JAKARTA– Tarik-menarik kursi calon direktur utama PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, masih ketat! Hingga Kamis (16/3) pagi ini, belum terang betul, siapa yang akan menjadi orang nomor satu di Pertamina menggantikan Dwi Soetjipto yang dicopot dari jabatannya akhir Januari 2017.
Nama Elia Massa Manik, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, induk usaha atau holding dari 14 perusahaan BUMN di sektor perkebunan, memang paling banyak disebut menjadi calon kuat. Namun, hingga kini belum ada kepastian, apakah pemerintah (Presiden Joko Widodo) jadi mendapuk mantan Direktur Utama PT Elnusa Tbk (ELSA) itu di kursi Dirut Pertamina, atau ada nama lain yang tiba-tiba menyalip pencalonan Elia Massa?
Dua calon yang mengemuka dan bisa jadi mengganjal Elia Massa adalah Dirut PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) Sukandar dan Budi Gunadi Sadikin, mantan Dirut PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang kini Staf Khusus Menteri BUMN. Siapa pun yang dipilih pemegang saham, calon dirut Pertamina kemungkinan ditetapkan pada RUPS perseroan yang akan digelar pada Kamis (16/3) dengan Elia Massa Manik sementara ini menjadi calon sangat kuat menduduki jabatan tersebut!
Nama Elia sempat mengemuka saat Dwi dan Wadirut Pertamina Ahmad Bambang secara bersama dicopot dari jabatannya. Elia mengalahkan sejumlah calon yang sebelumnya santer berpeluang menduduki kursi di badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi tersebut. Beberapa nama yang sempat mengemuka jadi calon kuat dirut Pertamina yang berasal dari internal perusahaan dan kabarnya sudah diajukan kepada Presiden Jokowi adalah Direktur Hulu Syamsu Alam, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petromikia serta Direktur Gas sekaligus pelaksana tugas harian Dirut Yenni Andayani.
Dari eksternal, calon yang mengemuka selain Elia adalah Budi Gunadi Sadikin,Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basyir, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, dan belakangan muncul nama Sukandar.
Jika betul Elia Massa Manik akhirnya yang ditunjuk sebagai dirut baru Pertamina, kemungkinan besar penunjukkan tersebut merupakan kompromi antara Menteri BUMN Rini M Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan Menko Kemaritiman Luhut B Panjaitan. Kendati bukan orang dalam Pertamina, Elia Masa dinilai mampu menjaga harmoni di jajaran direksi Pertamina yang awalnya sempat muncul dua kubu, pro-dirut Dwi Soetjipto dan pro-wadirut Ahmad Bambang. Di luar itu, ketiga menteri—dan tentu saja Presiden Joko Widodo—melihat kapasitas dan kapabilitas Elia Massa selama ini. Selain menjadi dirut holding BUMN Perkebunan, insinyur dari Institut Teknologi Bandung ini juga pernah menjadi orang nomor satu di PT Elnusa Tbk (ELSA), perusahaan terafliasi Pertamina.
Karier Elia mulai mencorong ketika menjadi Dirut PT Elnusa Tbk pada Juni 2011 hingga Mei 2014. Dia memulai karier di PT Indofood Sukses Makmur (INDF), dan kemudian bergabung dengan Suez Group yang dia tinggalkan pada 2001. Saat itu, dia bergabung dengan PT Kiani Kertas dan kemudian bergabung dengan PT Jababeka. Dia juga pernah menjadi Chief Executive Officer PT Kertas Basuki Rachmat Indonesia.
Saat memimpin Elnusa, Elia Massa disebut-sebut berhasil menyehatkan struktur keuangan perusahaan. Benarkah?
Mari kita tengok!
Ellia Massa masuk ke Elnusa pada Juli 2011. Artinya, pada semester II 2011 laporan keuangan perusahaan menjadi tanggungjawabnya. Berdasarkan laporan keuangan (audit) 2011 publikasi yang diteken Dirut Elnusa Elia Massa Manik dan Direktur Keuangan Sabam Hutajulu, posisi utang Elnusa sebesar Rp 2,48 triliun, naik dari 2010 sebesar Rp 1,739 triliun. Ellia berhasil menaikkan pendapatan usaha menjadi Rp 4,716 triliun, dari 2010 sebeasr Rp 4,218 triliun. Namun, beban pokok penjualan (COGS) naik dari Rp 4,43 triliun dari 2010 sebesar Rp 3,80 triliun. Kenaikan COGS karena ada beban pembelian barang sebesar Rp 1,709 triliun dari Rp 1,524 triliun. Juga ada peningkatan beban pokok pendapatan untuk jasa sub-kontrak dari Rp 288,79 miliar menjadi Rp 861,93 miliar. Total dari pos beban pokok pendapatan jasa saja mencapai Rp 2,57 triliun naik dari Rp 2,229 triliun. Di sisi lain, pada akhir 2011 Elnusa malah rugi Rp 30,115 miliar dibandingkan laba bersih 2010 sebesar Rp 63,49 miliar.
Performa finansial Elnusa baru mulai membaik pada 2012. Dalam Laporan Keuangan 2012 (publikasi) yang diteken Elia Massa dan Sabam Hutajulu, Elnusa mencatatkan pendapatan sepanjang 2012 sebesar Rp 4,777 triliun, naik tipis dari 2011 sebesar Rp 4,716 triliun. Beban pokok penjualan juga berhasil ditekan menjadi Rp 4,225 triliun dari 2011 sebesar Rp 4,43 triliun. Pada 2012, perseroan beroleh laba komprehensif sebesar Rp 135,59 miliar dari rugi Rp 30,115 miliar pada 2011. Adapun posisi utang, pada 2012 mencapai Rp 2,52 triliun dari 2011 sebesar Rp 2,485 triliun.
Pada 2013, pendapatan usaha Elnusa justru turun menjadi 4,111 triliun, dari 2012 sebesar Rp 4,777 trilun. Namun, perseroan berhasil menurunkan COGS dari Rp 4,22 triliun menjadi Rp 3,465 triliun. Dengan demikian, laba brutto mencapai Rp 646,65 miliar dari 2012 sebesar Rp 551 miliar. Laba komprehensif juga naik jadi Rp 242,6 miliar dari sebelumnya Rp 135,59 miliar. Sementara posisi utang juga turun menjadi Rp 2,085 trilun dari Rp 2,252 triliun.
Pada 2014, Elia Massa Manik tak menuntaskan jabatannya. Pada Mei, dia mengundurkan diri. Posisi laba bersih Elnusa di semester I 2014 tercatat Rp 178,2 miliar.
Jabatan dirut Elnusa kemudian dipercayakan kepada Syamsurizal dan Direktur Keuangan tetap di tangan Sabam Hutajulu. Pada 2014, pendapatan Elnusa mencapai Rp 4,22 triliun, naik dari Rp 4,11 triliun. COGS turun tipis dari Rp 3,465 triliun menjadi Rp 3,461 triliun. Dengan begitu laba bruto capai Rp 759,8 miliar dari Rp 646,65 miliar. Sementara itu, laba komperensif naik jadi Rp 418,09 miliar dari Rp 242,605 miliar. Adapun utang turun ke Rp 1,662 triliun dari Rp 2,085 triliun.
Pada 2015, setelah lepas 100% dari Elia Massa Manik, kinerja Elnusa masih terjaga kendati net profit turun. Pendapatan usaha memang turun turun ke Rp 3,77 triliun dari Rp 4,22 triliun pada 2014. COGS turun dari Rp 3,46 trilun ke Rp 3,056 triliun. Hal ini menyebabkan laba brutto tertcatat Rp 718,81 miliar turun dari 2014 sebesar Rp 759,81 miliar. Laba bersih Rp 371,36 milar, turun dari 2014 sebesar Rp 404,888 miliar. Sementara itu, posisi utang perseroan naik tipis pada 2015 dari Rp 1,707 triliun menjadi Rp 1,772 triliun. (DR)
Komentar Terbaru