Ratna Irdiastuti tak henti memikirkan nasib ketiga anaknya. Kasus bioremediasi yang telah menyeret suaminya, Ricksy Prematuri sebagai terdakwa dan terpidana, telah menghancurkan mimpi mereka.
Bukan hanya perusahaan tempat suaminya bekerja dan kehidupan keluarganya yang hancur, kepercayaan Ratna pada lembaga hukum pun nyaris sirna sama sekali. Ia mengaku tidak yakin lagi bahwa Mahkamah Agung (MA) itu adil, sejak putusan kasasi yang dijatuhkan Februari 2014 lalu, justru memperberat vonis suaminya. .
“Dulu, kami pikir MA itu adil, tapi sekarang kok begini? Kenapa hukuman suami saya bertambah? Apakah memori kasasinya tidak dibaca?,” ujarnya penuh tanya.
Ratna mengaku bingung dengan sistem peradilan di Indonesia. Baginya, dulu dia yakin bahwa pengadilan adalah tempat mencari keadilan, tapi dia tidak yakin lagi. Pasalnya, suaminya, Ricksy Prematuri, telah divonis penjara lima tahun oleh Mahkamah Agung setelah mengajukan kasasi karena yakin tak melanggar hukum apapun. “Saya kasihan pada anak-anak, kasihan pada Bapak (Ricksy, red). Apalagi Bapak tidak salah sama sekali,” katanya sambil terisak sedih.
Menurutnya perusahaan tempat suaminya bekerja, yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI), memenangkan proyek bioremediasi Chevron melalui tender terbuka dimana beberapa perusahaan mengikuti proses tender tersebut. Sepengetahuannya, perusahaan suaminya telah menjalankan pekerjaan sesuai kontrak sehingga Chevron pun membayar pekerjaan tersebut.
“Dalam sidang-sidang kasus ini tak satu pun keterangan dari berbagai pihak termasuk pihak pemerintah yang berwenang yang menyatakan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan suaminya ataupun oleh Chevron sendiri sebagai pemberi kerja,” jelasnya.
Ratna sudah lelah berputar-putar mencari jawaban tapi tetap saja tidak bisa menemukan sebab kenapa lembaga peradilan bisa mempercayai kesaksian Edison Effendi, orang kalah tender, tidak kredibel dan satu-satunya yang memberikan kesaksian memberatkan di persidangan. “Kesaksian Edison pun sudah terbantahkan dengan barang bukti dan kesaksian ahli-ahli yang lain, termasuk kesaksian pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan SKK Migas,” katanya.
Lebih lanjut, Ratna menjelaskan bahwa suaminya bercerita bahwa sejak awal bekerja untuk PT Green Planet Indonesia (PT GPI), suaminya sebenarnya enggan mengambil proyek yang bersinggungan dengan pemerintah karena ia ingin menjalankan bisnis dengan jujur. Ia pun mengaku puas dengan kerjasama yang dilakukan dengan PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), karena semua dilakukan secara transparan dan aman.
Karena itu, menurut Ratna, suaminya tidak pernah menyangka bahwa akan timbul kasus bioremediasi yang menyeret suaminya masuk ke dalam jejeran tersangka hingga kemudian mendekam di penjara.
“Ketika kasus ini sedang berlangsung, suami saya sedang menimba ilmu untuk meraih gelar Doktor melalui jalur beasiswa, namun dengan proses persidangan yang cukup panjang ia kemudian terpaksa merelakan hal yang sudah sejak lama menjadi cita-citanya tersebut kandas begitu saja,” ungkapnya agak tersendat.
Derita Sang Buah Hati
Ratna bercerita bahwa hal yang paling memberatkan bagi dia dan suaminya adalah dampak psikologis yang harus ditanggung oleh ketiga anak mereka. Anak pertama mereka yang sudah duduk di bangku SMA memang sempat shock ketika berita ini beredar, tetapi lambat laut ia bisa mengerti. Namun anak kedua mereka yang kini duduk di bangku SMP mengalami masa yang cukup sulit.
Ricksy memang dekat sekali dengan anak keduanya. Seperti diceritakan Ratna, Ricksy menuturkan kekhawatirannya, “Sejak saya tidak di rumah, ia jadi seringmelamun. Beberapa kali naik sepeda dan terserempet mobil, sempat juga naik angkutan umum sampai tersasar karena ia melamun. Ketika ditanya, ia selalu bilang ia mengkhawatirkan saya dan merasa aneh sejak saya tidak lagi di rumah.”
Tak hanya mengkhawatirkan sang ayah, anak kedua Ricksy juga kerap kali malu kepada teman-temannya di sekolah. Meskipun semua teman-temannya mengerti dan tidak pernah mengejek, namun ia tetap merasa khawatir akan penilaian teman-temannya terhadap Ricksy.
“Setiap teman-temannya datang ke rumah, ia selalu menyuruh teman-temannya menunggu di luar sementara ia masuk dan membereskan koran-koran yang berserakan di rumah. Alasannya karena takut ada berita tentang ayahnya yang nantinya bisa terbaca oleh teman-temannya,” ujar Ratna dengan suara penuh kepedihan.
Sedangkan anak Ricksy yang paling kecil hanya diberitahu bahwa ayahnya sakit dan sedang tidak bisa pulang. Putra bungsu yang baru berusia7 tahun itu pun selalu menangis setiap kali menjenguk Ricksy dan diberitahu bahwa Ricksy belum bisa pulang ke rumah. “Saya beruntung memiliki istri yang tidak pernah berhenti berjuang demi anak-anak di rumah selama saya tidak ada,” ujar Ricksy saat ditemui di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung.
Diantara kegalauan hatinya, istri Ricksy Prematuri ini percaya bahwa masih banyak hakim-hakim yang bekerja keras menegakkan keadilan. “Saya yakin jika para hakim bekerja dengan baik, mereka akan dengan mudah menemukan jawaban dari semua bukti, dokumen serta keterangan dalam kasus bioremediasi ini untuk segera membebaskan suami saya. Insya Allah proses Peninjauan Kembali (PK) akan berbuah keadilan dan kami akan terus mencarinya,” pungkasnya.
(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru