JAKARTA – Chevron Standard Ltd (CSL) selaku pemegang saham mayoritas Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) North Duri Cogeneration diminta segera menyelesaikan negosiasi dengan PLN terkait pasokan listrik di Blok Rokan, Riau yang akan mulai dialihkan pengelolaannya dari PT Chevron Pacific Indonesia kepada PT Pertamina Hulu Rokan pada Agustus 2021.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, kelanjutan pengelolaan PLTGU NDC seharusnya segera diselesaikan untuk menjamin kelanjutan pengelolaan Blok Rokan. Jika Pemerintah mendorong adanya sinergi BUMN antara Pertamina dan PLN itu bagus.

“Namun yang lebih penting dari itu semua adalah kepastian keberlanjutan pasokan listrik untuk Blok Rokan,” katanya, Minggu (23/5).

Pemilik PLTGU itu adalah PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN). Sebanyak 95% saham MCTN dikuasai CSL dan sisanya perusahaan lokal. CSL disebut-sebut tengah melelang pengelolaan PLTGU NDC. Beberapa peserta dikabarkan menarik diri karena harganya yang dinilai kemahalan, yaitu US$ 300 juta, apalagi Chevron sudah mengeruk keuntungan lebih dari 20 tahun atas pengoperasian pembangkit tersebut.

Komaidi mengatakan, pasokan listrik untuk Blok Rokan yang telah berjalan selama ini, tentu menggunakan basis dan kesepakatan antara para pihak. Dalam kesepakatan tersebut tentu harus disampaikan kepada publik bagaimana hak dan kewajiban para pihak setelah kontrak pengusahaan Blok Rokan beralih dari pengelola lama kepada pengelola yang baru. “Para pihak tentu harus mengacu pada ketentuan dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya,” katanya.

Fataryani Abdurahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan listrik dan uap adalah tulang punggung operasi yang ada di Blok Rokan. PLTGU NDC didesain pada dekade 90-an untuk melaksanakan teknologi steamflood Enhanced Oil Recovery (EOR) yang membutuhkan pasokan listrik besar. Dia mengatakan SKK Migas telah mengirimkan surat kepada CPI perihal ke pembangkit di Rokan. “Pembangkit tersebut dibangun di tanah milik negara dulu perjanjiannya oleh pihak ketiga,” ujarnya.

Pertamina dan PLN diketahui sudah melakukan komunikasi penyediaan tenaga listrik dan uap di Blok Rokan pada Maret 2020. Pada 1 Februari 2021, kedua perusahaan meneken Perjanjian Jual Beli Listrik dan Uap (PJBTLU) yang mulai efektif Agustus 2021, bersamaan dengan berakhirnya pengelolaan Blok Rokan oleh CPI. Kebutuhan listrik Blok Rokan sejatinya adalah 400 megawatt serta steam 355 MBSPD. PLTGU NDC hanya akan digunakan selama tiga tahun seiring komitmen dan kesediaan PLN yang akan memasok listrik untuk Blok Rokan melalui interkoneksi Sumatera.

Kejelasan pasokan listrik dari PLTGU NDC akan mendorong produksi minyak dari Blok Rokan terjaga, minimal tidak turun drastis. Berdasarkan data dari SKK Migas, hingga kuartal I 2021 produksi minyak dari Blok Rokan rata-rata 162.951 barel per hari (bph), turun dari realisasi kuartal I 2020 yang tercatat 174.424 bph.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, menjelaskan, dalam rencana PLN kebutuhan listrik dan steam untuk Blok Rokan dibagi dalam dua tahap. Pertama, masa transisi (2021-2024) memanfaatkan supply eksisting dengan skema akuisisi PLTG NDC dengan biaya yang paling efisien. Hal ini dilakukan karena koneksi sistem kelistrikan Blok Rokan ke sistem PLN hanya membutuhan waktu pembangunan selama tiga tahun. Kedua, masa permanen (2024-dst), listrik secara total dipasok dari Sistem Sumatera dan steam akan dipasok dengan pembangunan steam generator yang lebih andal.

“Dalam masa transisi tiga tahun, PLN mengelola PLTG Cogen Ex MCTN di North Duri sebesar 270 MW dan steam 350 MBCWED serta listrik di Minas, Central Duri milik CPI sebesar 130 MW dan steam 50 MBWCED. Skema masa permanen setelah masa transisi, 400 MW dari Sistem Sumatera dikonversi 5 x 100 MW dengan steam generator 400 MBCWED,” ujar Bob saat berbicara dalam sebuah diskusi virtual, 8 April 2021.

Agar skenario ini mulus PLN harus mengakuisisi PLTGU NDC yang harganya disebut-sebut mencapai US$ 300 juta atau sekitar Rp4,39 triliun yang dinilai tidak masuk akal. Padahal, PLN hanya akan menggunakan PLTGU NDC milik MCTN itu tiga tahun. MCTN mengoperasikan PLTGU itu sejak 2000. Nilai investasi MCTN saat membangun PLTGU NDC sekitar US$ 190 juta.

Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif ‎Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan MTCN berkontrak dengan CPI. Karena nilai strategis itu, Chevron tidak mau menjual murah aset tersebut sehingga melakukan lelang. Chevron dinilai mencoba mendapatkan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya atau bisa juga berharap mendapatkan tawaran atau konsesi lain.

“Apapun motif sebenarnya hanya pihak Chevron yang tahu. Yang jelas produksi Rokan tidak boleh turun dan tidak boleh berhenti beroperasi untuk menjamin kontinuitas produksi. Kalau berhenti beroperasi, waktu dan biaya untuk meningkatkan produksi cukup besar dan lama. Bagi Pertamina, risiko ini yang harus dihindari,” kata Faby. (RI)