JAKARTA – Salah satu potensi bahan bakar nabati yang belum bisa termonetisasi dengan baik adalah bioavtur berbasis kelapa sawit. Salah satu faktornya tentu dari sisi harga yang masih tinggi.

Eniya Listiani Dewi, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan dari sisi pasokan bioavtur sangat melimpah apalagi yang berbasis minyak kelapa sawit. Namun dalam praktiknya tidak semudah itu. Indonesia masih harus mengkaji berbagai formula untuk mensiasati mahalnya penggunaan produksi bioavtur sebagai bahan bakar pesawat.

Pertamina kata Eniya sudah didorong pemerintah untuk bisa memproduksi bioavtur secara mandiri bahkan jalinan kerjasama juga sudah dilakukan dengan pabrikan pesawat terbang dari Airbus hingga Boeing.

“Jadi itu nanti diuji di sistem aviation-nya. Kalau itu sesuai dengan standar, kan ada patokan international standard, nah international standard-nya itu sudah ada,” ungkap Eniya ditemui di Jakarta, Kamis (4/7).

Tingginya harga bioavtur ini tentu tidak bisa ditanggung sepenuhnya oleh para maskapai penerbangan. Untuk itu pemerintah kata Eniya sedang melakukan kajian sesuai dengan standar yang ada apakah perlu dibebankan kepada para penumpang pesawat. Salah satu contoh adalah seperti yang diterapkan di Singapura.

“Once kita bisa match dengan international standard, yaudah itu nanti tinggal negosiasi secara teknis masuk kepada standar internasional. Nah dari situ
apakah memang harus ada tiket yang dibebankan dan sebagainya,” jelas Eniya.

Selain itu, Pemerintah juga tengah mengkaji penggunaan bahan baku selain minyak kelapa sawit dalam memproduksi bioavtur. “Dalam roadmapnya Kemenko Marves sudah ada, dan itu palm based dulu, baru nanti proses ke used cooking oil (minyak jelantah). Kita sebetulnya punya used cooking oil banyak banget, tapi belum terkontrol ya,” kata Eniya.

Bioavtur, diyakini dapat mengurangi emisi karbon hingga 80% dibandingkan dengan avtur konvensional. Ini membantu mengurangi dampak lingkungan dari industri penerbangan, yang merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.

Pertamina sebelumnya juga telah melakukan uji terbang bioavtur dengan menggunakan bioavtur yang diproduksi di kilang Pertamina di Cilacap.

Bioavtur Pertamina yang bernama Pertamina SAF J2.4 melalui proses flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia. Setelah tidak ditemui kendala berarti maka para pihak percaya diri untuk melakukan uji terbang pesawat komersil dengan menggunakan Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023.
Selanjutnya bioavtur akhirnya benar-benar digunakan secara komersial pada 27 Oktober lalu untuk rute penerbangan Jakarta – Solo dan Solo Jakarta. Untuk penerbangan satu kali rute Solo Jakarta meggunakan pesawat Boeing 737-800 NG diperlukan bioavtur sebanyak 4 Kiloliter (KL).