidangan, jaksa dan hakim tak bergeming. Jaksa dan hakim terus saja menyidangkan perkara bioremediasi dengan terdakwa Bachtiar, tanpa pernah menyinggung putusan praperadilan yang telah membebaskan karyawan PT CPI itu dari statusnya sebagai tersangka.
“Sangat terang dan tidak dapat dipungkiri, pelanggaran yang terjadi terhadap hak-hak klien Kami sebagaimana telah diuraikan di atas, adalah dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi (in casu. Para Jaksa dan Para Hakim),” lanjut Maqdir.
Hak-hak yang dilanggar itu, adalah hak-hak yang sesungguhnya dijamin oleh negara untuk ditegakkan dan dijaga secara ketat upaya penegakannya. Bahkan negara pun telah menjamin hak-hak tersebut, dengan memproklamirkannya kepada dunia internasional lewat ratifikasi terhadap International Covenant on Civil and Political Rights ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
“Perjuangan dan laporan kami ke Mahkamah Agung ini tidak semata-mata bagi klien kami, tapi juga bagi penegakan hukum yang benar dan berkeadilan, sehingga proses hukum tetap menjamin hak-hak hukum dan kepastian hukum serta keadilan bagi siapapun di negara kita,” tandas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Sudah ada berita baru nih. Biasanya Albert Tilaar langsung komentar menebar kebohongan. Mana Bert…Albert….Albert Tilaar…mau berbohong apa lagi kamu?
Untuk anda ketahui, di sela-sela Musyawarah Nasional (Munas) VIII Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) di Jakarta, Jumat (8/11/2013), Ketua Umum Peradin, Frans H Winata, mengatakan, profesi advokat di nilainya melenceng dari hakikatnya sebagai salah satu penegak hukum. Dewasa ini, advokat dimengerti sebagai profesi yang HARUS MEMENANGKAN SEBUAH PERKARA HUKUM, sekalipun pelakunya bersalah dengan praktek kotor. “ADVOKAT DIMENGERTI HARUS MEMENANGKAN PERKARA KLIEN DALAM SEBUAH PERADILAN. “AKIBATNYA, PRAKTEK SUAP DAN PERCALOAN TAK TERHINDARKAN,” katanya. Dalam Munas tersebut, Frans dipilih kembali untuk memimpin Peradin periode 2013-2017.
Thus for your information.
Ya potensi suap itu ada karena jaksa dan hakimnya tidak amanah, jaksa dan hakim siap memainkan perkara, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah, asal ada uang. Bahkan terang-terangan meminta. Contohnya para karyawan Chevron dan kontraktornya dalam kasus bioremediasi yang bertahan tidak mau menyuap jaksa dan hakim, masuklah mereka dalam tahanan dan dihukum untuk kriminalisasi yang dipaksakan.