JAKARTA – Berbagai cara tampaknya dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus bioremediasi, untuk dapat menjebloskan para terdakwa ke balik jeruji penjara. Salah satunya dengan berupaya mengadu domba majelis hakim dan terdakwa.
Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan duplik terdakwa Kukuh Kertasafari, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin, 24 Juni 2013. Dalam dupliknya, Kukuh membantah telah menyebut kata “dholim” dan “peradilan sesat” dalam pledoi (pembelaan) yang dibacakannya 17 Juni 2013 lalu.
Kukuh menilai, kata-kata “dholim” dan “peradilan sesat” sengaja dimunculkan jaksa penuntut umum (JPU) berulang kali dalam replik, untuk menimbulkan kesan atau opini bahwa dirinya memojokkan majelis hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih.
Kukuh merasa, jaksa sengaja berbuat demikian, agar majelis hakim merasa tersinggung atas pernyataan tersebut, dan benar-benar mengira kata-kata “dholim” dan ‘peradilan sesat” itu diucapkan terdakwa. Jika majelis hakim tersinggung, bisa saja lantas menjatuhkan vonis bersalah untuk terdakwa, tanpa penelitian lebih lanjut.
“Saya sudah membaca dan meneliti kembali berulang-ulang pledoi yang telah disampaikannya dalam persidangan 17 Juni 2013 itu. Sama sekali tidak ditemukan kata “dholim” dan “peradilan sesat” seperti yang dibahas JPU dalam replik (tanggapan atas pledoi),” ujar Kukuh.
Kukuh menduga bahwa JPU mengutip kata-kata itu dari pemberitaan media, lalu mengulasnya dalam replik seolah-olah pernah disampaikan dalam pledoi. “Yang jelas, kata-kata itu bukan dari pledoi yang disampaikan terdakwa, dan baru muncul di persidangan pada Rabu, 19 Juni 2013, lewat replik (tanggapan atas pledoi) yang dibacakan JPU,” tegas tim penasehat hukum Kukuh, Tarwo Hadi Sadjuri.
Justru dalam pledoinya, lanjut Tarwo, terdakwa dengan tulus menyampaikan penghargaan dan rasa hormat yang tinggi serta terima kasih kepada Majelis Hakim, karena telah memeriksa perkara ini dengan penuh kesabaran, simpatik, teliti, cermat dan berwibawa, disertai juga dengan sikap yang menghormati hak-hak asasi terdakwa.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Bikin BAP “ahli” aja copy paste,dakwaan juga mencla mencle,tp ada yang konsisten yaitu pasal tuntutan yang sama..wah wah gimana itu proses peradilan ini..Bpk2x DPR..segera lakukan gelar perkara dong..udah mau pemilu,momentum ini bisa dimanfaatkan untuk mendaptkan simpati dan suara kalau Bapak2x bisa menyuarakan keadilan..Komnas HAM dan para ikatan alumni,lanjutkan perjuangannya..
Insya Allah, kami Lintas Alumni akan terus mengawal kasus kriminalisasi bioremediasi ini. Yg menjadi concern kami, kriminalisasi yg tengah terjadi ini sejatinya bukan ditujukan pada orang per orang semata. Bila dicermati, bioremediasi, sbg salah satu metode mitigasi dampak lingkungan, dalam hal ini cemaran limbah minyak bumi, tengah dikriminalisasi. Hal ini nampak dari upaya ahli kejaksaan yg secara nyata mengubah isi dari Kepmen 128/2003. Ia menyatakan bahwa tanah yg harus diremediasi adalah tanah2 dg TPH (total petroleum hydricarbon) antara 7,5-15%. Padahal amanat sebenarnya dari Kepmen 128/2003 ini menyatakan bahwa kegiatan bioremediasi wajib dilaksanakan atas tanah2 dg kandungan TPH hingga 15%. Tidak ada batas bawah 7,5% seperti dinyatakan ahli kejaksaan. Kegiatan bioremediasi ditujukan utk menurunkan cemaran minyak bumi (TPH) hingga di bawah 1%. Sehingga tanah2 yg mengandung TPH di atas 1% hingga 15% wajib dilakukan bioremediasi. Sungguh berani dia ‘mengacak2’, mengubah seenaknya isi sebuah peraturan perundangan yg akan berimplikasi pada nasib perusahaan atau orang lain.
Pernyataan ahli kejaksaan yg diamini oleh majelis hakim ini berimplikasi luar biasa, yaitu, kegiatan bioremediasi yg dilakukan atas tanah dg TPH di atas 1% hingga 7,5% disimpulkan tidak diperlukan. Bahkan, lebih dari itu, apabila tetap dilakukan, kegiatan ini disimpulkan fiktif; karena dilakukan di atas tanah yg katanya tidak perlu dilakukan bioremediasi. Simpulannya, setiap kegiatan bioremediasi atas tanah dg TPH hingga 7,5% adalah melanggar hukum dan akan dipidanakan.
Miris dan sedih teramat berat, melihat ulah dan tindakan para jaksa yg menangani kasus ini. Begitu saja percaya dg seseorang yg mengaku2 ahli, yg nampak jelas punya conflict of ineterst, dilatarbelakangi mitif pribadi.
Yth Pak Kejagung, Pak Mahkamah Agung, Pak Hakim, sebagai warga negara pembayar Pajak, dimana kegiatan Bapak Bapak dibiayai oleh kami rakyat Indonesia, mohon dengan segala hormat, agar Bapak mengecek kasus ini dengan sebai baiknya, bila perlu panggil ahli yang independen supaya kasus ini menjadi jelas dan fear dalam menegakkan kebenaran bukan mencari kemenangan untuk kepentingan institusi semata-mata. Kami mendukung Bapak-Bapak untuk menegakkan hukum secara adil. Coba Bapak pelajari dakwaan, pelajari aturan-aturan mengenai lingkungan, pelajari fakta-fakta persidangan, cek tenaga ahli Edison itu siapa. Jangan hanya Bapak terima laporan anak buah Bapak Bapak. Ayo Bapak…… kita buktikan bahwa institusi hukum di negara kita memang profesional…….
Yth Pak Kejagung, Pak Mahkamah Agung, Pak Hakim, sebagai warga negara pembayar Pajak, dimana kegiatan Bapak Bapak dibiayai oleh kami rakyat Indonesia, mohon dengan segala hormat, agar Bapak mengecek kasus ini dengan sebai baiknya, bila perlu panggil ahli yang independen supaya kasus ini menjadi jelas dan fear dalam menegakkan kebenaran bukan mencari kemenangan untuk kepentingan institusi semata-mata. Kami mendukung Bapak-Bapak untuk menegakkan hukum secara adil. Coba Bapak pelajari dakwaan, pelajari aturan-aturan mengenai lingkungan, pelajari fakta-fakta persidangan, cek tenaga ahli Edison itu siapa. Jangan hanya Bapak terima laporan anak buah Bapak Bapak.
Memberi penilaian hendaknya yang fair, jangan terkesan memihak. JPU untuk proses pradilan ini juga manusia yang menjalankan tugas dan kewajibannya. Dan Saudara DR.Ir.Edison Effendi MSc. juga bukan orang bodoh, sebagai Pakar Tehnik Lingkungan dia sangat tahu apa yang sedang dilakukannya. Hakim Ketua, DR.Sudharmawatiningsih SH.MH. juga hakim kakir yang sangat profesional dibidangnya, pakar dibidang Hukum Pidana Lingkungan Hidup, jadi apa lagi yang masih diragukan? Biarkan kasus ini terus berproses diruang pengadilan. Jika tidak puas masih banyak upaya hukum untuk ditempuh secara bijak, apa gunanya membentuk opini publik yang belum tentu kebenarannya. Dengan terus berprasangka dan memojokkan berbagai pihak, tidak akan menyelesaikan perkara ini, bahkan dikuatirkan akan menimbulkan masalah lain yang lebih serius.