JAKARTA – PT Geo Dipa Energi (Persero) menjadi salah satu perusahaan negara yang memproduksi listrik berasal dari energi panas bumi. Selain Geo Dipa, BUMN yang bergerak di sektor panas bumi PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Saat ini Geo Dipa sedang mengerjakan empat proyek penyediaan tenaga listrik di empat wilayah kerja, yakni Wilayah Kerja Panas bumi (WKP) Dieng, WKP Patuha, WKP Umbul Telomoyo dan WKP Arjuno.
Riki F Ibrahim, Diretur Utama Geo Dipa, mengatakan Dieng dan Patuha menjadi dua WKP andalan Geo Dipa saat ini karena sudah memproduksi listrik dengan kapasitas 120 megawatt (MW).
“Untuk WKP Dieng sebenarnya memiliki beberapa prospek, diantaranya Pakuaja, Wanaya, Sileri, Sikidang dan Chandradimuka. Potensinya 1.000 MW,” kata Riki di Jakarta, belum lama ini.
Saat ini, kata Riki Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng Unit I dengan kapasitas 60 MW sudah beroperasi di Sikidang dan Sileri. Kemudian sedang dikembangkan untuk tahap II-III hingga tahap IV dengan total cadangan ekuivalen 400 MW.
“Daerah prospek Chandradimuka dengan kapasitas 40 MW saat ini sedang dikerjakan dan merupakan pilot project dengan menggunakan PMK 62/2017,” ungkap Riki.
Dengan menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 62 tahun 2017 maka pemerintah dapat melakukan pengeboran eksplorasi (government drilling) dan geothermal fund yaitu pengalokasian dana eksplorasi panas bumi sebesar US$300 juta dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Untuk WKP Patuha terletak di Ciwidey, Jawa Barat dengan potensi total sebesar 400 MW, dimana saat ini baru terbangu PLTP Unit I dengan kapasitas sebesar 60 MW. “Saat ini di WKP Patuha sedang dikembangkan unit II, III dan IV dengan total ekuivalen mencapai 220 MW,” kata Riki.
Selanjutnya adalah WKP Umbul Telomoyo di Semarang, Jawa Tengah dengan potensi sebesar 110 MW serta WKP Arjuno di Jawa Timur dengan potensi 190 MW. Namun demikian kelanjutan dua proyek ini masih menunggu kepastian harga belu listrik sesuai keekonomian proyek dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Riki, kebutuhan dana pengembangannya akan berdampak pada harga jual listriknya nanti. Karena itu sumber daya panas bumi masih cukup memiliki tantangan untuk dikembangkan di Indonesia.
Terlebih harga listrik di tanah air masih menjadi komoditi politik atau high regulated price tidak semata-mata sesuai dengan harga pasar.
Untuk membangun PLTP dengan kapasitas 50 MW – 100 MW misalnya memerukan biaya paling tidak US$ 3 juta – US$ 4 juta per MW. “Dengan kata lain biaya pengembangan pembangkit listrik panas bumi bisa mencapai US$ 150 juta – US$ 400 juta,” ujar Riki.
Untuk biaya eksplorasi dapat menghabiskan anggaran paling tidak 8% sampai 9% dari keselutuhan kebutuhan biaya proyek. Proses eksplorasi ini kata Riki menjadi salah satu poin utama proyek karena akan menentukan delineasi sumber daya, pemodelan panas bumi, dimensi reservoir, temperatur bawah permukaan dan cadangan panas bumi.
“Oleh karena itu meskipun hanya membutuhkan pembiayaan kurang dari 10% dari biaya proyek kegiatan eksplorasi menjadi concern bagi pengembang,” kata Riki.
Geo Dipa saat ini tengah jajaki bantuan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB) untuk membiayai pengembangan proyek PLTP Dieng dan Patuha. Rencananya ada dana segar total US$ 600 juta masing-masing dikucurkan dalam dua tahap untuk mendanai dua proyek tersebut. Tidak hanya dari ADB, Riki mengklaim World Development Bank juga berminat untuk danai proyek panas bumi di Arjuno Welirang.
“Karena itu apabila harga jual listrik sudah sesuai dengan keekonomian proyek maka pembiayaan pengembangan proyek penyediaan listrik tenaga panas bumi yang dikelola Geo Dipa tidak ada masalah,” kata Riki.(RI)
Komentar Terbaru