JAKARTA – Pemerintah daerah diminta jeli dalam mengelola investasi asing, khususnya di sektor pertambangan. Untuk itu, pemerintah daerah harus bisa mendeteksi permasalahan sedini mungkin dengan menyediakan informasi yang lengkap kepada para investor serta memberikan peringatan kepada investor mengenai pentingnya investasi sesuai aturan.
Yasonna H. Laoly Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan jika diperlukan Kementerian Hukum dan HAM akan menyediakan ahli hukum investasi yang akan ditempatkan di kantor wilayah, sehingga dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah.
“Hal ini kita perlukan untuk mencegah timbulnya gugatan yang kemungkinan besar bisa kalah dan merugikan keuangan negara yang sangat besar,” kata Yasonna, Rabu (28/11).
Berdasarkan data pemerintah jumlah perusahaan yang terdaftar di sektor pertambangan mencapai 86.693 perusahaan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pertambangan masuk 10 besar sektor dengan realisasi investasi tertinggi pada kuartal II 2019, yaitu Rp15,1 triliun atau 7,5% dari realisasi investasi Indonesia. Selain itu, data BKPM terkait dengan Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, pada 2018 investasi sektor pertambangan mencapai Rp42 triliun yang tersebar pada 606 proyek.
Salah satu provinsi adalah Kalimantan Timur dan menyumbang sebesar Rp8,218 triliun yang tersebar pada 275 proyek atau 20% dari total investasi PMA di pertambangan. “Pertambangan memiliki peran penting terhadap investasi di Indonesia. Oleh karena itu, aturan-aturan yang memberikan jaminan keamanan kepada investor yang beritikad baik, telah dan harus terus menjadi fokus pemerintah,” ungkap Yasonna dalam keterangan tertulisnya.
Pemerintah kata dia telah menyiapkan serangkaian program dalam memperkuat koordinasi di antara pemerintah pusat dan daerah, antar kementerian atau lembaga serta pihak berwenang lainnya. Koordinasi ini diharapkan dapat mempercepat proses investasi dan para investor akan memperoleh pemahaman yang cukup mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berbagai program nantinya diharapkan bisa memudahkan investasi dan memberikan pemahaman kepada para investor terkait perundang-undangan yang berlaku, para investor yang menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia akan taat hukum.
Namun, kata Yasonna, jika ada investor yang beritikad tidak baik, pemerintah akan memberikan perlawanan secara persisten sebagai deterrent factor. Persistensi pemerintah antara lain dapat dilihat dalam kasus gugatan arbitrase internasional dari Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd melawan pemerintah di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
Dalam kasus tersebut, Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd menuduh Pemerintah Indonesia melanggar Bilateral Investment Treaty (BIT) antara RI-UK dan RI-Australia, menuntut ganti rugi senilai US$1,3 miliar atau kurang lebih Rp17 triliun.
“Kita bersyukur, setelah melakukan perlawanan kurang lebih tujuh tahun, pemerintah akhirnya berhasil memenangkan gugatan tersebut, sehingga dapat menyelamatkan uang negara lebih dari Rp17 Triliun. Bahkan Majelis Tribunal ICSID dalam putusannya juga menetapkan pihak penggugat untuk membayar biaya penggantian perkara sebesar US$9,4 juta,” kata dia.
Yasonna menegaskan investor asing harus terus memberikan pemikiran dan saran serta membantu investor asing untuk melakukan hal yang benar sesuai dengan peraturan. “Ingat bahwa meskipun pemerintah memberikan perlindungan dan kemudahan bagi investor, namun kami tidak segan-segan memberikan tindakan yang tegas terhadap investor yang beritikad tidak baik dimanapun berada,” katanya.
Cahyo R. Muzhar, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, menambahkan dalam menjalankan investasi di Indonesia hendaknya negara tuan rumah (Host-State) maupun investor mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik nasional maupun internasional dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan menampilkan sisi itikad baik. Khusus terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh para pihak, terdapat juga pilihan penyelesaian sengketa yang telah ditentukan dalam klausul kontrak maupun dalam Bilateral Investment Treaty (BIT).
“Dalam rangka meminimalisir potensi gugatan arbitrase internasional dikemudian hari, persamaan persepsi diantara stakeholders di bidang pertambangan dibutuhkan, agar dapat mewujudkan keharmonisan, baik dari pemerintah maupun pelaku usaha,” kata Cahyo.(RI)
Komentar Terbaru